TEKA TEKI musibah Boeing 747 di Gunung Osusaka terungkap sudah. Setelah bekerja penuh selama 22 bulan, Komisi Penyidik Kecelakaan Udara (KPKU) Jepang dua pekan lalu menyimpulkan: malapetaka yang menelan 520 korban jiwa itu tak lain akibat kecerobohan teknisi Boeing dalam mereparasi pesawat bernomor seri JA-8119 milik Japan Air Lines (JAL) tersebut. Komisi penyidik telah menyusun laporan tentang musibah yang terjadi pada sore 12 Agustus 1985 itu setebal 556 halaman. Laporan itu begitu lengkap dan detail, sehingga Boeing tak melihat banyak celah untuk mengelak dari tudingan. Akhirnya, perusahaan pembuat pesawat itu menyetujui isi laporan itu, kendati mencoreng mukanya. "Kami mohon maaf atas kecerobohan reparasi itu," demikian tanggapan resmi Boeing. Ke-30 anggota komisi, hampir separuhnya ahli teknik penerbangan, tak main-main dalam menyidik. Puing reruntuhan badan Boeing itu diangkut dari punggung Gunung Osusaka ke Mitaka, Tokyo, menempuh jarak 100 km. Di Lembaga Teknologi Penerbangan dan Ruang Angkasa itu, keping demi keping diperiksa. Lalu setiap temuan di-plot-kan pada catatan mengenai semua kejadian di pesawat yangterekam pada blak box. Akhirnya, komisi penyidik itu menunjuk pada aft pressure bulkhead (sekat buritan bertekanan tinggi) pada pesawat ini sebagai pangkal penyebab malapetaka. Sekat yang menyerupai payung dengan diameter 4,45 m itu dipastikan jebol ketika pesawat berada di atas Laut Sagami, 13 menit setelah lepas landas dari bandara Haneda, Tokyo. Sekat itu tak mampu menahan perbedaan tekanan antara kabin dan ruang ekor, yang kala itu mencapai 8,6 psi. Sekat itu memang menjadi pembatas antara kabin, yang bertekanan normal (satu atmosfer), dan ruang ekor yang bertekanan rendah, di saat pesawat terbang tinggi. Karena itu, sekat itu mesti rapat dan kuat. Namun, ternyata, dinding lengkung itu jebol ketika pesawat berada pada ketinggian 7.200 meter. Apa yang salah? Tim penyidik berkeyakinan, sekat itu tak lagi seandal aslinya. Ketika Tim Boeing mereparasi pesawat itu, Juni-Juli 1978, sekat itu dibelah. Separuh, bagian bawah, diganti dengan bahan baru. Rupanya, sambungan itu tak begitu kuat. "Mestinya sambungan itu dipantek dengan dua bans paku keling. Tapi teknisi Boeing hanya melekatkannya dengan satu baris paku keling," begitu laporan komisi. Akibatnya, kekuatan sekat itu turun 30 persen. Sekat buritan itu terdiri dari 36 lembar ruas cekung yang bersisi tiga, lancip. Sisi panjang ruas-ruas itu bergandengan satu sama lain. Pada setlap sambungan, kedua SlSl panjang lembaran itu tumpang tindih, lalu diklem. Ke-36 lembar logam itu membentuk lembar cekung yang mirip payung. Pada penerbangan terakhir itu, 12 Agustus 1985 pukul 18.25, terdengar suara, "blaar. . .,". "Suara itu seperti di atas kepala saya," ujar Yumi Ochiai, kini 28, pramugari yang duduk di deretan kursi ke-4 dari belakang. Serta merta udara mengalir deras ke ruang ekor, dengan kecepatan 300 m per detik, menabrak kabel-kabel dan pipa-pipa hidrolis penggerak sirip ekor pesawat. Aliran udara itu juga menghajar dinding luar ruang ekor, dan melabrak sirip vertikal. Sirip pengendali arah itu pun rompal. Akibatnya, jelas: arah pesawat tak lagi bisa dikontrol. Kapten Pilot Masami Takahama, yang mempunyai 12 ribu jam terbang, tak bisa lagi menolong pesawat malang itu. "Angkat hidungnya... angkat hidungnya...," begitu kata-kata terakhir Kapten Masami yang terekam dalatn kotak hitam. Pukul 18.57 bintik pesawat JAL 123 itu menghilang dari layar radar bandara Haneda. Regu penolong yang terdiri dari sekitar 4.400 orang menemukan 520 mayat di antara reruntuhan Boeing itu. Hanya ditemukan empat penumpang yang selamat. Musibah itu merupakan kecelakaan tunggal terbesar di dunia hingga saat ini. Rekor kecelakaan udara terbesar terjadi di bandara Tananarive, Pulau Canary, Karibia, 1977, ketika dua Boeing 747 bertabrakan di landasan pacu, dan menewaskan 582 penumpang. Dalam kasus JAL ini, tampaknya komisi penyidik itu cukup fair. Kesalahan tak hanya ditimpakan kepada Boeing. JAL juga dinilai ceroboh dalam pemeliharaan pesawat. Isyarat kelelahan logam, dengan ciri timbulnya bintik-bintik parut, menurut penilaian komisi itu, tak terlihat oleh teknisi JAL. Padahal, menurut rekomendasi teknisi Boeing seusai reparasi tahun 1978 di hanggar bandara Haneda, pesawat itu mesti menjalani servis rutin setiap kali menyelesaikan tiga ribu jam terbang. Perawatan rutin itu memang sudah dijalankan. Sejak Juli 78 hingga hari nahas itu, pesawat itu telah menjalani enam kali servis rutin dengan 16 ribu jam terbang. Komisi penyidik itu menyayangkan, mengapa dari enam kall perawatan rutin itu bintik-bintik parut itu lolos dari pemeriksaan. Ditaksir, bintik parut itu telah mencapai panjang 280 mm, menjelang pesawat tak off. Pihak Boeing juga mempersoalkan bintik parut ini. "Setelah kecelakaan, segera kami memeriksa 600 Boeing 747 yang beroperasi di seluruh dunia. Kami tak menemui bintik parut itu di sekat buritan," sindirnya. Boleh jadi, kelelahan logam pada pesawat JAL itu akibat frekuensi penerbangannya yang tinggi. Soal bintik parut pada tubuh pesawat jarak pendek ini, menurut pemeriksaan JAL, jamak adanya. Maka, JAL kini menjadwalkan kembali Boeing-Boeing jarak pendeknya. Masa kerja 20-30 tahun, yang direncanakan semula, dipangkas menjadi 15--17 tahun. Kendati penyebab kecelakaan telah dipastikan, urusan tragedi Gunung Osusaka itu belum tuntas. Lebih dari separuh keluarga korban menolak menerima santunan JAL, yang besarnya berkisar 13--18 juta yen (Rp 131--192 juta). JAL sendiri konon telah mengeluarkan 7,2 milyar yen untuk mengurus kecelakaan itu, tak termasuk biaya santunan. Dari jumlah ini, kabarnya, Boeing menyanggupi menanggung 50%. Putut Tri Husodo, Laporan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini