Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) kembali meraih prestasi di kompetisi internasional, setelah tim Ocean Pulse Smart Vest menyabet medali perak untuk kategori teknologi pada Second International Youth Summit di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 10 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim tersebut beranggotakan empat mahasiswa Unair, yaitu Ririn Dwi Antari, Istighfar Rohmah, Fidella Rachmadiana Azra, Daniswara Zahra Anindita. Selain itu, tim ini juga berkolaborasi dengan satu mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November (ITS). Tim tersebut menggagas inovasi rompi pelampung pintar yang dapat memberikan sensasi dingin bagi pemakainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istighfar Rohmah atau yang akrab disapa dengan Fafa menjelaskan latar belakang gagasan terkait inovasi rompi pintar ini. Ocean Pulse Smart Vest merupakan rompi pelampung pintar yang memiliki teknologi yang dapat melepaskan sensasi dingin saat suhu lingkungan meningkat.
Desain rompi pendingin karya mahasiswa Unair. Dok. Humas Unair
“Ide ini muncul dari banyaknya kasus heat stroke pada nelayan tradisional yang melaut di siang hari. Panasnya suhu di laut dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh secara drastis. Hal ini dapat berbahaya bagi nelayan karena dapat menyebabkan heat stroke yang membuat nelayan pingsan, kejang sampai adanya pendarahan,” ungkap Fafa melalui keterangan tertulis, Senin, 18 November 2024.
Rompi pelampung pintar ini memiliki cara kerja otomatis dengan mengandalkan sensor pendingin termoelektrik yang disebut peltier. Cara kerjanya, yaitu sensor yang tertanam pada rompi akan mendeteksi kenaikan suhu di sekitar. Apabila suhu mencapai 38°Celscius, sensor akan secara otomatis mengaktifkan peltier untuk melepaskan sensasi dingin pada rompi.
“Dalam penggunaannya sendiri, peltier pada rompi kami menggunakan energi matahari melalui panel surya untuk selanjutnya diubah menjadi sensasi dingin melalui reaksi termoelektrik, sehingga dapat digunakan secara berkelanjutan tanpa perlu mengganti peltier secara berkala,” ujar Fafa.
Fafa menyebut bahwa peltier kadang menyebabkan adanya efek kejut listrik saat mengeluarkan sensasi dingin karena perbedaan arus listrik. Namun, timnya berusaha mengurangi efek kejut listrik ini pada rompi pintarnya supaya dapat dipakai dengan nyaman oleh nelayan. Tim juga menambahkan lapisan tahan air agar tetap bisa digunakan sebagai pelampung.
Inovasi ini diharapkan dapat dipasarkan pada nelayan tradisional. Hal ini sesuai dengan fakta lapangan di mana nelayan tradisional sebagian besar memakai kapal tradisional yang tidak memiliki peneduh sehingga rawan terkena heat stroke di tengah cuaca terik di laut.
“Meskipun memang sasarannya nelayan, kami masih belum bisa menjual pada nelayan karena biaya pembuatannya yang cukup besar. Untuk dapat menekan harga, kami masih mencari sponsor dan stakeholder untuk dapat bekerja sama sehingga dapat menurunkan harga jual dan dapat dibeli oleh nelayan tradisional,” kata dia.
Pilihan Editor: Peraih Habibie Prize 2024 dari ITB adalah Top World Scientist, Ini Riset yang Dikerjakannya