Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Jangan jadi tukang gergaji

Hidup tukang gergaji tergantung sep. hanya bermodal tenaga. penghasilan sangat rendah, resiko besar, tubuh ringsek pada masa tua. suka duka tukang gergaji di hutan kalimantan.

17 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDEK kata, jika anda punya anak, kalau masih ada kerja lain yang lebih ringan, jangan biarkan jadi tukang gergaji. Hanya berujung masa tua." Ini kata Ahim kepada Rahmat Marlim di hutan Kalimantan. Mengapa? "Ya!" Jawab Ahim. "Sulit sekarang. Tukang gergaji cuma bermodal tenaga. Sewaktu-waktu ia bisa diberhentikan. Hidupnya tergantung dari belas kasihan sep, karena yang cari kerja lebih banyak dari yang dikerjakan." Ini boleh dianggap keluhan umum dari rimba Kalimantan - di mana tenaga manusia yang berlebih tidak dilindungi undang-undang perburuhan. Jangankan jaminan sakit atau jaminan masa tua. Penghasilan harian pun hanya bertopang pada angka-angka yang begitu tipisnya. Dengan badan basah peluh, seorang seperti Ahim hanya mampu mengumpulkan Rp 600 untuk tenaganya satu hari. Apalagi di bulan puasa, ya kan? Sementara orang yang disebut 'sep' menikmati keadaan yang jauh lebih basah. Kalimantan yang kaya itu penuh dengan jenis kayu. Seperti meranti, keruing, lanan dan sebagainya. Salah satu di antaranya disebut kayu ulin alias kayu besi. Nama ini munghn diberikan karena kayu ini memang ampuh, awet, bisa dipakai sampai seratus tahun. Tak menyerah pada air hujan, tak lekang dihajar matahari. Untuk keperluan jembatan, gedung, pendeknya bangunan yang tangguh, memang sangat cocok. Di zaman pembangunan seperti sekarang ini hutan Kalimantan ramai digerayang penggergajian ulim Wanhlan penggergajian ulin terutama tampak di pinggir-pinggir sungai dan tepi jalan raya. Sifat keras ulin memang amat menguntungkan dari segi pakai - tetapi sebaliknya amat merugikan bagi para penggarap di wantilan itu. Karena kerasnya teras, sering kayu ini tidak bisa menjadi santapan enak buat saw mill alias kilang kayu mekanis. Keuletan yang dilawan dengan hentakan-hentakan mekanis itu malahan bisa membelotkan mata gergaji. "Sering juga sifat kerasnya membuat ia jadi tidak ekonomis, sebab banyak bagian kayu yang termakan oleh mata gergaji," ujar seorang pengusaha wantilan di Martapura. Akibatnya, banyak usaha penggergajian masih mencoba menyerahkan pekerjaan pada para penggergaji tradisionil. Otot manusia kembali diundang di samping menggebu-gebunya mesin-mesin memasuki rimba. Ribuan tenaga memperoleh kembali kesempatan karena keadaan ini. Bagai semut-semut yang lepas, mereka membaui nasi lalu menggerayangi tempat-tempat penggergajian sebagai buruh harian. Upah yang mereka terima didasarkan pada satuan meter untuk panjang dan Cm untuk lebar kayu. Makin lebar kayu, makin gemuk angka mereka peroleh. Untuk sebuah papan ulin yang lebarnya 20 Cm dan panjang 4 meter, mereka dapat menerima Rp 200. Sedang untuk papan lantai yang lebarnya 10 Cm serta panjang 4 meter, mereka bukannya menerima separuh dari upah yang disebut terdahulu -- tapi hanya Rp 90. Bayangkan betapa murahnya tenaga. Apalagi mash dikenakan persyaratan lain. Misalnya: kekuatan, iklim, ketrampilan, semangat kerja, keras-renyahnya ulin (berbuku-buku atau tidak). Hingga upah buat masing-masing tenaga berbeda-beda. Naik Dok Ahim dan ribuan tenaga kasar yang lain, setiap hari berdiri di atas balok di bawah keteduhan pondok beratap rumbia - tanpa dinding - yang disebut wantilan itu. Sebuah gergaji panjang berlengan dua, digerakkan naik-turun menurut alur gergajian. Tampaknya indah memang, tapi ini bukan hiburan samasekali. Ahim dan kawan-kawan biasanya memakai celana kerja berlumur getah ulin berwarna coklat. Dadanya telanjang berkilat. Karena kerja mati-matian, mereka terkenal sebagai makhluk-makhluk yang kuat makan dan kuat minum. Nyaris sepertiga dari perolehan ludas di lepau kopi. Apalagi di samping mengisi perut untuk kalori mereka juga menuang jamu-jamu tradisionil - seperti pati temu lawak, penawar sampai dan telur ayam. Dengan perjuangan yang benarbenar primitif itu banyak di antara kaum penggergaji berkubang uzur pada masa tua. "Naik dok," menurut istilah setempat. Uzur, tanpa pensiun, tanpa tabungan, tentu saja bukan hal yang indah. Tetapi sampai sekarang masih ada saja yang suka menjadi tukang gergaji. Mengapa, sudah tentu tak perlu dijawab. Para penggergaji bertambah rawan lagi di bulan-bulan puasa seperti sudah disebut. "Puasa wajib, mencari nafkah juga wajib," ucap seorang teman Ahim. Mereka ini tak tahu bahwa untuk para pekerja berat puasa toh boleh ditinggalkan. Atau kalaupun tahu mereka tak yakin. Idealnya memang, mereka menabung pada bulan-bulan sebelumnya sehingga di bulan puasa dapat menunaikan ibadah lebih khusus. "Tapi bagaimana ya? lDicari sehari, habis sehari," jawab salah seorang di Martapura. "Kalau guru, bulan puasa memang libur, gaji dibayar penuh. Tapi kami? Masih syukur dapat kerja. Kalau tidak?" Kalau tidak, mereka tentunya benarbenar puasa abadi. Jadi meskipun hanya tahan kerja sampai tengah hari, puasa yang sebulan itu mereka genjot juga. Alangkah hebatnya makhlukmakhluk yang seperti ini, ya Tuhan. Antara jam 7 sampai pukul 12 mereka mulai membebat perut dengan kain. Ini penting sekali: untuk mengurangi goncangan. Makin tinggi hari, makin jelas: betapapun inginnya mereka dapat duit yang layak, tenaga yang diberikan Tuhan sudah pas. Siang hari, Ahim dan kawan-kawan sudah kelihatan loyo, seperti mobil kurang bensin. "Di hari puasa begini, saya dapatnya paling banyak Rp500," kata Anwar, 40 tahun. Ia bekerja di wantilan perorangan dari seseorang yang sedang membangun rumah. Upah di wantilan privat semacam itu memang lebih mahal tinimbang wantilan para pengusaha. Di wantilan perorangan --dari majikan kampung - bisa didapat Rp 22.S00 per meter kubik. Untuk wantilan milik pengusaha yang keren hanya sampai Rp 17.500. Meskipun untuk jadi penggergaji di tempat privat harus menyediakan sendiri gergaji, kikir serta peralatan lainnya. Artinya harus pakai modal juga. Dan, inilah celakanya, Ahim tidak punya. Pada hari-hari biasa Anwar bisa mencapai Rp 1000 sehari. Kalau ulin renyah dan gergaji tidak ngadat ia bahkan sampai mengumpulkan Rp 1.250. Tapi ingat, ini hasil kotor. Warung-warung yang dengan cerdiknya mangkal di sekitar wantilan, setiap saat bisa merubah angka itu jadi sedemikian gepengnya. Untuk mengatasi ini Anwar terpaksa membawa sekeranjang nasi dari rumah, berikut botol teh manis. Baik, ini. Sehingga banyak juga penggergaji yang mengikuti jejak Anwar -- di samping banyak pula yang tergoda, keok dimakan warung. Karena tukang warung cukup pintar: mereka memberi kesempatan ngebon - cara paling baik untuk memaksa orang berbelanja dengan royal. Tewas Karena ini rubrik suka-duka, kalau Ahim ditanya, ia akan bilang bahwa kerja begituan tak ada sukanya. Paling, untuk menawarkan segala kekurangan pendapatan, ia membiasakan diri bergurau. Itu sukanya. Tapi guraupun tak akan cukup daya manakala ia berhadapan dengan hari-hari sial: entah gergaji orang itu harus dibetulkan giginya atau ulin terlalu kenyal. Sementara panas membakar pada musim kemarau dan hujan menggigilkan bila saatnya tiba untuk menghantam. Ingatlah, Ahim ini sudah berusia 52 tahun. Tapi rupanya itu masih tertanggungkan kalau kesehatan terpelihara. Kalau dapat sakit, nah, muncul soal besar. Mereka yang panjang akal memang selalu berusaha menyisihkan upah untuk cobaan yang tak terduga itu. "Namun itu hanya satu dari 10 orang," kata Ahim. Apalagi sakit seorang penggergaji bukan sakit tuan-tuan besar --bukan sekedar masuk angin seorang pegawai negeri -- kalau sakit itu berarti rambut bisa rontok, seluruh sendi tubuh lumat akibat kerasnya memeras otot. Ahim tidak menyembunyinya bahwa ada sep yang mengeluarkan zakat, setahun sekali. Adapun tunjangan lebaran jumlahnya tak seberapa. Apalagi ada kemungkinan terlewati -- misalnya kalau hari berhenti dari pekerjaan sehari sebelum pembagian. Sialan bukan. Jadi sudahkah terbayangkan, bagi anda yang tidak terpaksa hidup sebagai penggergaji, pekerjaan di tepi hutan ini salah satu pekerjaan yang setengah modar? Risiko besar, tubuh ringsek pada masa tua, apa lagi sering dikabarkan seorang penggergaji terjatuh dari wantilan karena lepas pijakan. Belum lagi kemungkinan longsor. Sering terjadi juga, ulin yang digergaji pagat runtin. Artinya retak di dalam, samar sekali. Baru waktu digenjot - blang -- patah. Masih untung kalau mata gergaji tidak ikut menimpa, mengganyang muka atau bagian lain. Sedang soal terjepit jari ketika ramai-ramai menaikkan balok ke wantilan, sudah merupakan kembang rutin. Di Kampung Pasayangan, belum lama dikabarkan, sebuah balok ulin menyeruduk seorang penggergaji yang berusaha menurunkannya dari truk. Tewas, selesai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus