Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CITA rasanya yang asam bercampur manis dengan kekentalan sedang dan aroma semerbak membuat kopi luak diburu penikmat kopi di seluruh dunia. Karena kelangkaannya serta proses pembuatan yang tak lazim, yakni melalui fermentasi dalam tubuh hewan sejenis musang, harga kopi ini menjadi selangit. Kedai kopi Funnel Mill di California, Amerika Serikat, misalnya, berani menjual secangkir kopi luak asli US$ 80 atau sekitar Rp 760 ribu.
Harga semahal itu sah-sah saja. Sebab, kopi luak memang sulit didapat. Kopi ini dihasilkan dari biji kopi yang keluar bersama feses luak (Paradoxurus hermaphroditus). Salah satu kebiasaan hewan ini adalah mencari makan pada malam hari. Itu sebabnya indra penciumannya menjadi sangat penting. Berkat ketajaman penciuman ini pula luak mampu memilih biji kopi terbaik yang sudah matang sebelum dimakan. Para ahli kopi percaya seleksi awal inilah yang membuat luak menghasilkan kopi tiada tara.
Lantaran rasa kopi luak memiliki rasa yang khas dan bernilai ekonomis tinggi, banyak kalangan penasaran ingin mengetahui rahasia di balik kenikmatannya. Salah satunya Erliza Noor, peneliti dari Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor. Erliza mengaku ketertarikannya meneliti kopi luak datang secara tak sengaja. Dua tahun lalu ia ditantang rekan sesama peneliti dari Kementerian Pertanian untuk membuat kopi luak tanpa luak. "Kenapa tidak? Tapi, bagaimana bikinnya?" ujar Erliza menirukan reaksinya saat itu kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu.
Para ahli telah lama mengetahui perut luak sebagai dapur pemroses kopi paling sedap. Bakteri yang terdapat pada usus hanya menghancurkan kulit buah kopi yang terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan protein. Penghancuran material kulit kopi dilakukan oleh bakteri khusus dan menghasilkan enzim pencernaan. Sedangkan bijinya tetap utuh hingga dikeluarkan menjadi tinja, kurang dari 24 jam setelah binatang ini memakan buah kopi. "Enzim mengubah struktur kimia pada biji kopi," katanya.
Hanya, pengetahuan sebatas itu belum cukup untuk mewujudkan keinginan Erliza meniru proses pembuatan kopi luak. Ia pun mempelajari lebih dalam proses alam yang selama ini tersimpan di dalam perut luak. Kuncinya adalah mengidentifikasi bakteri pencipta kopi luak. Masalahnya, luak memiliki banyak jenis bakteri di dalam saluran pencernaannya. Peneliti kelahiran Bandung 53 tahun lalu ini pun mafhum, riset untuk menguak rahasia kenikmatan kopi luak membutuhkan waktu panjang.
Penelitian dimulai dengan mendatangi penangkaran luak di Pangalengan, Kabupaten Bandung. Luak dari kaki Gunung Malabar ini terkenal sebagai penghasil kopi luak yang diekspor ke pelbagai negara. Kotoran luak berbentuk memanjang, tersusun atas biji kopi padat dan bercampur dengan sisa pencernaan lainnya. Feses luak itu dipungut dan dimasukkan ke wadah penyimpanan untuk dibawa ke laboratorium di Bogor.
Selama 2011, ia berkutat di laboratorium untuk mengetahui bakteri yang ada di perut luak. Sedikitnya ada sembilan jenis bakteri pencernaan. Dari jumlah ini, Erliza memilih tiga bakteri yang dirasa berperan dalam produksi biji kopi luak dan tak bersifat patogen. Ketiganya adalah proteolitik, penghancur protein; selulolitik, penghancur selulosa; dan xilanolitik, penghancur hemiselulosa. Setiap kali menghancurkan kulit kopi, bakteri menghasilkan enzim.
Pada tahun berikutnya, ia mulai memproduksi kopi luak dari 100 kilogram kopi jenis Arabika. Caranya mirip fermentasi tape. Biji kopi dipisahkan dari kulitnya lalu diperam bersama bakteri dalam wadah kedap udara. Supaya bakteri bisa hidup dan menghasilkan enzim, Erliza menambahkan kulit kopi kering yang telah dihaluskan. "Fermentasi ini meniru proses di dalam perut luak. Tidak ada zat kimia tambahan," ucapnya. Produksi enzim setiap bakteri diukur dengan interval 24 jam selama empat hari.
Proses ini ternyata sudah menghasilkan enzim pada suhu laboratorium sekitar 30 derajat Celsius. Ini berbeda dengan proses pada pencernaan luak, yang membutuhkan suhu 40 derajat Celsius. Bagi Erliza, fakta ini berdampak positif pada saat kopi luak buatannya akan diproduksi massal nanti. "Produksi kopi luak buatan tak butuh penghangat. Biaya bisa ditekan," ujar doktor lulusan University of Queensland ini.
Kopi luak buatan ini berwarna cokelat ketika sudah dijemur. Warna ini dicurigai berasal dari proses karamelisasi pada molekul gula selama pemeraman. Asam oksalat yang dikandungnya 50-75 persen lebih rendah ketimbang kopi luak dan kopi Arabika. Asam oksalat merupakan material yang banyak dipakai pada proses pewarnaan sehingga berbahaya bagi kesehatan ginjal. Sebagai pengganti, kandungan asam bermanfaat pada kopi luak buatan digenjot. Asam askorbat yang bersifat antioksidan dan asam laktat yang baik untuk pencernaan bisa ditingkatkan hingga ratusan kali lipat. "Kopi ini bernutrisi," ucapnya.
Erliza kini telah mengetahui cara kerja bakteri yang membantu produksi kopi luak. Karena itu, ia bisa memproduksi varian kopi luak menurut pesanan. Tahun ini ia akan menguji rasa dan aroma varian kopi luak buatan yang dihasilkannya. Sampel kopi akan dikirim ke Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember, Jawa Timur. "Produksi dalam jumlah besar dilakukan setelah lulus uji rasa dan aroma," katanya.
Penelitian membuat kopi luak tanpa luak ini menghabiskan biaya sekitar Rp 190 juta. Namun ongkos penelitian ini setara dengan hasil yang didapat. Kopi luak buatan ini pun jauh lebih murah ketimbang kopi luak asli yang harga tengahnya sekitar Rp 1 juta per kilogram. "Penurunan harga bisa 50 persen," ujarnya. Sebab, Erliza tak perlu memelihara luak. Di peternakan, ongkos pemeliharaan luak sangat tinggi. Peternak harus menyediakan nutrisi istimewa, seperti susu, madu, ayam, ikan, dan buah-buahan. Sedangkan buah kopi menjadi camilan yang disajikan pada awal malam.
Membuat kopi luak tanpa luak ternyata juga dilakukan Suprio Guntoro, peneliti dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Ia menciptakan kopi luak probiotik juga dengan cara fermentasi. Hanya, Suprio memeram biji kopi dengan hampir semua bakteri pencernaan pada suhu 40-45 derajat Celsius. "Kopi luak probiotik ini pernah dijual di pameran dengan harga Rp 700 ribu per kilogram," kata Suprio.
Di Lampung, Beni Hidayat, peneliti dari Program Studi Teknologi Pangan Politeknik Negeri Lampung, juga membuat kopi luak tanpa luak. Ia melakukannya dengan memeram biji kopi dengan enzim protease pemecah protein. Enzim ini didapat melalui senyawa papain yang tersedia di pasaÂr. Papain secara alami bisa diperoleh dari pepaya. Hasil penelitian Beni telah menarik minat pengusaha kopi di Jakarta dan Bandung.
Anton William
Uji Rasa dari Dapur Kopi
DAPUR kopi Headline di Jalan Kemang Utara, Jakarta Selatan, mendadak berubah menjadi tempat ritual icip-icip kopi. Selama satu jam, suara mesin penyangrai dan pemecah kopi bersahutan. Gelas-gelas kecil berdentang ketika dua jenis kopi diseduh menggunakan air bersuhu 92 derajat Celsius dan ditunggu melarut selama empat menit. Inilah kegiatan cupping, pengujian aroma dan rasa kopi oleh para ahli.
Tuti Mochtar memimpin prosesi utama dengan menyingkirkan ampas kopi yang mengapung dengan sendok lalu mencerap aroma dari gelas kopi secara bergantian. Ia mengangkat satu sendok air kopi ke ujung bibirnya. Dalam satu isapan cepat, kopi berpindah ke dalam lidah dan mengalir ke kerongkongan.
Gelas pertama berisi seduhan kopi luak yang dihasilkan dari luak liar di Tanah Gayo, Aceh. Ia menyebutnya sebagai kopi luak terbaik di dunia. Harga olahannya bisa mencapai Rp 2,4 juta per kilogram. Perempuan praktisi kopi ini mencium aroma buah-buahan dari bubuk kopi ini. Sedangkan lidahnya merasakan rasa asam dan manis dari kopi luak Gayo dengan kekentalan sedang. "Ini rasa yang seimbang," ujar Tuti, yang tenar sebagai juri kompetisi barista di pelbagai kota di Asia Tenggara.
Bubuk kopi pada gelas kedua membuat keningnya bekernyit. Ia mencium aroma buah-buahan yang kental bercampur wangi manis gula seperti permen. "Aromanya unik," katanya. Artinya, bau kopi ini berbeda dengan kopi sebelumnya. Bau khas tersebut berasal dari kopi luak buatan Erliza Noor, peneliti dari Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor. Erliza menitipkan kopi ini kepada Tempo untuk dicicipi berdampingan dengan kopi luak asli.
Seduhan kopi luak buatan itu diseruput Tuti. Ia mendeskripsikan kopi ini minus rasa manis dengan rasa asam yang menempel lama di rongga mulut. Tuti bereksperimen dengan mencampurkan kopi luak asli dengan kopi luak buatan Erliza. Hasilnya, ia merasakan rasa kopi luak Gayo tertutup oleh kopi luak buatan. Meski belum sesuai dengan rasa kopi luak, Tuti menilai kopi luak hasil karya Erliza masih bisa diperbaiki.
Erliza sejak awal mengingatkan penelitiannya belum selesai. Hingga kini penelitian baru pada tahap pencarian komposisi. Tahap pencarian cita rasa melalui uji cupping baru akan dilakukan. "Dengan banyak variasi campuran, rasa dan aroma yang diinginkan bisa didapat," ujarnya.
Anton William
Kopi Luak probiotik
- Kopi Arabika
- Biji kopi dipisahkan dari kulitnya lalu diperam bersama bakteri dalam wadah kedap udara. Suhu 30oC.
Bakteri:
- Proteolitik, penghancur protein
- Selulolitik, penghancur selulosa
- Xilanolitik, penghancur hemiselulosa - Biji kopi digiling
- Diseduh air panas
- Ditunggu melarut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo