TIDAK selamanya rujukan kepustakaan asing bisa diandalkan untuk memecahkan problem domestik. Hal ini dibuktikan, antara lain, oleh Ahmad Mukhlis, yang mempertahankan disertasinya di Fakultas Pascasarjana IPB, akhir bulan lalu. Mukhlis berbicara tentang Identitas Cacing Hati (Fasciola SP.) dan Daur Hidupnya di Indonesta. Orang pertama yang melaporkan cacing hati pada ternak adalah Jehan de Brie, 1379. Di sini, laporan pertama tentang parasit itu dibuat oleh Van Velzen, 1890. Pada 1922 dalam berkas tahunan Dinas Peternakan Hindia Belanda tercantum, "Cacing hati ditemukan pada hewan potong hampir di seluruh Indonesia." Kerugian yang ditimbulkan cacing ini lumayan besar. Selama 1967-1971 saja, menurut Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, angka kerugian itu mencapai Rp 22 milyar. Karena itulah, antara lain, Ahmad Mukhlis, dokter hewan lulusan FKH UI, Bogor, 1955, itu tergoda meneliti parasit ini. Ternyata, memang ada yang meleset. Selama ini, yang disimpulkan merajalela di Indonesia adalah cacing hati Fasciola Hepatica (FH). Padahal, menurut penelitian Mukhlis, yang meraih gelar master dari Universitas Kentucky, AS, biang kerok itu justru Fasciola Gigantica (FG). Kekeliruan determinasi itu, tentu saja, bisa mengakibatkan kekeliruan penanggulangan. "Kekeliruan terjadi karena para peneliti sering menghubungkan ukuran cacing hati yang kecll dengan FH," ujar Mukhlis, dosen Jurusan Sains Veteriner. IPB. kenada Aji Abdul Gofar dari TEMPO. Padahal, ternyata FG, yang dalam rujukan asing dikatakan besar, di Indonesia hanya antara 18 dan 45 mm. Pustaka asing, biasanya, mengambil ukuran FG asal Afrika sebagai rujukan. Dari penelitian secara makro dan miskroskopis, dengan sampel yang diambil dari pelbagai daerah, Mukhlis menyimpulkan bahwa di Indonesia hanya terdapat satu jenis cacing hati saja, ya FH itu. Kemungkinan hibridisasi antara FG dan FH sangat kecil karena sentrometer kromosomnya berbeda dalam ukuran dan bentuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini