Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Brutal dulu, bingung kemudian

Kegembiraan dan brutal manandai lulusan sma di yogya, jakarta & bandung.tahun ini lulusan sma sekitar 1,3 juta. mereka memperebutkan 377 ribu kursi di perguruan tinggi.berbagai promosi ditawarkan

8 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah insiden brutal mewarnai kegembiraan lulusan SMA. Dari 1,3 juta memperebutkan tak sampai 400 ribu kursi perguruan tinggi. Sekolah di luar negeri atau menganggur? GEMBIRA dan brutal ternyata bisa terjadi bersamaan. Lihat saja pawai gembira-ria siswa SMA di Yogyakarta, Jumat pekan lalu. Seusai pengumuman lulus Ebtanas, mereka membawa sepeda motor berbondong-bondong turun ke jalan. Dengan semprotan pylox di baju, rambut, dan celana, mereka mengadakan reli keliling kota. Berteriak-teriak dan bernyanyi-nyayi. Bahkan sesekali mereka main akrobat di atas sepeda motor dengan berdiri, berzig-zag-ria, dan pamer seperti anggota kesebelasan yang pertama kali menang bertanding. Dalam suasana gembira-ria di terik matahari, tiba-tiba secara sporadis muncul aksi brutal. Bermula dari sekadar serempetan sepeda motor. Ujung-ujungnya, tawur sesama pelajar, menggebrak-gebrak mobil di jalan, merusak sekolah, dan di sana-sini nyaris terjadi perkelahian antar sekolah. Insiden kebrutalan terjadi di depan Hotel Garuda, Bintaran, daerah Pingit, dan beberapa tempat lainnya. Sejumlah pelajar masuk rumah sakit karena kena tusukan atau sabetan celurit, dan beberapa mobil rusak. Cara siswa Bandung merayakan "kemenangan" Sabtu lalu mirip di Yogya. Setelah baju, rambut, celana, dan mobil dilukisi dengan warna-warni spidol dan semprotan pylox, mereka berpawai keliling kota dengan mobil dan sepeda motor. Bernyanyi, berteriakteriak, berjingkrak-jingkrak. "Yang penting happy. Kapan lagi?" kata Ina, salah seorang siswi SMA BPI Bandung. Dan, jalan pun macet total. Bedanya, polisi lebih sigap. Sebelum kegembiraan berbalik menjadi kebrutalan, polisi turun ke jalan. Ketika arak-arakan melewati kantor Polwiltabes, 15 mobil dan 168 pelajar digiring masuk kantor polisi. Satu per satu pelajar itu baru dibebaskan setelah polisi minta orangtua masing-masing menjemputnya. "Kejadian hura-hura seperti ini tak dibenarkan," kata Kolonel K. Ratta, Kepala Polwiltabes Bandung kepada Ida Farida dari TEMPO. Jakarta hampir sama. Gaya anak muda, misalnya di SMA 3 Jakarta, tampak gembira sampai ke ujung rambut. Berjoget dengan iringan musik keras-keras dari mobilnya, setelah badan dilumuri warna-warni coretan spidol dan semprotan pylox. Mereka bersalaman, berpelukan, dan saling sun. "Selamat, ya ... selamat, ya ...." Dan sesekali terdengar bunyi "kraak ... krekk ..." di tengah hura-hura. Mereka menyobek seragam putih dengan atribut sekolahnya, seolah mengatakan, "Selesailah sudah masa SMA." Gembira tanpa brutal mungkin dianggap hambar oleh lulusan SMA itu. Jakarta nyaris dikepung seragam loreng putih-abu-abu. Mereka seakan menjadi jagoan yang minta ditonton. Buntutnya, menurut polisi, di Jakarta Pusat terjadi keributan. Empat mobil rusak, sebuah sepeda motor hancur, dan ada aksi pencopetan yang mendompleng. Memang, hari itu mereka boleh saja sembira. Setelah seragam putih penuh coreng-moreng dan compang-camping dicopot, mereka tinggal mengenakan t-shirt. Mereka bukan lagi anak SMA. Ke mana mereka akan menempuh hidup baru? Lulusan SMTA itu mesti menentukan pilihan dan berlomba, yang tampaknya tak bisa diraih dengan hura-hura lagi. Betapa tak berebut. Lulusan SMTA tahun ini sekitar 1,3 juta orang. Menurut suatu penelitian yang dibuat Direktorat Pendidikan Menengah Umum sepuluh tahun lalu, 90% lulusan SMA mengejar bangku perguruan tinggi. Andaikan kecenderungan itu masih layak, setidaknya 1,1 juta remaja harus bertanding memperebutkan 377 ribu kursi di perguruan tinggi (110 ribu di perguruan tinggi negeri dan 267 ribu swasta). Yang tak beruntung dan tak punya duit masuk perguruan tinggi tentunya akan menyerbu lapangan kerja yang sudah sesak atau nrimo jadi penganggur. Memang, pada akhirnya putusan ada di tangan lulusan SMA itu sendiri. Menurut Direktur Pembinaan Sarana Akademis Prof. Bambang Suhendro, beberapa program studi yang sudah jenuh ditekan agar tak serta-merta memproduksi sarjana yang kemudian susah mencari kerja. Namun, tumbuhnya jurusan yang semata mencetak sarjana di PTS tampaknya susah dikontrol. Program studi eksakta atau teknik sangat sedikit. Ini diakui Direktur PTS, Prof. Yuhara Sukra. Problem yang mereka hadapi, katanya, adalah soal dana dan tenaga ahli. Maksudnya, membuka jurusan sosial ekonomi jauh lebih murah dan gampang. Untuk gambaran, ia menunjuk dari 914 PTS yang ada di Indonesia, 76% adalah nonteknik. "Bagi anak lulusan SMA, perlu pandai-pandai membaca tanda-tanda zaman masa depan, ke mana arah pembangunan ini berjalan," katanya. Informasi ke mana lulusan SMA harus pergi memang perlu agar mereka tak salah pilih. Beberapa PTS giat berpromosi, baik mengenai statusnya -- misalnya disamakan -- orang-orang beken yang duduk di belakangnya, fasilitasnya modern, maupun pengalamannya menghasilkan sarjana. Spanduk digelar di berbagai sudut kota, brosur dibagi-bagi ke sekolah, iklan di media massa, dan cara-cara lain. Pendeknya, seribu janji disodorkan PTS seperti mengiklankan bunga tabungan bank yang disertai beraneka hadiah. Sampai-sampai, Selasa pekan lalu ada seminar di Gedung Perpustakaan Nasional Jakarta dengan tema mentereng: "Ke Mana Setelah SLA?" Sekitar 250 siswa tertegun mendengarkan salah seorang penceramahnya, psikolog dari UI, Sartono Mukadis. Supaya anak-anak tak salah memilih jurusan, katanya, masing-masing harus mengenal diri sendiri. Menanggapi statemen itu, seorang siswa angkat bicara, "Saya di sekolah termasuk badung dan suka berkelahi. Apakah perguruan tinggi mau menerima saya?" Peserta pun langsung gerrr .... Moderator seminar, psikolog dan bintang film Niniek L. Karim pun tersenyum, dan langsung memotong bahwa setiap orang berhak atas pendidikan. Promosi yang tak kalah gencar adalah sekolah di luar negeri. Yang ditawari terutama para anak jutawan. Mereka bisa studi di Amerika, Eropa, dan Australia. Promosi berupa iklan di media massa atau tatap muka, semacam "pameran pendidikan". Pekan ini, misalnya, ada "pameran pendidikan" di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, untuk studi di Negeri Kanguru. Menurut Made Wiratma, Asisten Manajer Australian Education Centre (AEC), pintu belajar di Australia dibuka lebar. Selain ditawarkan jenis pendidikan, juga diinformasikan soal tempat kos, biaya, kursus bahasa Inggris atau keahlian yang bakal didapat. Sasaran paling empuk adalah lulusan SMA Indonesia. Sampai tahun lalu, siswa Indonesia yang belajar di Australia 3.943 orang. Sampai Maret 1991 lalu, sudah terdaftar 550 lulusan SMA yang akan masuk universitas di sana tahun ini. Syaratnya pun tak sulit. Menurut Wiratma, NEM rata-rata tak kurang dari 7. Mereka juga harus nglotok berbahasa Inggris, dengan TOEFL 550. Sekolah di luar negeri memang hanya bagi lulusan SMA yang punya duit. Bayangkan, biaya kuliah per tahun, misalnya di AS, untuk jenjang non-gelar US$ 3.000-US$ 10.000, dan di Australia antara A$ 8.000 dan A$ 12.000 atau paling rendah Rp 12 juta setahun. Biaya sekolah untuk program master tak bertaut jauh. Namun, untuk program doktor, biaya di AS sekitar US$ 15.000, dan di Australia A$ 19.000 atau hampir Rp 25 juta. Ini belum termasuk untuk keperluan di luar sekolah. Selain dana, kemampuan lulusan SMA juga menentukan. Untuk bisa menjadi ahli teknik, diperlukan anak-anak yang paham ilmu eksakta atau jago di jurusan A1 (Fisika) atau A2 (Biologi). Namun, kenyataannya, 70 persen lulusan SMA adalah jurusan A3 (IPS) dan A4 (Bahasa). "Karena, memang banyak anak yang tak mampu memenuhi syarat masuk jurusan A1 dan A2. Padahal, kesempatan itu dibuka lebar," kata Direktur Pendidikan Menengah Umum Winarno Hamiseno. Problem lulusan SMA memang pelik, seruwet lukisan pylox di seragam sekolah yang mereka tanggalkan. Dalam keadaan terdesak, mereka pun suka nekat, masuk PTS mana saja atau kursus apa pun asalkan mereka bisa mencantumkan status dalam KTP-nya "mahasiswa". Bukan penganggur. Itu kalau mereka punya duit. Gatot Triyanto, Sitti Nurbaiti (Jakarta), dan R. Fadjri (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus