SERGEY Slesarenko seperti tak percaya apa yang dilihatnya. Tiba-tiba saja, cahaya merah berkedip-kedip di layar komputer utama di ruang kontrol. Sebagai petugas unit pengendalian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Ignalina, Lithuania, Slesarenko tahu betul arti sinyal itu, temperatur di tungku reaktor melewati bahaya. Salah-salah, PLTN disebelah timur Lithuania ini bisa meledak. Bergegas Slesarenko mengecek lagi ke layar kedua. Ternyata sensor kedua memberi petunjuk lain: kerlip lampu hijau, tungku reaktor baik-baik saja. Beberapa petugas di ruang kontrol PLTN Ignalina juga mengalami hal serupa, sejak Januari silam. Maka, dilakukan pemeriksaan seksama. Kesimpulan yang diambil. Komputer pengendali PLTN berdaya 500 MW itu terserang virus yang tak dikenal. PLTN diwilayah bekas Uni Soviet yang semuanya 14 kompleks, dengan masing-masing memiliki 2-4 reaktor, kini berada pada kondisi yang memprihatinkan. Republik-republik bekas Uni Soviet itu, menurut majalah Business Week edisi 16 Maret lalu, ternyata tak becus mengurus PLTN di bandingkan pendahulunya. "Kondisinya sekarang paling buruk dan paling berbahaya dibandingkan dengan waktu yang sudah-sudah," tulis majalah Amerika itu. Kondisi buruk itu bukannya tak diendus tetangganya. Heinz Peter Butz, juru bicara masyarakat keselamatan Jerman, menyatakan kecemasannya terhadap bahaya PLTN bekas Uni Soviet itu. "Kami sangat yakin, PLTN mereka tidak aman," ujarnya. Bahkan, seorang tokoh Partai Demokrasi Bebas di Jerman, Otto Lambsdorff, secara galak menuduh, "PLTN mereka sewaktu-waktu akan meledak." Otto Lambsdorff punya alasan untuk cemas. Bencana PLTN Chernobyl di Ukraina, 26 April enam tahun lalu, sempat mengguncangkan daratan Eropa. Bencana dahsyat yang menewaskan 30 orang secara langsung dan mencelakai ribuan lainnya itu terjadi karena luapan panas yang tak terkontrol pada salah satu dari empat reaktor yang ada. Rupanya, republik-republik bekas Uni Soviet itu belum bisa belajar dari musibah Chernobyl. PLTN di eks Uni Soviet ini masih tetap - bahkan semakin - menakutkan. Salah satu penyebab kerawanan PLTN-PLTN bekas Uni Soviet yang kini sering disebut CIS itu adalah kelemahan dalam soal pemeriksaan. Tim ahli yang dulu rutin menginspeksi reaktor-reaktor itu kini jarang berkunjung. "Karena tak mempunyai uang. Dalam kondisi yang payah itu, PLTN-PLTN ini masih harus melepaskan satu demi satu tenaga ahlinya. Mereka keluar memilih pekerjaan lain, di dalam atau di luar negeri, yang bisa memberi gaji lebih tinggi. Selain itu, agen rahasia KGB yang dulu nongkrong di PLTN untuk memata-matai para pekerja yang sembrono, apalagi sabotase, kini tak ada lagi. Kelemahan dalam sistem pengoperasian PLTN di republik-republik eks Soviet itu diakui Jurgis Vilemas, direktur lembaga Riset dan Rekayasa Energi Lithuania. "Kami tak mempunyai uang untuk meningkatkan keamanan dan faktor keselamatan reaktor," ujarnya. Ahli-ahli PLTN Eropa menaksir, diperlukan dana US$ 7,5 milyar sekitar Rp 15 trilyun, untuk memperbaiki reaktor-reaktor bekas Uni Soviet itu. Reaktor bekas Uni Soviet itu sendiri secara garis besar terbagi menjadi dua jenis, yang dalam bahasa Rusia disingkat dengan RBMK dan VVER. Kedua tipe ini dibedakan oleh media reaksi nuklirnya. Tipe RBMK menggunakan grafit (C-14) sebagai media, dan air sebagai pendinginnya. Sedangkan VVER memakai air sebagai media reaksi nuklir sekaligus pendingin. Reaktor RBMK itu menyumbang 40% dari seluruh produk listrik tenaga nuklir di eks UNI Soviet. Dari segi disain, RBMK lebih tua, dibangun tahun 1950-an, saat perang dingin sedang merambat ke puncaknya. Segi keselamatan nuklir RBMK itu, menurut ahli nuklir Jerman , Heinz-Peter Butz, sangat tidak memadai. "Tipe RBMK ini jauh lebih berbahaya dari VVER," katanya. Harapa maklum, dibalik rancangan RBMK itu, menurut Butz, Uni Soviet mengaharap munculnya limbah yang berharga, plutonium. Material beradioaktif pekat ini muncul sebagai limbah elemen bakar uranium. Oleh Uni Soviet, plutonium itu dimurnikan dan diolah menjadi hulu ledak bom-bom nuklir. Daya rusak plutonium ini amat luar biasa. PLTN-PLTN tipe RBMK itu kini tersebar di Republik Rusia, Ukraina, Belorusia, dan Lithuania. Kesembronoan desain PLTN RBMK tak cuma sebatas pada reaktornya. Lebih dari itu, RBMK ini juga sembarangan dalam pengolahan limbahnya. Para pencinta lingkungan , yang kini makin menguat di CIS, belakangan menemukan bukti bahwa pencemaran radioaktif PLTN Sosnovy Bor (tipe RBMK), di Republik Rusia, sungguh kelewat batas. Air tanah di sekitar PLTN tercemar strontium-90, 350 kali lebih besar dibandingkan kondisi normal. Pancaran radioaktif total disitu 400 kali lipat dari batas toleransi. Tak mengherankan bila negara-negara Eropa Barat mendesak agar PLTN tipe RBMK eks Uni Soviet itu ditutup semuanya. Tapi republik-republik Rusia, Belorusia, Ukraina, dan Lithuania serentak menolak. "Kami tidak punya pilihan lain," kata Sergei A. Adamchik, ketua Komite Keselamatan Nuklir CIS. Bantuan dari negeri masih jauh dari realisasi. Amerika misalnya, telah 40 kali terlibat dalam pembahasan nuklir bersama CIS. Tapi dana dan bantuan teknologi masih nyangkut di laci kongres. Eropa Barat menyiapkan dana US$ 100 juta (sekitar Rp 200 milyar) untuk melakukan studi tentang dampak PLTN-PLTN di negara persemakmuran itu. Putut Trihusodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini