Caca mari ca NU Caca mari ca NU Caca mari ca bapaknya GP Ansor HAMPIR sampai ke masjid Pedurenan, saya dihadang seseorang yang jauh lebih semor, khusus untuk mengajukan pertanyaan: "Ngapa elu enggak pakek pici?" Saya menatap dia dan juga anaknya. Kedua-duanya berpici dan bersarung. Sementara itu, satu demi satu orang memasuki masjid untuk bersembahyang Jumat. Saya diam saja. Entah karena heran atas pertanyaan itu, atau oleh sebab lain. "Ngapa elu diem aja, Tong?" desak orang itu. "Bapak aye" enggak nyuruh," jawab saya pendek, berterus terang. "Lain kali, kalu sembahyang pake pici ya Tong. Minta beli-in ame Babe," nasihatnya. "Iya," jawab saya. Di dalam masjid, kecuali saya, semua memakai pici. Yang kecil, yang besar. Suara khotbah yang lamat-lamat dari seorang tua menyentuh telinga. Kalimat demi kalimat Arab mengalir perlahan, bahkan amat perlahan. Masa itu masa pembentukan kelompok-kelompok sosial secara lebih ketat, berdasarkan aliran pemikiran agama, bahkan ideologi. Teguran orang kepada saya merupakan refleksi polarisasi kelompok sosial agama. Simbol identitas menjadi penting: yang sembahyang dengan memakai pici adalah kelompok Ahlus Sunnah, sedangkan yang tidak dikelompokkan ke dalam Muhammadiyah. Polarisasi ini menjadi semakin keras ketika BTI (Barisan Tani Indonesia), organisasi onderbouw PKI, semakin meluaskan sayapnya, yang disambut kalangan Islam sebagai gejala penghilangan agama. Akibatnya, daya rekat sosial di tiap aliran pemikiran agama (Islam) semakin kuat. Masing-masing menyusun barisan. Dari kalangan Ahlus Sunnah lahirlah GP Ansor, yang berpusat di Kampung Pedurenan, Kelurahan Cilandak KKO. Derap drum band-nya hampir menggema setiap saat, melintasi jalan berdebu, sementara penduduk keluar mengelu-elu. Pada saat-saat itulah bait yang terkutip di atas - menirukan irama lau Mana di Mana Anak Kambing Saya - terdengar, diiringi drum band, sangat memukau. Dan Muhammadiyah, sampai dengan peristiwa GOS/PKI, tak pernah mcnyentuh daerah itu. Karena itu, dalam realitasnya tidak ada Muhammadiyah. Tapi di Manggabesar, Keluruhan Ragunan, Pasar Minggu, ada Pelajar Islam Indonesia (PII). Pusatnya di Madrasah Ibtidaiyah Nurul uda. Ustad Muhammad, guru berpandangan progresif, membakar semangat juang murid-muridnya. "PKI musuh kita. Musuh umat Islam. Keadaan umat Islam sangat terancam. Karena itu, PII harus bangkit mempersatukan umat Islam. PII adalah anak kandung umat Islam". Demikian gaya sang ustad semua murid terdiri dari anak-anak yang masih belepotan ingus. Dan sentak sang ustad bukan tidak ada hasilnya. Bukan saja telah menyebabkan anak-anak kelas tiga ke atas mampu bcrpidato dengan lantang, tetapi juga mengikuti basic training PII. Saya terkagum-kagum dengan ceramah Endang Basri Ananda tentang situasi politik dan umat Islam dewasa itu. Tidak hanya sampai di situ: bara yang dihidupkan sang ustad telah mendorong semangat kerja anak-anak. Berbulan-bulan lamanya kami bergantian menjelajah setiap pelosok kampung seraya berucap: Assalamu'alaikum, amal jariah. Beras dan uang yang kami peroleh menjadi tembok-tembok semen gedung madrasah, menggantikan dinding gedek. Yang menarik adalan melihat dampak polarisasi sosial, berdasarkan aliran pemikiran keagamaan atau ideologis, terhadap kesadaran politik murid sekolah agama. Baik ibtidaiyah Ansor maupun ibtidaiyah PII, senantiasa melahirkan anak-anak berpandangan luas dibanding murid-murid SD. Diskusi dan pidato mengenai hal-hal yang berada di luar jangkauan pelajaran, seperti masalah-masalah di atas, telah sangat terbiasa bagi murid ibtidaiyah. Bayangkan, demonstrasi-demonstrasi mahasiswa dan pelajar di awal Orde Baru telah mereka ikuti - dengan celana pendek. Dan merekalah yang mempopulerkan lagu-lagu demonstrasi: Buat apa sekolah/Buat apa sekolah Kalau Menteri PDK Gestapu Dan ketika PKI dibubarkan oleh pemegang Surat Perintah 11 Maret, Saaman, dalam kapasitasnya sebagai anak kelas lima, secara spontan mengarang sebuah bait - yang iramanya justru dipinjam dan lagu Nasakom Bersatu: Umat Islam bersatu/Singsingkan lengan bajumu Marilah kita hancurkan/Ateisme anti-Tuhan Dahulu, di kampung saya, Ansor dan PII bisa bersatu. Untuk menenteramkan hati umat - akibat semakin meluasnya PKI - anak-anak Ansor dan PII menjadi tulang punung penyelenggaraan Maulud Nabi di langgar Haji Duloh. Walau berpidato hampir sepenuhnya dalam bahasa Arab, dan hanya berbicara tentang akhirat dan amal jariah, Habib Ali Al-Habsyi (almarhum) telah menjadi tokoh yang memperkukuh solidaritas umat. Masa kanak-kanak yang indah, dinamis. Kini, ketika kanak-kanak telah besar, masih saja dinamika itu dirasakan - walau dalam dimensi yang lebih makro. Perpecahan di kalangan PPP, juga di kalangan NU, benar-benar mengingatkan mereka akan indahnya masa kanak-kanak. Dan memang, hanya kanak-kanak yang bisa bekerja sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini