Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Rintisan Basis Data Kekayaan Hayati

Konsorsium Biologi Indonesia merintis pembuatan basis data keanekaragaman hayati untuk penyusunan indeks biodiversitas Indonesia. Diharapkan bisa menjadi acuan penting dalam pembuatan kebijakan.

5 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Konsorsium Biologi Indonesia merintis pembuatan basis data keanekaragaman hayati yang menjadi dasar penyusunan Indeks Biodiversitas Indonesia.

  • Tahap pertama dalam pembuatan basis data itu adalah kurasi keanekaragaman hayati yang dilakukan oleh 119 kurator hayati dari 19 universitas di seluruh Indonesia yang menjadi anggota KOBI.

  • Sejak November 2020 hingga Januari 2021 telah tercatat 3.000 data spesies flora dan fauna sebagai aset biodiversitas yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

SUDAH lama Sutiman B. Sumitro membayangkan adanya sistem basis data kekayaan hayati. Terlintas di pikiran pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, itu bahwa basis data tersebut adalah hasil inventarisasi oleh orang-orang di daerah yang terkoneksi serta bisa diakses secara nasional. Basis data seperti itu memang belum tersedia. "Karena sumber daya manusia, juga sistemnya, tidak ada," kata Sutiman, Jumat, 4 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk menjawab kebutuhan akan basis data itu, Konsorsium Biologi Indonesia (Kobi) merintis pembuatan basis data keanekaragaman hayati Indonesia. Kobi adalah jejaring jurusan biologi perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Sutiman salah satu pendirinya. Upaya pertama yang dilakukan Kobi adalah mengkurasi data biodiversitas oleh para kurator hayati. Tercatat setidaknya 3.000 data spesies yang tersebar di seluruh Indonesia sejak kurasi dilakukan pada November 2020 hingga Januari 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara umum, indeks biodiversitas Indonesia (IBI) akan berisi data mengenai taksonomi dari spesies, sebaran geografi spesies, dan status populasi suatu spesies. "Database IBI ini akan menjadi dasar untuk mengukur indeks biodiversitas dan tren dinamikanya, yang secara sains dapat dianalisis lebih lanjut guna memberikan masukan kepada para pembuat kebijakan publik," ucap Ketua Kobi Budi Setiadi Daryono.

Menurut ahli konservasi untuk biodiversitas dan spasial World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Barano Siswa Sulistyawan, indeks ini diharapkan menjadi alat ukur untuk melihat status dan tren biodiversitas Indonesia. "Hasil dari pendataan yang sudah masuk masih dianalisis," ujar Barano, Senin, 31 Mei lalu. WWF salah satu bagian dari koalisi yang ikut dalam penyusunan indeks oleh Kobi.

Pendataan adalah pekerjaan yang menantang mengingat data tersebar di banyak tempat. Problem data pemerintah bukan cuma yang ada di kementerian. "Ada juga datanya yang dibawa ke rumah," tutur Sonny Mumbunan, peneliti senior World Resources Institute Indonesia, Kamis, 3 Juni lalu. Sutiman menambahkan, data yang diperoleh Kobi memang jauh dari memadai. "Pulau yang kita miliki saja lebih dari 17 ribu," ujar Sutiman, yang juga ahli biologi sel, nano biologi, dan teknik observasi mikroskopis.

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Arifin Rudyanto, berharap Kobi dan para kurator hayati dapat berkontribusi dalam penyusunan Dokumen Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Nasional atau Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP). Ia berharap IBSAP mendatang dapat memperbarui status keanekaragaman hayati di setiap ekoregion.

Menurut peneliti ekologi tumbuhan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ruliyana Susanti, konsep biodiversitas memiliki tiga level, yaitu genetik, jenis, dan ekosistem. LIPI sudah memuat pembaruan status keanekaragaman jenis tumbuhan dan hewan pada 2014. "Jenis tumbuhan sudah di-update pada 2019. Sedangkan untuk hewan masih dalam proses," kata Ruliyana. "Pemutakhiran itu sulit. Kita harus melihat data yang kita miliki dan memvalidasinya.”

Ada sejumlah dampak dari tidak adanya data yang terkoneksi dengan baik dan tidak bisa diakses luas. Menurut Sutiman, kita tidak bisa memanfaatkan biodiversitas secara maksimum. Salah satunya saat melakukan negosiasi dengan pihak di luar Indonesia terkait dengan perizinan. "Misalnya ada tambang nikel dan ada tanaman langka di atasnya. Kalau kita tidak tahu, dianggap tidak ada. Kita jadi tidak punya posisi tawar," ucap Sutiman.

Kalau kita memiliki basis data keanekaragaman hayati, Sutiman melanjutkan, hal itu bisa menjadi rujukan dalam setiap pengambilan keputusan di tingkat pusat dan daerah. Ia menjelaskan, saat terjadi konflik manusia dengan hewan, misalnya, hal ini baru menjadi pembicaraan setelah ada masalah, seperti ada penduduk yang diterkam harimau. "Yang disalahkan selama ini harimau. Padahal itu memang rumah harimau. Ketika lahannya dipakai perumahan manusia, dia tidak mendapat konsesi," ujar pria kelahiran Yogyakarta, 11 Maret 1954, tersebut.

Dengan tidak ada dan tidak terkoneksinya data, tak mudah menilai kondisi biodiversitas kita. Arifin Rudyanto mengatakan Indonesia sudah menjadi megabiodiversity di dunia dan hal itu menjadi modal dasar pembangunan. "Perlu kerja keras dalam menjaga kekayaan hayati karena tren kehilangan spesies masih terjadi," tuturnya. Arifin menambahkan, beberapa upaya konservasi sudah menunjukkan hasil untuk beberapa populasi, terutama satwa prioritas.

Berdasarkan amatan Sutiman, memang ada tanda kepunahan pada spesies berukuran besar. "Harimau Jawa, kancil, itu saya pikir punah. Harimau Sumatera, orang utan, yang besar kelihatan berkurang," ucapnya. Penyusutan populasi ini dipicu penggunaan teknologi. Kerbau, misalnya, dulu banyak dipakai untuk membajak sawah. Dengan adanya traktor, kerbau makin tidak diperlukan, juga tak lazim dikonsumsi. Akhirnya, makin lama jumlahnya makin menyusut.

Sonny Mumbunan mengingatkan soal kajian dari Sir Partha Dasgupta, ekonom University of Cambridge, Inggris, yang dirilis pada Februari lalu. Kajian yang dilakukan untuk Departemen Keuangan Inggris yang diterbitkan dalam The Economics of Biodiversity: The Dasgupta Review itu menyarankan perubahan radikal secara global untuk produksi, konsumsi, keuangan, dan pendidikan.

Menurut Sonny, tesis utama Dasgupta adalah perbandingan kemampuan memproduksi serta memasok bahan dengan kemampuan meminta dari alam sudah jomplang. "Produksi kapital naik dua kali lipat, human capital 13 persen. Sedangkan yang disebut modal alam, seperti hutan, biomassa, ikan, dan ekosistem itu turun 40 persen," ujar Sonny, memberi contoh.

Untuk menjawab masalah penurunan biodiversitas itu, Sonny melanjutkan, Dasgupta mengusulkan kita mengganti cara mengukur keberhasilan ekonomi. "Sebab, pengukuran gross domestic product (GDP) kita bermasalah. Makin banyak hutan rusak, makin tinggi GDP-nya," katanya. Hal lain adalah perlunya transformasi lembaga pembiayaan dan pendidikan. Dukungan perbankan terhadap energi fosil sudah harus ditinggalkan. Dalam pendidikan, perlu ada perubahan dalam mengapresiasi alam.

Sonny menambahkan, saat ini di kalangan peneliti senior dibicarakan soal safe operating of humanity, yaitu sistem yang masih dalam batas aman bagi manusia. Tiga hal yang dinilai sudah melewati batas aman adalah nitrogen, biodiversitas, dan perubahan iklim. "Manusia sekarang mulai menghancurkan syarat hidupnya sendiri. Kita ini seperti mulai berjalan di atas ranjau.”

Arifin mengungkapkan, IBSAP sudah menjadi acuan dalam kebijakan kementerian dan lembaga terkait dengan biodiversitas. "Saat ini sudah ada provinsi yang menyusun IBSAP daerah. Sebagian besar masih jadi pekerjaan rumah untuk mengarus-utamakan IBSAP di level daerah," ucapnya. Bappenas, Arifin melanjutkan, juga sudah memulai koordinasi dengan kementerian dan lembaga untuk menajamkan isu pengelolaan biodiversitas.

Menurut Ruliyana, isu biodiversitas tidak selalu mudah dipahami. Namun ada dampaknya yang kita rasakan sehari-hari. Misalnya, bagi warga kota, banyaknya pohon yang ditebang bisa membuat suasana sekitar lebih panas. Air juga kadang susah didapatkan karena banyak pohon ditebang. Sebab, fungsi pohon adalah menyerap air. "Itu kan sebenarnya efek yang dirasakan langsung," tuturnya. Ruliyana menambahkan, generasi muda punya peran penting dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati.

Koordinator Global Youth Biodiversity Network Indonesia Nadia Putri Rachma mengatakan biodiversitas adalah sistem pendukung kehidupan. Jadi kaitannya tidak hanya dengan satwa liar dan tanaman. Lingkungan dan ekosistem saling bergantung. Dia menilai anak muda di wilayah perkotaan seperti Jakarta tidak berkaitan dengan tema kepunahan satwa. "Di perkotaan soal urban city, taman kota, dan ruang terbuka hijau. Intinya sama, bagaimana menjaga sistem pendukung kehidupan kita itu," katanya, Jumat, 4 Juni lalu.

ABDUL MANAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus