Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Mengenal Teknologi Internet Satelit di Indonesia hingga Kehadiran Starlink

Meski pendatang baru dalam dunia bisnis internet satelit, nama Starlink yang dimiliki Elon Musk dengan cepat mampu bersaing.

3 Desember 2024 | 17.49 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - SpaceX yang terkenal dengan teknologi internet satelit Starlink kini telah mendapatkan izin dari Komisi Komunikasi Federal  (FCC) Amerika Serikat untuk memulai layanan Direct-to-Cell bekerjasama dengan T-Mobile yang memungkinkan layanan satelit langsung diakses melalui telepon seluler.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lalu bagaimana perkembangan teknologi internet satelit itu sendiri di Indonesia hingga kini Starlink ikut beroperasi? 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dilansir dari The Verge, lisensi T-Mobile itu menjadi kolaborasi pertama antara operator satelit dan operator nirkabel yang disetujui oleh FCC untuk menyediakan cakupan seluler tambahan dari luar angkasa. Meski begitu, dalam pemberitahuannya FCC menyampaikan bahwa perizinan yang mereka berikan juga dibarengi dengan ketentuan tertentu. 

“Komisi mengakui bahwa konektivitas satelit ke perangkat dapat mendukung manfaat kepentingan publik yang penting, termasuk konektivitas di mana-mana, akses ke layanan 911 dari daerah terpencil, kemajuan teknologi, dan penggunaan spektrum yang inovatif,” kata FCC dalam pengumumannya. 

Mengenal Internet Satelit di Indonesia hingga Kehadiran Starlink
Sejarah perkembangan internet satelit di Indonesia tidak terlepas dari dimulainya peluncuran satelit Palapa A1 dari Kennedy Space Center, Tanjung Canaveral, Amerika Serikat, pada 9 Juli 1976.

Dilansir dari laman psn.co.id, pada masa tersebut, Indonesia menjadi negara pertama di Asia dan negara ketiga di dunia yang mengoperasikan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) menggunakan Satelit GEO setelah Amerika Serikat dan Kanada.

Adapun Palapa A1 menjadi SKSD pertama di Indonesia yang memberikan layanan telepon dan faksimili antar kota di Indonesia. Lalu, SKSD juga berkembang menjadi infrastruktur utama pendistribusian program televisi nasional. Palapa A1 menjadi tonggak sejarah satelit di Indonesia yang kemudian diikuti dengan satelit-satelit berikutnya.

Setelah satelit Palapa hadir dengan beberapa generasinya, Indonesia terus meluncurkan beberapa satelit lainnya seperti Telkom, Cakrawarta, Indostar, Garuda dan PSN. Setidaknya saat ini  tercatat ada 4 operator satelit nasional yang memiliki dan mengelola satelitnya sendiri, antara lain: TELKOM, PSN, MNC dan BRI.

Untuk diketahui, PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) adalah perusahaan telekomunikasi swasta berbasis satelit yang pertama di Indonesia. Berdiri pada 1991, PSN hadir dengan menggunakan teknologi Very Small Aperture Terminal (VSAT) yang dicetus oleh dua orang pakar satelit yaitu Adi Rahman Adiwoso dan Iskandar Alisjahbana.

Perusahaan ini pernah membeli dan memperpanjang umur satelit Palapa B-1 dari PT Telkom pada 1992. Dalam perkembangannya, anak perusahaan PSN yaitu Asia Cellular Satellite (ACeS), meluncurkan satelit Garuda 1 L-band sebagai bagian dari jaringan telepon selular berbasis satelit di wilayah Asia Tenggara pada tahun 2000. Perusahaan ini juga mendapatkan izin Pemerintah menjadi perusahaan penyedia Internet Service Provider (ISP) untuk koneksi yang mencakup seluruh Indonesia. 

Setahun kemudian, PSN meluncurkan layanan BYRU (layanan ponsel satelit) berbasis satelit Garuda-1. Kemudian, pada 2005 PSN meluncurkan GWAVE (modem satelit broadband untuk transfer data kecepatan tinggi, konferensi video, dan pengumpulan berita) serta BYRU OTOSAT (yaitu layanan BYRU untuk penggunaan di kendaraan).

Pada 2017, PSN telah meluncurkan produk baru yang berupa internet broadband berkecepatan tinggi melalui satelit dengan harga terjangkau yang mampu menjangkau daerah-daerah di seluruh penjuru indonesia yang tidak tercover oleh jaringan terrestrial bernama Ubiqu. Dan selanjutnya meluncurkan Nusantara Satu (2019), Nusantara Dua (2020), dan Nusantara Tiga atau dikenal Satria-1 pada 2023.

Lalu bagaimana dengan Starlink? 

Dikutip dari laman CNET, seperti TV satelit, internet satelit memerlukan gelombang radio yang dipancarkan dari satelit di orbit Bumi rendah atau tinggi. Kehadiran Internet satelit dianggap sebagai solusi karena tidak harus menggunakan infrastruktur darat yang bergantung pada kabel, serat optik, atau saluran telepon.

Hal itu dikarenakan teknologi berbasis darat tidak berkembang dengan baik di daerah pedesaan karena kepadatan penduduk yang rendah, di mana ISP harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk menjangkau wilayah yang lebih luas agar jumlah rumah tangga yang sama dapat terhubung ke internet.

Penyedia internet satelit teratas secara global di antaranya termasuk Viasat dan Hughesnet yang telah berkecimpung dalam bisnis komunikasi berbasis satelit selama beberapa dekade. Sedangkan Starlink adalah pendatang baru di industri ini, tetapi merupakan pesaing yang kuat.

Menurut laporan Ookla Q1 2024 , Viasat memiliki kecepatan unduh rata-rata sekitar 34Mbps, sementara Hughesnet hanya menawarkan kecepatan rata-rata 15Mbps. Namun Starlink memiliki kecepatan rata-rata 64Mbps, mengalahkan kecepatan Viasat dan Hughesnet. Starlink juga telah memiliki lebih dari 6.000 satelit di orbit dan menjangkau jutaan pelanggan di AS dan sekitarnya . 

Dikutip dari laman resminya, Starlink adalah konstelasi satelit pertama dan terbesar di dunia yang menggunakan orbit rendah Bumi untuk memberikan internet broadband yang mampu mendukung streaming, gaming online, panggilan video, dan banyak lagi. 

Untuk diketahui, sebagian besar layanan internet satelit berasal dari satelit geostasioner tunggal yang mengorbit Bumi pada jarak 35.786 km. Akibatnya, waktu perjalanan data untuk bolak-balik antara pengguna dan satelit—yang dikenal sebagai latensi—menjadi tinggi, sehingga hampir tidak mungkin untuk mendukung streaming, gaming online, panggilan video, atau aktivitas lain yang memerlukan kecepatan data.

Sementara Starlink hadir dengan konstelasi ribuan satelit yang mengorbit sangat dekat dengan Bumi, pada jarak sekitar 550 km, dan menjangkau seluruh dunia. Karena satelit Starlink berada di orbit rendah, latensi secara signifikan lebih rendah—sekitar 25 milidetik vs 600+ milidetik.

Dilansir dari Koran Tempo, Starlink juga memiliki keuntungan karena menjadi bagian SpaceX yang rutin meluncurkan satelit. Bukan cuma milik perusahaan tapi juga milik mitra. Penyedia internet lainnya belum tentu mampu menjadwalkan secara rutin karena biaya yang tinggi. 

Perusahaan Starlink yang mulai beroperasi di Indonesia pada Mei 2024 ini sempat menuai pro-kontra. Banyak pihak mengklaim bahwa Starlink akan mengganggu keberadaan layanan satelit Satria-1 (Satelit Indonesia Raya).

Namun Satria-1 beroperasi menggunakan orbit geostasioner yang orbitnya berada di ketinggian 36 ribu kilometer di atas Bumi sejak Juni 2023 lalu. Hal itu jelas berbeda dari Starlink yang mengorbit rendah (low earth orbit). 

Vindry Florentin dan Alif Ilham Fajriadi berkontribusi dalam artikel ini.

Pilihan editor: Dugaan Predatory Pricing dalam Internet Satelit Starlink, Kupas Tuntas Apa Itu Predatory Pricing

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus