PENDEK kata, jika anda punya anak, kalau masih ada kerja lain
yang lebih ringan, jangan biarkan jadi tukang gergaji. Hanya
berujung masa tua." Ini kata Ahim kepada Rahmat Marlim di hutan
Kalimantan. Mengapa? "Ya!" Jawab Ahim. "Sulit sekarang. Tukang
gergaji cuma bermodal tenaga. Sewaktu-waktu ia bisa
diberhentikan. Hidupnya tergantung dari belas kasihan sep,
karena yang cari kerja lebih banyak dari yang dikerjakan."
Ini boleh dianggap keluhan umum dari rimba Kalimantan - di mana
tenaga manusia yang berlebih tidak dilindungi undang-undang
perburuhan. Jangankan jaminan sakit atau jaminan masa tua.
Penghasilan harian pun hanya bertopang pada angka-angka yang
begitu tipisnya. Dengan badan basah peluh, seorang seperti Ahim
hanya mampu mengumpulkan Rp 600 untuk tenaganya satu hari.
Apalagi di bulan puasa, ya kan? Sementara orang yang disebut
'sep' menikmati keadaan yang jauh lebih basah.
Kalimantan yang kaya itu penuh dengan jenis kayu. Seperti
meranti, keruing, lanan dan sebagainya. Salah satu di antaranya
disebut kayu ulin alias kayu besi. Nama ini munghn diberikan
karena kayu ini memang ampuh, awet, bisa dipakai sampai seratus
tahun. Tak menyerah pada air hujan, tak lekang dihajar matahari.
Untuk keperluan jembatan, gedung, pendeknya bangunan yang
tangguh, memang sangat cocok. Di zaman pembangunan seperti
sekarang ini hutan Kalimantan ramai digerayang penggergajian
ulim Wanhlan penggergajian ulin terutama tampak di
pinggir-pinggir sungai dan tepi jalan raya.
Sifat keras ulin memang amat menguntungkan dari segi pakai -
tetapi sebaliknya amat merugikan bagi para penggarap di wantilan
itu. Karena kerasnya teras, sering kayu ini tidak bisa menjadi
santapan enak buat saw mill alias kilang kayu mekanis. Keuletan
yang dilawan dengan hentakan-hentakan mekanis itu malahan bisa
membelotkan mata gergaji. "Sering juga sifat kerasnya membuat ia
jadi tidak ekonomis, sebab banyak bagian kayu yang termakan oleh
mata gergaji," ujar seorang pengusaha wantilan di Martapura.
Akibatnya, banyak usaha penggergajian masih mencoba menyerahkan
pekerjaan pada para penggergaji tradisionil. Otot manusia
kembali diundang di samping menggebu-gebunya mesin-mesin
memasuki rimba. Ribuan tenaga memperoleh kembali kesempatan
karena keadaan ini. Bagai semut-semut yang lepas, mereka membaui
nasi lalu menggerayangi tempat-tempat penggergajian sebagai
buruh harian. Upah yang mereka terima didasarkan pada satuan
meter untuk panjang dan Cm untuk lebar kayu. Makin lebar kayu,
makin gemuk angka mereka peroleh.
Untuk sebuah papan ulin yang lebarnya 20 Cm dan panjang 4 meter,
mereka dapat menerima Rp 200. Sedang untuk papan lantai yang
lebarnya 10 Cm serta panjang 4 meter, mereka bukannya menerima
separuh dari upah yang disebut terdahulu -- tapi hanya Rp 90.
Bayangkan betapa murahnya tenaga. Apalagi mash dikenakan
persyaratan lain. Misalnya: kekuatan, iklim, ketrampilan,
semangat kerja, keras-renyahnya ulin (berbuku-buku atau tidak).
Hingga upah buat masing-masing tenaga berbeda-beda.
Naik Dok
Ahim dan ribuan tenaga kasar yang lain, setiap hari berdiri di
atas balok di bawah keteduhan pondok beratap rumbia - tanpa
dinding - yang disebut wantilan itu. Sebuah gergaji panjang
berlengan dua, digerakkan naik-turun menurut alur gergajian.
Tampaknya indah memang, tapi ini bukan hiburan samasekali. Ahim
dan kawan-kawan biasanya memakai celana kerja berlumur getah
ulin berwarna coklat. Dadanya telanjang berkilat. Karena kerja
mati-matian, mereka terkenal sebagai makhluk-makhluk yang kuat
makan dan kuat minum.
Nyaris sepertiga dari perolehan ludas di lepau kopi. Apalagi di
samping mengisi perut untuk kalori mereka juga menuang jamu-jamu
tradisionil - seperti pati temu lawak, penawar sampai dan telur
ayam. Dengan perjuangan yang benarbenar primitif itu banyak di
antara kaum penggergaji berkubang uzur pada masa tua. "Naik
dok," menurut istilah setempat. Uzur, tanpa pensiun, tanpa
tabungan, tentu saja bukan hal yang indah. Tetapi sampai
sekarang masih ada saja yang suka menjadi tukang gergaji.
Mengapa, sudah tentu tak perlu dijawab.
Para penggergaji bertambah rawan lagi di bulan-bulan puasa
seperti sudah disebut. "Puasa wajib, mencari nafkah juga wajib,"
ucap seorang teman Ahim. Mereka ini tak tahu bahwa untuk para
pekerja berat puasa toh boleh ditinggalkan. Atau kalaupun tahu
mereka tak yakin. Idealnya memang, mereka menabung pada
bulan-bulan sebelumnya sehingga di bulan puasa dapat menunaikan
ibadah lebih khusus. "Tapi bagaimana ya? lDicari sehari, habis
sehari," jawab salah seorang di Martapura. "Kalau guru, bulan
puasa memang libur, gaji dibayar penuh. Tapi kami? Masih syukur
dapat kerja. Kalau tidak?"
Kalau tidak, mereka tentunya benarbenar puasa abadi. Jadi
meskipun hanya tahan kerja sampai tengah hari, puasa yang
sebulan itu mereka genjot juga. Alangkah hebatnya makhlukmakhluk
yang seperti ini, ya Tuhan. Antara jam 7 sampai pukul 12 mereka
mulai membebat perut dengan kain. Ini penting sekali: untuk
mengurangi goncangan. Makin tinggi hari, makin jelas: betapapun
inginnya mereka dapat duit yang layak, tenaga yang diberikan
Tuhan sudah pas. Siang hari, Ahim dan kawan-kawan sudah
kelihatan loyo, seperti mobil kurang bensin. "Di hari puasa
begini, saya dapatnya paling banyak Rp500," kata Anwar, 40
tahun. Ia bekerja di wantilan perorangan dari seseorang yang
sedang membangun rumah.
Upah di wantilan privat semacam itu memang lebih mahal tinimbang
wantilan para pengusaha. Di wantilan perorangan --dari majikan
kampung - bisa didapat Rp 22.S00 per meter kubik. Untuk wantilan
milik pengusaha yang keren hanya sampai Rp 17.500. Meskipun
untuk jadi penggergaji di tempat privat harus menyediakan
sendiri gergaji, kikir serta peralatan lainnya. Artinya harus
pakai modal juga. Dan, inilah celakanya, Ahim tidak punya.
Pada hari-hari biasa Anwar bisa mencapai Rp 1000 sehari. Kalau
ulin renyah dan gergaji tidak ngadat ia bahkan sampai
mengumpulkan Rp 1.250. Tapi ingat, ini hasil kotor.
Warung-warung yang dengan cerdiknya mangkal di sekitar wantilan,
setiap saat bisa merubah angka itu jadi sedemikian gepengnya.
Untuk mengatasi ini Anwar terpaksa membawa sekeranjang nasi dari
rumah, berikut botol teh manis. Baik, ini. Sehingga banyak juga
penggergaji yang mengikuti jejak Anwar -- di samping banyak pula
yang tergoda, keok dimakan warung. Karena tukang warung cukup
pintar: mereka memberi kesempatan ngebon - cara paling baik
untuk memaksa orang berbelanja dengan royal.
Tewas
Karena ini rubrik suka-duka, kalau Ahim ditanya, ia akan bilang
bahwa kerja begituan tak ada sukanya. Paling, untuk menawarkan
segala kekurangan pendapatan, ia membiasakan diri bergurau. Itu
sukanya. Tapi guraupun tak akan cukup daya manakala ia
berhadapan dengan hari-hari sial: entah gergaji orang itu harus
dibetulkan giginya atau ulin terlalu kenyal. Sementara panas
membakar pada musim kemarau dan hujan menggigilkan bila saatnya
tiba untuk menghantam. Ingatlah, Ahim ini sudah berusia 52
tahun.
Tapi rupanya itu masih tertanggungkan kalau kesehatan
terpelihara. Kalau dapat sakit, nah, muncul soal besar. Mereka
yang panjang akal memang selalu berusaha menyisihkan upah untuk
cobaan yang tak terduga itu. "Namun itu hanya satu dari 10
orang," kata Ahim.
Apalagi sakit seorang penggergaji bukan sakit tuan-tuan besar
--bukan sekedar masuk angin seorang pegawai negeri -- kalau
sakit itu berarti rambut bisa rontok, seluruh sendi tubuh lumat
akibat kerasnya memeras otot.
Ahim tidak menyembunyinya bahwa ada sep yang mengeluarkan zakat,
setahun sekali. Adapun tunjangan lebaran jumlahnya tak seberapa.
Apalagi ada kemungkinan terlewati -- misalnya kalau hari
berhenti dari pekerjaan sehari sebelum pembagian. Sialan bukan.
Jadi sudahkah terbayangkan, bagi anda yang tidak terpaksa hidup
sebagai penggergaji, pekerjaan di tepi hutan ini salah satu
pekerjaan yang setengah modar? Risiko besar, tubuh ringsek pada
masa tua, apa lagi sering dikabarkan seorang penggergaji
terjatuh dari wantilan karena lepas pijakan.
Belum lagi kemungkinan longsor. Sering terjadi juga, ulin yang
digergaji pagat runtin. Artinya retak di dalam, samar sekali.
Baru waktu digenjot - blang -- patah. Masih untung kalau mata
gergaji tidak ikut menimpa, mengganyang muka atau bagian lain.
Sedang soal terjepit jari ketika ramai-ramai menaikkan balok ke
wantilan, sudah merupakan kembang rutin. Di Kampung Pasayangan,
belum lama dikabarkan, sebuah balok ulin menyeruduk seorang
penggergaji yang berusaha menurunkannya dari truk. Tewas,
selesai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini