SUHU ternyata bisa menentukan jenis kelamin. Sebuah teori di Jepang mengatakan, di Zaman Es, atau Glacial Epoch, binatang purba dinosaurus cuma bisa melahirkan anak-anak betina akibat turunnya suhu sampai di bawah nol. Karena binatang jantannya semakin sedikit, akibatnya, kelangsungan keturunannya terhambat, dan binatang raksasa itu pun musnah. Kecenderungan ini masih bisa dilihat pada sejenis kura-kura yang ditemukan diJepang. Pada percobaan di laboratorium terlihat, bila suhu pada masa kehamilan dinaikkan, keturunan yang dihasilkan kura-kura jenis itu hanya jenis jantan. Sebaliknya, bila suhu diturunkan, yang lahir betina melulu. Melihat kenyataan ini, perkara memilih jenis kelamin manusia, sebagaimana memang sudah diyakini banyak ahli di dunia selama ini, tidak mustahil dilakukan. Upaya ke arah sana diam-diam sudah dilakukan. Misalnya yang dilakukan oleh para ahli di Jepang, yang penemuannya baru-baru ini ternyata menghebohkan. Setelah meneliti berbagai aspek dan mencoba "teori kura-kura" itu berulang-ulang selama lima tahun, sebuah tim peneliti bioteknologi dari Universitas Keio, Tokyo, Jepang, berhasil menemukan cara melakukan seleksi seks. Sejak Mei lalu, hasil percobaan penerapan teknik itu diumumkan sedikit demi sedikit, dan keributan yang sudah bisa diduga pun berkepanjangan sampai kini. Sebagian pendapat menilainya sebagai penentangan terhadap kodrat alam -- dan mengancam reproduksi umat manusia. Pendapat yang tak setuju menilai keberhasilan percobaan itu akan membuat keluarga cenderung memilih anak laki-laki -- jenis kelamin yang karena tradisi di beberapa negeri lebih disukai. Maka kalau ini terjadi, bisa merupakan ancaman terhadap kelangsungan keturunan umat manusia. Sebaliknya, kelompok yang setuju menganggap hasil percobaan ini merupakan jalan keluar bagi sejumlah besar keluarga yang menginginkan bisa mengatur jenis kelamin yang diinginkannya. Seleksi seks pada kelahiran memang dambaan yang sudah lama ditunggu. Berbagai teori sudah dikemukakan. Ada yang percaya pada siklus haid, ada juga yang mengutarakan terbentuknya jenis kelamin janin bergantung pada keadaan indung telur -- asam atau basa -- ketika pembuahan terjadi. Namun, tak satu pun dari teori-tcori itu bisa terbukti dengan pasti. Tampaknya, sudah sejak awal percobaan, tim peneliti Universitas Keio khawatir eksperimennya di Jepang sendiri -- yang karena tradisi, termasuk negeri yang kurang menyukai anak perempuan -- bakal merangsang kegandrungan pada anak laki-laki, yang mungkin memancing keributan. Karena itu percobaan yang dilakukan di Rumah Sakit Universitas Keio, Rumah Sakit Ohta, di Provinsi Gunma, dan Rumah Sakit Kobanawa di Prpvinsi Ibaraki, semuanya untuk menghasilkan anak-anak perempuan. Enam bayi wanita telah lahir dengan selamat, sesuai dengan rencana. Dua di RS Universitas Keio, tiga di RS Ohta, dan seorang di RS Kobanawa. Prof. Rihachi Iizuka, ketua tim peneliti Universitas Keio, menjelaskan pada Seiichi Okawa dari TEMPO, percobaan dengan hati-hati dimulai sejak dua tahun lalu. Caranya dengan penyerbukan artifisial seperti pada pembuahan bayi tabung. Namun, inti seleksi seks, menurut Iizuka, terletak pada pemisahan kromosom x dan y yang terdapat pada sperma. Pembentukan jenis kelamin pada pembuahan memang ditentukan oleh penggabungan kromosom sel telur dan sel sperma. Sel telur memiliki hanya kromosom x, sementara sperma mengandung kromosom x dan kromosom y. Bila kromosom x sel telur bertemu dengan kromosom x sel sperma (xx), jenis kelamin janin yang terjadi adalah perempuan. Bila kromosom x sel telur bergabung dengan kromosom y sel sperma (xy), yang terjadi bayi laki-laki. Yang menjadi masalah perencanaan jenis kelamin janin sejak dulu adalah bagaimana memisahkan kromosom x dan kromosom y pada sperma, hingga salah satu bisa dipertemukan dengan kromosomx sel telur. Keistimewaan penemuan tim Iizuka adalah kemampuan memilah jenis kromosom pada sperma itu. Melalui penelitian bertahun-tahun, tim Universitas Keio akhirnya menemukan perbedaan kedua jenis kromosom itu. "Kromosom y sedikit lebih kecil dn lebih ringan dibandingkan dengan kromosom x," ujar Iizuka. Dan perbedaan berat inilah yang digunakan Iizuka untuk memisahkan kromosom x dan y. Teknik pemisahan kromosom itu disebut metode percoll -- sejenis siligasel atau obat pengering. Dalam proses pemisahan kromosom, sperma dicampurkan dengan siligasel ini kemudian dimasukkan ke alat putar sentrifugal. Beban pemutaran yang diperlukan pada proses pemisahan adalah 250 gram -- bisa dicapai berkat "bandul" percoll. Setelah pemutaran 15 menit, terjadilah pemisahan kromosom. Jenis y yang lebih ringan akan berada di bagian atas, sementara x mengendap di bagian bawah. Namun, menurut Iizuka, tingkat kemurnian kromosom yang sudah dipisahkan itu berbeda. Kumpulan kromosom x mempunyai kemurnian 98%-100%, sementara y hanya sekitar 85%. Artinya, kumpulan kromosom y itu besar kemungkinan masih mengandung kromosom x. Dengan kata lain, jaminan keberhasilan merencanakan anak perempuan lebih besar daripada mengharapkan anak laki-laki. Toh, perkara kecenderungan memilih anak laki-laki ini yang mengundang kecemasan. Prof. Hisatake Kato, ahli filsafat dan kolumnis harian kenamaan Yomiuri Shimbun, memprotes keras penemuan Iizuka. Kato yakin, seleksi seks akan merangsang masyarakat Jepang -- dan banyak masyarakat lain -- merencanakan anak laki-laki. "Bila bioteknologi pemilihan jenis kelamin keturunan ini dibebaskan, keseimbangan alam akan runtuh," katanya. Protes keras ini ternyata ditanggapi para dokter Jepang. Majelis Kode Etik Kedokteran Jepang, Nippon Ishikai, belum lama ini, akhirnya mengumumkan larangan mempraktekkan teknik seleksi seks, kecuali untuk mengatasi penyakit keturunan. Maka sementara ini, belum lagi jelas bagaimana kelanjutan percobaan penerapan hasil penemuan tim Universitas Keio itU. Soalnya adakah nanti hasil penelitian itu memang akan berbalik merusakkan umat manusia sendiri sehingga bisa punah seperti makhluk dinosaurus itu. Jim Supangkat, Laporan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini