PELAUT dari Biliton kenal betul dengan Bong Mong Heng dan Han
Seng. Keduanya bercokol di Beach Road, Singapura - dan konon
sejak zaman Belanda dulu dihubungi sebagai penadah timah
selundupan dari Bangka. Lebih-lebih sekarang ini: mungkin Beach
Road makin sibuk saja. Sebab, menurut keterangan penjabat di
Riau, "penyelundupan timah meningkat keras." Buktinya: petugas
lebih sering memergoki penyelundupan dibanding tahun lalu.
Volumenya, jumlah timah yang disita, "memang meningkat," kata
Idrus Said SH, Asisten Operasi Kejaksaan Tinggi Riau.
Tahun lalu dan sebelumnya, penyelundupan timah dilakukan secara
tradisionil: sekedar mencari sesuap nasi bagi keluarga pelaut
berperahu layar. Yang diangkut cuma ratusan kilo paling top 2
atau 3 ton. Tapi sekarang ini sudah penyelundupan serius.
Menurut Idrus, yang sudah melaporkan keadaan ini ke Kejaksaan
Agung,"penyelundupan meliputi puluhan ton dan diangkut dengan
perahu motor."
"Saya ingin tahu apa sebenarnya problem pasir tanah Bangka
itu," kata Idrus Said. Penyelundupannya meningkat, barangkali.
karena harga di Singapura menguntungkan bagi kerja yang penuh
risiko. Apalagi timah eks Malaysia, penghasil utama pasaran
Singapura, lagi seret. Tetapi, bisa juga keadaan di langka
sendiri yang jadi penyebab.
Yang diselundupkan ke luar Bangka memang pasir timah dari
pendulangan rakyat. Konon PT Timah, pemegang monopoli tataniaga
timah, kurang berani menawar timah rakyat. Harganya, dibanding
waktu-waktu sebelumnya, sebenarnya sudah dinaikkan oleh PT
Timah. Tapi menurut beberapa penyelundup yang tertangkap, harga
itu belum memadai jika boleh melirik pasaran di Singapura.
Menurut Syamsudin, salah seorang tersangka dari sidang
penyelundupan timan beberapa waktu lalu, ia dapat menjual
timahnya di Beach Road sekitar Rp 2000/kg. Sedang PT Timah hanya
berani cuma Rp 100/kg. Risiko menempuh ombak di Laut Cina
Selatan atau tertangkap polisi? Apa boleh buat. Tapi jika tak
mau menanggung risiko, orang seperti Syamsudin toh dapat saja
menjualnya kepada tengkulak di Bangka sendiri. Harganya masih
jauh lebih baik ketimbang harga sialan dari PT Timah. Harga
tengkulak Bangka ini sekitar Rp 800.
Tapi risiko menuju Singapura pun kini sudah dapat diatasi.
Perahu motor di samping daya angkutnya lebih banyak, juga lebih
aman dibanding perahu layar. Soal "gangguan" petugas anti
penyelundupan juga gampang dibikin beres. Ada beking, kok.
Bukti beking itu cukup jelas. Dalam sebuah persidangan perkara
penyelundupan 10 ton timah, yang tertangkap Maret lalu, oleh
Pengadilan dihadapkan seorang oknum ABRI sebagai saksi. Ia,
Letda AL bernama J, bukan oknum sembarangan. Letda J ini
Komandan Kamla (Keamanan Laut) di salah sebuah pos penjagaan
Riau. Kepada Hakim ia mengaku terus terang: telah membiarkan 18
penyelundup kabur dari sergapan petugas. "Memang saya yang
menyuruh mereka lari," katanya.
Akibat ulah J itu, petugas hanya berhasil membekuk seorang
penyelundup saja yang bernama Ra Onga. Orang ini pun tertangkap
karena memang menyerahkan diri. Dan dalam perkara Ra Onga inilah
J, yang kemudian diurus oleh POM ABRI, membuka kedoknya sebagai
beking penyelundupan timah.
Tahanan Bea Cukai
Dari sejumlah penyelundupan yang dapat dicegah inilah dapat
diketahui angka penyelundupan yang meningkat dibanding
tahun-tahun sebelumnya. "Sebab yang tak tertangkap pasti lebih
banyak," kata orang kejaksaan. Setidaknya dua atau tiga kali
lipat dari yang berhasil lolos.
Pengawasan rute penyelundupan -di samping karena ulah pengawal
laut sendiri yang brengsek -- memang sulit dilaksanakan di
beberapa daerah. Misalnya, rute Bangka - Pekajang - Tambelan
langsung Singapura. Padahal ini justru rute perahu motor yang
berdaya angkut besar. Anehnya petugas hanya sering menyergap
penyelundupan antara Kelong, Bintan Timur, dan daerah Mapur
sebelum masuk Bandar Singapura. Rute ini paling-paling dilayari
perahu layar yanhanya membawa 2 atau 3 ton pasir timah saja.
Ada yang agak unik: para penyelundup, yang mencium tanda-tanda
bakal kepergok petugas, biasa menceburkan selundupan ke laut.
Beberapa hari kemudian, setelah merasa lepas dari mata petugas,
timah itu kembali diangkat.
Tindakan terhadap para penyelundup, sehubungan dengan kenaikan
kerja mereka, jugaditingkatkan. Jaksa tak lagi menuntut hukuman
3 atau 6 bulan penjara. Tapi sudah di atas setahun penjara,
rata-rata. Adapun bagi Ra Onga, rupanya Kqaksaan belum pasti
hendak menuntut hukuman berapa tahun. "Kami sedang minta
petunjuk Jaksa Agung," kata Idrus Said. Tak tahulah, penting
juga rupanya Ra Onga ini. Tapi untunglah kabarnya ada sebab
lain. Ra Onga, seperti diakuinya sendiri, ternyata hanya orang
upahan. Siapa biang keroknya? Mungkin seseorang yang bernama
Ruslan. Tapi tersangka ini, sayangnya, sudah keburu kabur dari .
. ., tahanan Bea Cukai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini