KETIKA melayang di angkasa, sesungguhnya, sebuah pesawat terbang amat menderita. Tekanan udara yang selalu berganti, yang dirasakannya ketika melejit begitu cepatnya di udara - apalagi pada pesawat Jet - mengakibatkan sayapnya seringkali membengkok, tubuhnya terpuntir, mengembang atau mengerut, dan ekornya pun bergoyang-goyang. Di dalam suatu penerbangan normal, sayap pesawat raksasa Boeing 747 bisa melentur sampai 1,5 meter, sedangkan tubuh DC-9 bisa menggelembung 1,6 milimeter. Peristiwa itu menyebabkan "kelelahan logam" (fatique): terjadi keretakan atau keropos pada bagian tertentu tubuh pesawat. Tentu saja, pada akhirnya bisa berakibat fatal. Belum jelas adakah faktor "kelelahan" berperanan pada kecelakaan pesawat Garuda DC-9 "Citarum" di Kemayoran, pekan lalu. Yang jelas, ada sebuah pertanyaan: Mengapa roda depan pesawat tiba-tiba patah? Dari catatan musibah, yang menimpa angkutan udara, beberapa di antaranya tak lain disebabkan fatique. Misalnya pesawat De Havilland Comet milik maskapai BOAC (Inggris) yang mencebur ke Laut Tengah, tak jauh dari Pulau Elba, dengan 29 penumpang dan enam awak, pada Januari 1954. Malapetaka oleh sebab yang serupa masih dialami perusahaan itu beberapa bulan kemudian, ketika pesawatnya dari jenis serupa mencebur di laut yang sama, tak jauh dari Pantai Napoli, dan 21 penumpangnya tewas. Comet adalah jenis pesawat jet yang pertama kali digunakan untuk penerbangan komersial. Tak heran kalau dua tragedi tadi sangat merangsang para ahli untuk merancang alat yang lebih akurat mendeteksi "kelelahan" Sampai sekarang di pabrik pesawat sudah dikenal banyak macam metode: ada yang disebut teknik kontrol zat warna, metode sinar X atau sinar Gamma, dan kemudian metode ultrasonografi. Dari semua itu, yang terakhir disebut boleh dikatakan yang terhandal, karena tingkat akurasi yang tinggi dan pula amat praktis. Tak aneh kalau semua pabrik pesawat terbang di dunia tampaknya dilengkapi alat seperti tes itu, termasuk pabrik pesawat Nurtanio di Bandung. Prinsip kerja alat ini sama saja dengan radar untuk mendeteksi berbagai benda di angkasa atau sonar untuk mendeteksi di laut, yaitu dengan memancarkan gelombang suara berfrekuensi tinggi (ultrasonik), lalu menyimpulkan hasilnya dari analisa gelombang suara yang kembali karena terpantulkan. Tapi, menurut Dr. Amoranto Trisnobudi, 35, pengajar di Jurusan Fisika Teknik ITB, metode itu ternyata masih kurang akurat menangkap dimensi cacat yang kecil dan berposisi miring di dalam suatu bahan. "Cacat yang sebetulnya kecil bisa dianggap besar, dan yang besar dianggap kecil," katanya. Itu disebabkan metode ini mengukur dimensi cacat dengan memakai amplitudo gelombang ultrasonik yang terpantulkan sebagai besaran. Amoranto sejak empat tahun yang lalu dalam program doktor di Universite d'Aix Marselle II, Prancis - mendalami hal itu, dan dia menemukan metode yang bisa menutupi kelemahan tadi. Untuk itu, Desembcr 1983, Amoranto berhasil mendapat gelar doktor dengan predikat "sangat memuaskan". Perbaikan itu dilakukan Amoranto dengan menggunakan teknik spektroskopi yaitu membantu alat tadi dengan penganalisa frekuensi (spektro), yang bisa mengukur frekuensi sinyal yang dipantulkan oleh cacat secara cermat. Tentu saja, metode ini bisa untuk mengetes dinding reaktor nuklir, berbagai konstruksi logam yang masif, seperti rotor dan turbin, serta dinding reaktor kimia. Pokoknya, semua obyek yang harus diteliti dengan alat yang akurat, termasuk pesawat terbang. "Alat itu bisa saja kita bikin di sini, asal ada duit," kata Amoranto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini