Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mengapa rendemen tebu turun?

P3gi melepas 28 varietas tebu baru, yg unggul secara lokal. dengan nama ps81-283, dan ps81-605. p3gi juga memprakarsai sistem cocok tanam tebu mo- del baru yang disebut budi daya tebu (bt) 2000.

8 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

P3GI melepas 28 varietas tebu baru, yang unggul secara lokal. Sekitar 70% lahan tebu kita kini diserang penyakit karena bertumpu pada varietas BZ 148. SEMANGAT kedaerahan ternyata masih perlu -- paling tidak untuk urusan budi daya tebu. Ambillah contoh, untuk memenuhi kebutuhan varietas tebu baru. Jika ia harus berbobot nasional, cocok ditanam di seluruh Indonesia, perlu waktu 12 tahun untuk melahirkannya. Namun, kalau hanya cocok untuk satu daerah tertentu, "Hanya perlu waktu tujuh tahun," kata Prof. Dr. Goeswono Soepardi, Direktur P3GI (Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia) yang berpusat di Pasuruan, Jawa Timur. Maka, tak tanggung-tanggung, kini P3GI tengah mengusulkan 28 varietas baru tebu untuk dilepas ke masyarakat. Sebuah prestasi besar. Sebelumnya, P3GI hanya sanggup melepas 2-3 varietas baru per tahun. Untuk sampai ke kebun petani dan swasta, galur-galur baru itu tinggal menunggu lampu hijau Komisi Penilaian dan Pelepasan Varietas Baru di Departemen Pertanian. Nama-nama varietas itu ditunjukkan dengan kode-kode PS 81-283, PS 81-605, dan seterusnya. PS merupakan kependekan dari asal-usul varietas baru itu, yakni Pasuruan. Dua angka pertama pada kode itu menunjuk tahun dimulainya proses rekayasa varietas baru itu. Lalu, angka akhirnya merupakan nomor seleksi. Goeswono Soepardi mewanti-wanti betul, galur baru produk P3GI itu bukan jenis tebu sakti yang diharapkan punya reputasi nasional. "Mereka hanya bisa disebut varietas unggul lokal," tutur bekas dekan Fakultas Pertanian IPB itu. Jadi, mereka itu ada yang hanya cocok untuk ditanam di lahan berpengairan, ada pula yang sesuai untuk lahan kering. Penganekaragaman varietas ini, menurut Goeswono, perlu demi mengejar ketinggalan produksi terhadap konsumsi. Pada 1990 lalu, misalnya, produksi tebu nasional hanya 25-26 juta ton, dan setelah diperas menjadi gula, angka itu tinggal 2,2-2,3 juta ton. Padahal, kebutuhan dalam negeri kabarnya lebih dari 2,5 juta ton. Maka, tebu perlu perluasan lahan. Mau tak mau harus disediakan jenis tebu yang sanggup tumbuh di lahan tak berpengairan, agar memungkinkan dibudidayakan di luar Jawa. Konsekuensinya, varietas itu harus sanggup beradaptasi dengan lingkungan iklim, tanah, dan hama penyakit setempat. Kendati menyiapkan varietas baru besar-besaran, kata Goeswono, P3GI tak bekerja asal-asalan. Varietas baru PS 81-573, misalnya, cocok untuk tanah jenis regosol dan aluvial yang ada di bawah iklim agak kering. Potensi hasilnya sampai 1.700 kuintal/ha. Dan PS 82-3208 bila ditanam pada kondisi alam Ketapang, Kalimantan Barat, bisa memberikan hasil 1.400 kuintal. "Tidak kalah dengan varietas BZ 148, yang dipakai sebagai standar nasional," kata ahli ilmu tanah yang sudah kawakan itu. Potensi hasil BZ 148 sekitar 1.000 kuintal. Beberapa varietas lainnya tidak luar biasa dari segi hasil. PS 81-640, misalnya, hanya bisa memberi 675 kuintal/ha, dan kalau diperas menjadi 60 kuintal hablur. Boleh jadi tebu jenis ini kurang ekonomis untuk diproses menjadi gula. "Tapi niranya bisa digunakan oleh industri yang memerlukan bahan baku gula cair," Goeswono menyarankan. Kehadiran varietas unggul bereputasi nasional seperti BZ 148 itu pun tak selalu menguntungkan. Karena hasilnya dianggap hebat, perkebunan swasta dan petani ramai-ramai menanamnya. Alhasil, menurut Eka Sugiyarta, peneliti di P3GI, kini 90% dari sekitar 300.000 ha lahan tebu nasional berisi BZ 148. "Idealnya porsi varietas favorit itu tak lebih dari 40%," kata Eka. Keseragaman varietas, itu dampaknya telah terasa. Sekitar 70% lahan tebu terserang penyakit serupa: RSD (Ratoon Stunting Disease). Akibatnya memang tak mematikan, tetapi penurunan hasil panen tak bisa dihindari. Untuk Jawa, kata Eka, dahulu rendemen 8% terhitung sial. Namun, belakangan, "Untuk mencapai rendemen 8% sulit bukan main," tuturnya. Rendahnya rendemen bukan saja gara-gara epidemi. Kapasitas pabrik gula yang rendah membuat masa giling menjadi panjang, 171 hari per tahun. Banyak petani antre menunggu tebunya bisa masuk ke pabrik. Agar semua mendapat bagian, ada tebu yang terpaksa ditebang lebih awal, dan ada pula yang terlambat. Kejadian ini, "Berakibat menurunkan rendemen," kata Goeswono. Namun, bagi Goeswono, sekadar bibit unggul dan meningkatkan kapasitas pabrik saja belum cukup. Masih ada ganjalan lain bagi budi daya tebu di lahan berpengairan yang membutuhkan banyak tenaga kerja itu. Buruh tani makin langka, dan komoditi lain, padi misalnya, makin menarik gara-gara harga beras yang makin menguat, dan bisa panen lima kali setiap dua tahun. Demi meningkatkan daya saing tebu itu, P3GI juga memprakarsai sistem cocok tanam tebu model baru yang disebutnya sebagai budi daya tebu tahun 2000 (BT 2000). Cara baru ini merupakan modifikasi dari sistem Reynoso yang telah puluhan tahun dijalankan di Indonesia. Perbaikan yang paling pokok ialah memperlebar jarak antar barisan tebu. Prinsip irigasi dan drainase Reynoso tetap dianut pada BT 2000. Tapi lebar juring (guludan tanah tempat bibit tebu ditanam secara berjejer rapat) dipersempit. Jarak antar juring juga diperlebar sampai 100-120 cm. Alhasil, terdapat ruang lebar di antara dua barisan tebu. Dengan begitu, tumpang sari bisa dilakukan di sela-selanya, sambil menunggu masa panen tebu yang makan waktu satu tahun. Lebih dari itu, menurut Goeswono Soepardi, jarak juring yang lebar itu memungkinkan BT 2000 itu bisa dilakukan dengan bantuan traktor. "Hasilnya juga akan jauh lebih tinggi," ujarnya. Teknik BT 2000 itu kini sedang diuji coba di Klaten, Jawa Tengah, di atas tanah milik PTP XV dan PTP XVI. PTH, Supriyantho Khafid, dan Kastoyo Ramelan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus