Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penyakit LSD (Lumpy Skin Dease) atau di kalangan peternak dikenal dengan penyakit lato-lato semakin menyebar luas. Di Gunungkidul tercatat hanya satu kapanewon dari 18 kapanewon yang belum ditemukan kasus penyakit ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tingginya tingkat penularan penyakit ini tentu mengkhawatirkan bagi banyak pihak. Apalagi perayaan Hari Raya Idul Adha tinggal menghitung hari. Guru Besar Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM) Widya Asmara menyatakan penyakit LSD atau penyakit lato-lato adalah penyakit pada sapi dan kerbau yang disebabkan oleh infeksi virus LSD.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gejala yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat. Menurut dia, gejala umum diawali dengan demam dan kadang diikuti dengan keluarnya ingus maupun leleran dari konjungtiva mata. Sedangkan, gejala yang menciri adalah dengan munculnya nodul-nodul pada kulit.
Nodul atau bintil-bintil ini tampak menonjol dengan diameter 2-5 cm, berbatas jelas, tersebar di daerah leher, punggung, perineum, ekor, tungkai dan organ genital.
“Nodul tersebut kemudian akan nekrosis dan meninggalkan luka yang dalam. Selain gejala pada kulit, biasanya dapat juga diikuti gejala pneumonia dengan lesi di mulut dan saluran pernafasan," ungkap Widya Asmara dilansir dari situs UGM pada Selasa, 23 Mei 2023.
Tanda-tanda lain hewan yang terkena juga menunjukkan kepincangan, kekurusan, dan untuk sapi perah akan terjadi penghentian produksi susu. Pada kasus-kasus yang parah maka akan dapat menimbulkan kematian.
Virus LSD yang termasuk dalam Famili Poxviridae yang dapat menular langsung melalui keropeng kulit, leleran dari hewan sakit. Sedangkan, penularan tidak langsung dapat melalui peralatan yang tercemar virus, pakan dan minuman tercemar, ataupun melalui gigitan vektor (serangga penular).
Dia menambahkan untuk angka kematian sangat bervariasi. Semua sangat tergantung pada kondisi ternak dan ada atau tidaknya serangga penular seperti nyamuk, kutu, dan caplak.
“Pada umumnya morbiditas atau angka kesakitan dapat mencapai 10 persen dan mortalitas atau angka kematian 1 – 3 persen," ungkapnya.
Sayangnya, untuk cara penyembuhan tidak ada obat khusus anti virus LSD ini. Beberapa cara yang bisa dilakukan, menurut Widya, sapi dapat diberi antibiotik untuk mengurangi infeksi sekender dan obat pengurang rasa sakit agar hewan tetap mau makan. Apabila hewan dalam kondisi baik dan tidak parah maka hewan dapat sembuh.
“Tersedia vaksin untuk mencegah, tapi ini untuk sapi yang tidak terinfeksi oleh virus Lumpy Skin Desease," katanya.
Sebagai upaya antisipasi agar tidak semakin menyebar disarankan untuk hewan yang sehat dapat dilakukan vaksinasi. Dapat dilakukan pula upaya-upaya biosekuriti yang baik misalnya dengan meningkatkan kebersihan kandang, memberantas serangga penular seperti nyamuk, kutu, caplak.
Selain itu, dapat pula dilakukan pengawasan lalu-lintas ternak untuk mencegah masuknya hewan sakit. Virus pun dapat dibersihkan dengan beberapa larutan seperti ether (20 persen), kloroform, formalin (1 persen), fenol (2 persen selama 15 menit), natrium hipoklorit (2-3 persen), senyawa yodium (pengenceran 1:33) dan senyawa amonium kuaterner ( 0,5 persen).
Lantas pdapatkah karkas dari hewan terserang LSD dapat untuk dikonsumsi? mengacu panduan FAO, Widya menambahkan karkas dari hewan yang menunjukkan lesi kulit bersifat lokal-ringan dan tidak ada demam, harus dibuang bagian yang terkena karena tidak layak untuk dikonsumsi dan harus dimusnahkan. Sedangkan, bagian yang tidak ada lesi masih diperbolehkan untuk konsumsi setelah dimasak dengan pemanasan yang baik.
“Tentunya karkas yang berasal dari hewan dengan kasus akut atau parah dilarang untuk dikonsumsi," imbuhnya.
Pilihan Editor: 230 Peserta UTBK 2023 di ITB Tidak Hadir pada Gelombang I