SAYA banyak mendengar pengalaman kawankawan saya yang memperoleh Lailatul Qadar. Salah satunya adalah kisah yang diceritakan seorang cendekiawan berpendidikan Barat yang kini dengan sangat serius mendalami (dan menganalisa) pengalaman keagamaannya. Waktu itu, ia menunggu saat berbuka puasa. Di luar hujan lebat dan langit putih. "Kemudian terasa oleh saya, meskipun hujan tetap deras, langit menjadi lebih bercahaya dan butir-butir air hujan tampak jelas turunnya satu per satu dalam (atau membawa) cahaya yang terang. Alam menjadi begitu hening. Angin yang tadinya terasa keras bertiup menjadi lenyap. Bahkan daun pun tak bergerak tatkala tertimpa butiran air hujan. Suasananya menyenangkan sekali. Tentu saja rasa lapar pun menjadi tidak terpikir, karena asyik menikmati suasana indah." Ia amat menikmati pengalaman itu. Boleh jadi, ia tidak pernah melupakannya. Ia menduga bahwa itulah "anugerah" Lailatul Qadar yang pernah diberikan kepadanya. Saya iri. Saya tidak pernah mengalami hal serupa. Puluhan Ramadan sudah saya lewati. Rasanya, sekali pun saya belum pernah "ketiban" Lailatul Qadar. Ramadan ini hujan sering turun di kotaku. Butir-butir hujan berjatuhan di atas pagar rumahku yang kusam atau menerobos atap yang bocor. Tampak biasa saja. Tidak indah. Untuk memperoleh Lailatul Qadar, saya berusaha mencari informasi sebanyak mungkin. Informasi, menurut definisi, adalah apa saja yang mengurangi ketidakpastian. Tetapi ketika saya membuka kitab-kitab tafsir dan hadis (juga fiqh), saya malah menambah ketidakpastian. Lailatul Qadar jatuh pada tanggal 17, 19, 21, atau 23, atau hari-hari ganjil pada sepuluh hari terakhir atau pada hari mana saja di bulan Ramadan. Ketika Nabi saw. ditanya tentang Lailatul Qadar, ia tidak menunjuk malam tertentu, tetap ia hampir selalu memulai jawabannya dengan kata uthlubuha atau iltamisuha (carilah, capailah). Kalau begitu, Lailatul Qadar bukan given, tetapi achieved. Tidak diberi, tetapi dicari. Saya tidak akan memperolehnya bila saya tidak mencarinya. Dengan cara apa kita mencarinya? Semua mazhab sepakat, Lailatul Qadar dicari melalui pendekatan kepada Tuhan. Ia bisa berupa ibadat ritual seperti salat dan zikir, atau ibadat sosial seperti menyantuni fakir miskin. Pada prakteknya, kaum muslim lebih banyak memilih yang pertama. Maka, malam-malam Ramadan pun dihidupkan dengan gemuruh tarawih dan doa, yang diperbesar lewat pengeras suara. Bila rumah Anda dekat masjid, Anda sukar memperoleh keheningan atau kedamaian. Seperti Cina yang membakar mercon, kita mendekati Tuhan melalui kebisingan. Walaupun tanpa pengeras suara, para sahabat Nabi pernah berbuat seperti itu. Tengah malam Nabi yang mulia keluar dari biliknya dengan murka. Ia melemparkan butir-butir pasir ke arah mereka: "Rendahkan suara kalian. Kalian tidak menyeru yang bisu dan yang tiada." Saya ingin mencontoh Nabi dan memerintahkan agar suara-suara itu direndahkan. Tetapi itu artinya saya harus mendapatkan Lailatul Qadar tidak dari masjid-masjid, lalu dari mana lagi? Mungkin dari cerita ayahku di kampung. Ibu sakit kronis. Ia lesu, kurus, dan batuk terus-menerus. Pada waktu sahur, tetangganya datang. Ia meminjam beras dan mengatakan sudah tiga sahur keluarganya tidak menanak nasi. Musim panen masih sebulan lagi. Apa yang diributkan sebagai "rawan daya beli" di koran-koran kini terjadi di depan hidung ibuku. Esoknya segera diketahui bahwa jumlah penderita rawan daya beli itu cukup besar. Beras segera dikumpulkan dan dibagi-bagikan. Aneh, ketika yang dibagi menangis, ibuku ceria. Kelesuannya hilang dan batuk pun berhenti. Ia merasakan kebahagiaan, kedamaian, dan kesegaran rohani dan jasmani. Tampaknya, ia menemukan Lailatul Qadar. Tidak dalam butir-butir air hujan, tetapi dalam butir-butir air mata fuqara yang penuh syukur. Jauh di sana di Sidratul Muntaha, pada malam Mi'raj, Tuhan berkata, "Ya Ahmad, kecintaanku kecintaan fuqara. Akrabi fuqara, dekatkan tempat mereka kepadamu, Aku pasti mendekatimu." Ternyata Tuhan tidak mendekat karena panggilan pengeras suara. Ia mendekat karena panggilan kelembutan hati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini