ONCE UPON A TIME IN AMERICA Pemain: Robert De Niro, James Woods Sutradara: Sergio Leone NOODLES keluar dari ruang kerja Max. Dengan kedua tangan dalam saku mantelnya, ia lega. Teka-teki tokoh yang selalu membayanginya terpecahkan sudah. Tapi bagi si Max, yang rupanya selama itu merasa berdosa terhadap Noodles, kecewa. Noodles, yang diperankan Robert De Niro, orang yang kalem, tak punya ambisi kekuasaan, yang rasa setia kawannya tak bisa dibeli dengan apa pun, tak melakukan apa pun. Semuanya sudah selesai, mereka sudah menjadi tua, dan sebentar lagi bakal kalah. Dan belum jauh Noodle berjalan, dari ruang kerja Max terdengar letusar pistol. Max bunuh diri. Dan di bioskop, film karya Sergio Leone, si sutradara koboi spaghetti ini selesai di situ. Sebuah akhir yang mudah, vulgar, tidak mengesan. Inilah versi Once Upon a Time in America yang 2 jan 20 menit, hasil suntinga distributor The Ladc Co., yang diputar di Jakarta. Dalam versi aslinya yang 3 jam 40 menit, akhir film begitu embut menyentuh. Noodles terus berjalan, sinar lampl mobil membuatnya tertegun, lalu ia teringat masa lalu. Ketika ia lari masuk rumah candu untuk melupakan nasib yang tidak ramah Lalu kilas balik selesai, kembali tampil wajah Noodles 50-an tahun. Sebuah close up dan Noodles tersenyum. Dan sebenarnya bukan hanya soal ending bila dibioskop Anda hanya menyaksikan sebuah cerita sekelompok berandal anak-anak Yahudi di Amerika, yang menjelma menjadi bandit ketika dewasa. Para tokoh kehilangan karakter, gambar-gambar kehilangan suasana. Sebabnya, distrlbutor telah menyuntingnya dengan mengurutkan kisah secara kronologis. Bisa dipahami bila Leone jadi berang. "Film yang membingungkan dan tampak tolol," itulah yang dikatakannya terhadap hasil suntingan distributor. Leone mungkin berlebihan. Tapi And memang sah untuk bingung bila, misalnya tak paham mengapa tokoh Noodles dan Max James Woods) yang begitu berbeda wataknya bisa bersahabat demikian karib. Padahal, dalam versi yang hampir empat jam, semuanya terjalin rapi. Kilas balik lewat renungan Noodles membentuk gambaran tokoh imi sebagai manusia dengan sisi baik dan buruknya, kelembutan dan kebrutalannya, nasibnya yang tak terduga - bahwa ia bukan sebuah robot. Dan sesungguhnya, sang sutradara, Sergio Leone, 56, telah menyiapkan skenario film ini sejak pertengahan 1970-an dan selesai dalam 250 halaman. Tentu saja tak hanya itu bila film ini bisa memikat. Gambar-gambar yang disajikan, setting, dan adegan-adegan banyak yang menyentuh. Bagaimana kemudian tersaji seorang gadis belasan tahun, cantik, berlatih balet sendirian di sebuah gudang yang kotor dengan musik klasik yang mendayu. Lalu sepasang mata mengintipnya - mata si Noodles remaja. Atau ini. Untuk mendapatkan segalanya dari seorang gadis, teman Noodles membawakan sepatong roti dengan krim. Tapi gara-gara si gadis lama tak muncul, sementara roti menjadi impian lidah para remaja dari gang-gang busuk itu - apa boleh buat - roti pun dimakan sendiri. Adegan yang sekaligus memberikan gambaran lugunya anak-anak dan kemiskinan yang menekan. Di Festival Cannes tahun lalu, film ini jadi pembicaraan karena panjangnya. Dalam perebutan Oscar tahun lalu, karya Leone tak menggondol apa pun. Memang, dari ukuran akting misalnya, boleh dibilang tak istimewa. Permainan De Niro berada di bawah dibandingkan dengan ketika ia memerankan Corleone Vitto muda dalam The Godfather II - dan ia menang Oscar sebagai aktor pembantu waktu itu. Dari segi tema pun, kisah bandit Amerika yang jadi makmur tak terlalu orisinil. Tapi inilah film yang mengingatkan kembali pada kehidupan sehari-hari kita. Pada persahabatan dan cinta. Lebih jauh lagi, pada bagaimana kita memandang hidup. Kita menyaksikan bagaimana Max tumbuh dengan ambisi-ambisinya, berhasil kaya dan pensiun dari dunia tak terhormat, setelah mengorbankan dua temannya tanpa merasa berdosa. Tapi aneh, ia merasa diburu-buru bayangan Noodles. Dan tokoh yang terakhir itu, betapa ia kukuh dan tenteram dengan dunia lumpur lamanya tanpa punya ambisi untuk duduk tenteram di antara tokoh-tokoh terhormat. Tapi mengapa pula ia tega memperkosa gadis yang dicintainya sejak remaja, yang selalu ia intip bila ia sedang latihan balet. Tak semuanya bisa diuraikan lewat loF gika, memang. Dalam diri kita agaknya memang ada relung-relung yang tak terjamah, yang hanya tampak remangremang. Dan siapa tahu sebenarnya Sergio Leone mernang bercerita tentang kita. Pada suatu hari .. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini