RUU Kejaksaan disetujui DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Akhir perdebatan seru yang alot, tentang wewenang kejaksaan dan presiden. BERWENANGKAH presiden memerintahkan penyidikan atau menghentikan sebuah perkara pidana? Itulah salah satu pasal dalam RUU Kejaksaan, yang selama tujuh bulan terakhir menjadi perdebatan "hangat" antara pemerintah dan DPR. Akhirnya, setelah melewati silat lidah yang alot, Senin pekan lalu DPR menyetujui RUU itu disahkan menjadi undang-undang. Rumusan rancangan pasal ini (pasal 32 (1) b) persisnya berbunyi: "Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap perkara tertentu yang ditetapkan oleh presiden". Ternyata, pembicaraan pasal yang memuat wewenang presiden itu paling alot dibandingkan pasal-pasal lainnya. Sebab, banyak pihak yang khawatir wewenang itu akan menyebabkan presiden bisa mencampuri kekuasaan yudikatif. Saking alotnya perdebatan itu, menurut banyak pengamat, hampir tak diperoleh titik temu antara yang setuju dan tidak setuju. Menteri Kehakiman Ismail Saleh (yang mewakili pemerintah dalam mengajukan RUU itu ke DPR) dan Jaksa Agung Singgih sampai perlu berkonsultasi dengan Presiden Soeharto. Toh akhirnya, berkat lobi kedua petinggi hukum itu dengan para anggota dewan, bisa juga dicari jalan tengah. Pasal itu dirumuskan kembali dengan redaksionil yang cukup panjang, menjadi: "Jaksa Agung dapat mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait berdasarkan undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh presiden". RUU Kejaksaan ini, yang disampaikan ke DPR untuk menggantikan Undang-Undang Kejaksaan tahun 1961, langsung mendapat sambutan panas dari keempat fraksi DPR begitu disampaikan pemerintah pada 16 November 1990. Dari luar gedung parlemen, para praktisi hukum dan kalangan akademis juga tak ketinggalan menanggapi secara kritis RUU tersebut. Persoalan pertama yang menimbulkan perdebatan panjang adalah ketentuan pasal 29 RUU, tentang wewenang khusus kejaksaan untuk menyidik tindak pidana khusus (subversi, korupsi, ekonomi). Banyak anggota DPR dan praktisi hukum menganggap pasal ini kembali mementahkan KUHAP, yang "mematok" Polri sebagai penyidik tunggal. Toh pemerintah tetap bertahan. Menurut Ismail Saleh, pasal 29 itu sama sekali tak bertentangan dengan KUHAP, yang mengatur wewenang Polri untuk menyidik tindak pidana umum seperti pencurian, perkosaan, atau penggelapan. Bahkan pasal itu dan KUHAP, kata Ismail, akan semakin memantapkan makna sistem peradilan pidana terpadu. Sebetulnya, pasal 29 itu merupakan pengukuhan wewenang kejaksaan, yang selama ini sudah dilakukan instansi penuntut umum itu berdasarkan pasal peralihan hukum acara (pasal 284 KUHAP). Berkat pasal peralihan itulah Kejaksaan Agung, selama ini, misalnya, bisa menyidik kasus korupsi Bank Duta atau subversi H.R. Dharsono. Sebagai perbandingan, di banyak negara maju seperti AS, Jepang, atau Korea -- bahkan diakui pada kongres PBB Agustus silam -- kejaksaan memang tak hanya berwenang menuntut tapi juga menyidik perkara-perkara khusus tersebut. Seiring dengan pasal 29 tersebut, yang juga menjadi ganjalan adalah pasal 27 (wewenang kejaksaan untuk melakukan pemeriksaan tambahan guna melengkapi penyidikan polisi). Pasal ini diajukan pemerintah sebenarnya dimaksudkan agar perkara tidak sering bolak-balik dari kejaksaan dan ke polisi akibat tidak lengkapnya hasil penyidikan polisi. Atau, seperti kata Ismail Saleh, supaya perkara tidak berlarut-larut -- bahkan menghilang tanpa sebab. Tapi, menurut para wakil rakyat, letak persoalan isi pasal 27 pada masalah koordinasi jaksa-polisi. Karena itu, menurut mereka, ya, tak perlu sampai diatur dalam undang-undang. Toh, seusai masa reses dua bulan, dan setelah berkunjung ke Kejaksaan Agung dan Mabes Polri, plus setelah "dilobi", akhirnya DPR menerima pasal 27 itu, yang kemudian disempurnakan rumusannya. Bahkan, kalau dalam rumusan kejaksaan hanya bisa menambah penyidikan atas perintah hakim, berkat lobi itu, kejaksaan bisa menggunakan wewenang itu sebelum perkara sampai ke pengadilan. Perdebatan kedua pasal 27 dan 32 bahkan tak selesai sampai masa reses DPR pada 7 Maret lalu. Padahal, pemerintah sudah mengambil ancang-ancang supaya RUU itu digolkan menjadi undang-undang sebelum masa reses. Masalah yang paling "berat" adalah pasal 32 (ayat lb) tentang wewenang presiden tadi. Para anggota DPR mempertanyakan maksudnya, bahkan meminta pemerintah menggugurkan saja pasal tersebut. Menurut Sukardi Effendi dari F-PP, adanya perkara dan pelaku yang bisa disidik Jaksa Agung dengan wewenang "istimewa" itu jelas tak sesuai dengan asas persamaan di depan hukum, seperti diamanatkan dalam pasal 27 UUD 45. Marzuki Darusman dari F-KP menilik pasal itu dari segi kriteria perkaranya. Dengan kata lain, jenis perkara apa yang bisa ditetapkan presiden untuk dituntut dan perkara yang mana yang tak akan dituntut. Soalnya, tambah Marzuki, perkara politik pun seharusnya perlu landasan hukum untuk dituntut. Sementara itu, Soebagyo dari F-ABRI berpendapat bahwa kewenangan presiden yang notabene sudah ditentukan dalam UUD 45 dan TAP MPR, seharusnya tak perlu lagi diatur dalam undang-undang organik seperti RUU Kejaksaan itu. Lagi pula, kata Djupri dari F-PDI, masalah penyidikan dan penuntutan sudah diatur dalam undang-undang hukum acara (KUHAP), yang tentu saja lebih tinggi kedudukannya ketimbang ketetapan presiden. Kalau pasal 32 (1) b tadi dipaksakan juga, "Bisa-bisa undang-undang nanti ditorpedo ketetapan presiden," ujar Djupri. Reaksi keras tak hanya datang dari anggota DPR. Organisasi hakim (Ikahi), misalnya, menilai ketentuan itu mengisyaratkan adanya campur tangan presiden terhadap lembaga yudikatif. Pasal itu, kata Ketua Umum Ikahi, waktu itu A. Soedjadi bisa mempengaruhi proses peradilan dan kebebasan hakim. "Kalau ada perkara yang sudah ditetapkan presiden agar dituntut Jaksa Agung, tapi kemudian di pengadilan tak terbukti, kan hakim bisa-bisa tak berani memvonis bebas," kata Sekjen Ikahi Amarullah Salim. Setelah Ismail Saleh dan Singgih berkonsultasi dengan Presiden Soeharto titik temu mulai kelihatan. Presiden, menurut Ismail Saleh, menjelaskan bahwa pasal itu sama sekali tak dimaksudkan untuk mencampuri kekuasan lembaga yudikatif. Pasal itu, tutur Ismail di hadapan Panitia Khusus (Pansus) DPR, semata-mata untuk mengantisipasi meningkatnya kejahatan -- baik kuantitas maupun kualitasnya. Misalnya saja, pasal ini berguna jika yang akan diusut kejaksaan adalah menteri. Sebah itulah, dengan nengubah rumusannya. DPR pun kemudian menerima materi pasal 132 (1) b itu. "Ibaratnya, biarkan kandangnya tetap ada, jangan dirusak. Binatangnya saja yang diganti," tutur Djupri. Pemerintah sendiri agaknya tak terlalu keberatan dengan rumusan tersebut. "Yang penting, ide dasarnya tetap ada," ujar Ismail Saleh kepada wartawan TEMPO Andi Reza Rohadian. Sewaktu menyambut golnya RUU di DPR, Ismail malah menganggap rumusan itu unik. Soalnya, "Dalam satu ayat terdapat dua kata koordinasi," katanya. Sementara itu, Ketua Pansus Marzuki Darusman tak hanya melihat rumusan baru itu dari segi koordinasi saja. Buat Marzuki, rumusan itu juga akan berdampak positif sekaligus menjadi alas hukum bagi penanganan perkara-perkara politik. Sebab, selama ini pemerintah kerap kali menyelesaikan perkara politik secara politis saja -- bukan secara hukum. "Dengan adanya rumusan pasal itu, seharusnya kasus-kasus seperti perlakuan terhadap anggota Petisi 50 tidak akan ada lagi," kata Marzuki. Happy Sulistyadi, Bambang Sudjatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini