PENGAWAS lalu lintas udara lapangan udara Kemayoran telah memberikan izin mendarat bagi DC-9 PK-GNE "Citarum" di landasan pacu 17-35. Kapten Umar Santosa dan copilot Suyono (IV) segera melakukan persiapan pendaratan. Kecepatan diperlambat. Dari arah selatan, pesawat seberat 26 ton itu mendekati landasan yang agak licin oleh air hujan. Roda di bawah sayap segera menjejak aspal. Pesawat memantul kembali sedikit. Tidak ada yang menyangka, pendaratanitu harus berakhir dengan roda depan patah, yang diikuti derit badan pesawat beradu dengan aspal. Tubuhnya terbelah dua - persis di atas sayap. Kedua mesinnya, yang terletak di bagian ekor, terlepas dari kedudukannya. Burung besi buatan Amerika yang berumur sembilan tahun itu mustahil bisa diterbangkan lagi. Sejak kecelakaan itu terjadi, Senin pekan lalu, kedua awak pesawat belum diperkenankan terbang. Begitu pula dengan tiga penerbang yang ikut "menumpang" pesawat itu dan lapangan udara Internasional Halim Perdanakusuma. Bagi Garuda, kecelakaan semacam pernah pula dialami sebelumnya, yaitu DC-9 PKGND, di landasan pacu lapangan udara Syamsudin Noor, Banjarmasin, 1978. Menurut direktur teknik dan operasi Garuda Kusdjinatin, penyebabnya adalah pendaratan "yang terlalu keras". Untuk mendaratkan sebuah pesawat, seperti kata seorang penerbang senior, ada banyak faktor yang harus diperhatikan. Antara lain, "Tipe dan ukuran pesawat, muatan, kecepatan angin, cuaca, serta keadaan landasan," katanya. Secara gampang, begitu pesawat mendekati lapangan udara, pilot mengurangi kecepatan. Akibatnya, ketinggian semakin berkurang. Ketika pesawat akan mencapai landasan, elevator digerakkan, agar sayap membentuk sudut serang lebih besar hingga maksimum. Dalam keadaan hampir stall, roda pesawat menyentuh landasan. Namun, cara pendaratan mulus seperti itu tidak berlaku bilamana landasan dalam keadaan licin akibat hujan dan cuaca buruk, atau tidak rata. Hal itu, kata penerbang senior itu, bisa mengakibatkan, "Pesawat tergelincir lantaran aquaplanning - terbentuknya lapisan air antara landasan dan roda pesawat." Dari hasil pemeriksaan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan, kecelakaan yang menimpa Vickers Viscount milik Mandala, di Pelabuhan Udara Sam Ratulangi, Manado 1976, dimungkinkan oleh aquaplanning itu. Untuk mengatasinya, seorang penerbang biasanya memakai teknik positive landing. Dengan cara ini, pesawat seolah "dibanting" ke landasan, dan "memantul" beberapa saat sebelum meluncur di atas landasan. Tentunya, untuk mendaratkan pesawat dengan cara itu, penerbang juga harus memperkirakan beban batas yang dipikul kerangka pesawat itu sendiri. Dalam penerbangan lurus dan datar, sebuah pesawat menanggung beban sesuai dengan gaya gravitasi, atau g. Menurut perkiraan Kusdjinatin, "Citarum" dibantingkan dengan beban mencapai 6 g. Pada umumnya, sebuah pesawat angkutan bermesin jet dibuat dengan dasar perhitungan paling tinggi 4 g. Karenanya, Kusdjinatin menolak dugaan bahwa musibah "Citarum" disebabkan desain yang kurang sempurna, atau faktor "kelelahan" logam (fatique). "Kemungkinan fatique bisa dideteksi segera ketika pesawat mengalami turun mesin (overhaul) besar, kata Kusdjinatin (Lihat: Amoranto Mengusut...). Namun, seorang pejabat Departcmen Perhubungan, yang diikutsertakan dalam tim peneliti kecelakaan "Citarum", tidak mengesampingkan kemungkinan adanya perbedaan arus angin di atas dan di bawah pesawat, sehingga pesawat akhirnya kehilangan "daya dukung". Atau, boleh jadi, pesawat itu diserang gerakan udara yang mendadak berubah. Walhasil, pesawat kehilangan ketinggian. "Kemungkinan seperti itu biasanya terjadi pada cuaca buruk," katanya. Kapten Umar Santoso sendiri masih belum bisa menduga penyebab utamanya "Semua prosedur pendaratan sudah saya ikuti, kok," ujar Umar Santoso. Kejadian itu memang sempat membuatnya panik. Yang pasti, penyebab utama kecelakaan baru bisa ditentukan setelah Flight Data Recorder - yang merekam, antara lain, kecepatan, ketinggian, dan percepatan vertikal dan Cockpit Voice Recorder - yang merekam semua percakapan di kokpit - diteliti. Hasil itu kemudian dicocokkan dengan pengakuan penerbang bersangkutan. Pihak Douglas Aircraft Company di AS menolak memberikan komentar, kendati mereka sudah menerima laporan musibah itu. Bahkan, menurut Elayne Bendel, Federal Aviation Administration dan National Transportation Safety Board pun sudah mendapatkan laporan serupa. Tanpa memperinci angka kecelakaan, Elayne BendEl mengatakan, "Hingga saat ini pihaknya telah menjual 976 pesawat DC-9, yang dipakai oleh 68 maskapai, dan mengangkut 1,7 milyar penumpang." Pesawat DC-9 dirancang pertama kalinya pada 1962. Setahun kemudian, rancangan dengan kode Douglas Model 2086 mulai dikerjakan di pabrik pesawat, Long Beach, California. Pada Juni 1966 I AA pernah memberikan sertifikat Kategori 2 untuk sistem pendaratan segala cuaca yang dimiliki oleh Armada Garuda masih memiliki 20 pesawat semacam, yang semuanya masih tetap diterbangkan sambil menunggu hasil pemeriksaan tim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini