GEMPA dangkal yang mencetuskan tsutlami di pesisir selatan
Kepulauan Nusa Tenggara, masih ada buntutnya . Sabtu sore, 27
Agustus, jarum seismograf di Uppsala, Swedia, mencatat gempa
susulan yang ke-7 setelah gempa 19 Agustus. Kantor berita AFP
tak menyebut kekuatan gempa itu. Namun hari Kamis sebelumnya,
gempa susulan yang ke-6 masih berkekuatan 6,5 pada skala
Richter.
Akhir minggu itu juga, seismograf di Elonolulu, Hawaii, mencatat
gempa berkekuatan 6,4 skala Richter. Diduga bukan gempa susulan
dari Sumba. Sebab tercetus di Laut Banda yang relatif stabil
sejak 1938. Episentrumnya 800 km timur laut Sumba dan 800 km
sebelah utara Darwin. Hampir serentak, getaran kulit bumi juga
menggoncang Pulau Atauro di lepas pantai Dili, Timor Timur.
Menurut Pusat Meteorologi dan Geofisika. gempa berkekuatan 6,7
skala Richter itu berpusat di laut. Kira-kira 45 km di selatan
Timor, dengan kedalaman 33 km. Jadi termasuk gempa dangkal pula.
Suka Melancong
Ular naga, kepala lembu, penyu raksasa atau entah apa yang
berdiam dalam kulit bumi itu, memang lagi senang ajojing. Minggu
sorenya, 28 Agustus, dari pantai timur Sulawesi Tengah juga
dilaporkan gempa. Tak begitu kuat -- 5 skala Richter -- dan
episentrumnya terletak di darat, 50 km selatan Palu. Sebegitu
jauh belum dilaporkan adanya kerusakan van berarti.
Keesokan harinya gempa merambat ke utara. Hari Senin 29 Agustus,
seismograf di Hongkong, Manila dan Matsushiro di utara Tokyo
mencatat gempa berkekuatan 6,3 skala Richter. Menurut UPI, belum
ada kesepakatan antara llongkong, Manila dan Tokyo mana
persisnya pusat gempa itu. Orang Hongkong bilar sumbernya, di
lepas pantai Pilipina. Orang Manila bilang "bukan di sini, tapi
di Laut Tiongkok Selatan 225 km sebelah barat Manila". Sedang
oleh Tokyo sumber gempa ditaksir tetap di lepas pantai Pilipina,
dekat Pulau Luzon.
Timbul pertanyaan awam: mana daerah berikutnya yang bakal
diserang gempa? Irian Jaya, di mana lemper Pasifik saling adu
bahu dengan lempeng Indo-Australia di punggung Pegunungan
Jayawijaya? Atau di sepanjang Bukit Barisan yang sejajar dengan
patahan Semangka? Atau di bagian selatan Pulau Jawa, di mana
getaran bumi sedikit saja akan cukup membuat oleng jutaan bani
Adam yang berjubel di perahu ini?
"Ah, anda fikir gempa ini suka melancong dengan kecepatan jet,"
ukas Prof. Katili, geolog terkemuka yang punya jabatan Dirjen
Pertambangan, sambil tertawa. Dia lebih cenderung berpendapat:
sesudah rentetan gempa ini, keadaan justru akan lebih tenang.
Alasannya: "setelah enerji potensiil dalam lempeng-lempeng
dilepaskan, puncak ketegangan sudah lewat. Puncak ketegangan
itu, menurut para ahli, adalah tahun lalu yang begitu banyak
gempanya. Sebab enerji itu tak mungkin ditimbun terus-menerus,
dan juga dilepaskan sekaligus".
Namun sementara Prof. Katili berusaha menetralisir spekulasi
awam, lain lagi sikap para ahli gunung api. Selama tahun ini,
Seksi Pengawasan Gunungapi Direktorat Geologiyang dikepalai J.
Matahelumual sibuk mengawasi kegiatan gunungapi di Indonesia.
Terutama gunungapi di Jawa Timur.
Gunung Ijen, 5 Juni lalu disurupi gempa kuat hingga jarum
seismograf meloncat ke luar skala. Akibat gempa vulkanis itu,
1,12 juta meter kubikkawah terbenam. Suhu air danau -- yang
merosot 208 senti -- masih tetap panas (42øC). Apungan belerang
(2 x lebih banyak) melepaskan bau gas yang sangat tajam.
Suara Seruling Kapal
Kegiatan Gunung Semeru, sejak 1956 paling top di Indonesia.
Tinggi puncak lava di Kawah Jonggringseloko kini telah melampaui
3700 m di atas muka laut. Berarti melebihi titik tertinggi
Pulau Jawa (lebih kurang 3676 m). Asap kawah tebal, dan kadang
membubung tinggi. Lahar meleleh ke luar pipa kawah, membentuk
kerucut, dan sebagian gugur dari lereng. Hembusan gas
kebiru-biruan sering terlihat dari pos pengawasan disertai suara
seruling kapal terputusputus.
Matahelumual dkk juga asyik mencari kaitan antara aktivitas
gunung api dan gempa tektonis. Tulisan seorang jago dalam bidang
ini, Dr P. Hedervari dari Budapest, Hongaria, belakangan sering
mengisi Berita Direktorat Geologi (Geosurvey Newsletter). Ahli
itu telah menyelidiki ulah 27 vulkan di Indonesia, yang sejak
1913 telah meletus sebanyak 129 kali. Ternyata, dalam waktu 4
bulan sebelum dan sesudah ledakan gunung api, telah terjadi
gempa tektonis dalam radius 700 km. Beberapa contoh yang
menarik:
ù kebangkitan kembali Gunung Merapi setelah gempa dalam (90 km)
yang berkekuatan 8,1 skala Richter, 23 Juli 1943.
* 26 Juni tahun lalu, terjadi gempa dangkal berkekuatan 6,6 skala
Richter di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Hampir 3 bulan
kemudian Gunung Karangetang di Kepulauan Sangihe, tetangga di
selatannya, meletus setelah absen 2,5 tahun.
* Letusan kedua Gunung Agung di Pulau Bali, 16 Mei 1963, segera
diikuti tiga kejutan tektonis "persis di bawah vulkan itu."
Gempa Pelatuk Langsung
Begitu dikemukakan Dr Hedervari dalam lokakarya musibah
gunungapi di Durham, Inggeris, bulan lalu. Khusus tentang
letusan magma dari gunung-gunung api di Jawa Timur, dalam
kesempatan lain ahli vulkan Hongaria itu pernah mengemukakan
bagaimana letusan Gunung-Gunung Slamet, Merapi, Kelud dan Semeru
selalu didahului satu atau lebih gempa pelatuk langsung (direct
triggering shocks) dalam jarak kurang dari 300 km.
Adanya korelasi antara gempa bumi (tektonis) dan kegiatan
vulkanis memang bisa diterangkan dari teori lempeng benua juga.
Seperti pernah dijelaskan Prof. Katili kepada TEMPO, lempeng
yang menghunjam ke bawah lempeng lain sampai kedalaman 300 - 400
km di bawah muka bumi, bisa "menggelitik" magma nun jauh di
bawah sana. Akibatnya magma semakin panas. Karena bera jenisnya
lebih kecil dari kulit bumi yang padat, batubatuan cair dan
pijar itu mendesak ke atas, hingga timbul bisul - yang bernama
gunung itu. Pada saat tekanan sudah cukup besar sang bisul bisa
pecah dan meletuslah itu gunung. Kejadian itu setiap kali bisa
berulang kembali.
Tapi betulkah gejolak gempa di tenggara Indonesia akan
merangsang tingkahgunung api di Jawa? Mudah-mudahan tidak. Namun
ada baiknya juga memahami isyarat dari bawah kulit bumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini