CUKUP banyak keluhan sekitar kerja hakim dalam memutus perkara
perdata. Lambat, kata orang, dan biaya jadi mahal. Belum lagi
kerepotan menghadapi pemberitaan akibat sidang peradilan yang
terbuka untuk umum. Untuk mengatasi soal ini, habis lebaran akan
diresmikan apa yang disebut: Badan Arbitrasi Nasional (BANI).
Badan ini, yang diketuai oleh Prof. Soebekti SH (bekas Ketua
Mahkamah Agung Rl), akan mewasiti segala persoalan yang
menyangkut perjanjian sampai persengketaan perdata jika diminta
oleh fihak yang memerlukan.
Persengketaan yang umumnya berkisar soal pelaksanaan atau
penafsiran suatu perjanjian, biasanya selalu minta keadilan ke
pengadilan. Ini rmakan waktu lama: dari mulai peradilan tingkat
pertama, banding sampai kasasi. Dari tingkat ke tingkat
peradilan harus dilalui dengan makan hati. Tak jarang keluhan
terdengar: sebuah perkara baru akan memperoleh keputusan yang
pasti setelah fihak yang berperkara menunggu kampai 5 -10 tahun.
Lepas dari soal percaya atau tidak kepada hakim yang menangani
perkara, sebuah keputusan pun - yang sudah memperoleh kekuatan
hukum yang Lasti - tak begitu mudah dilaksanakan. Pihak yang
kalah, jika mau, masih dapat menghambat eksekusi melalui upaya
hukum yang ada. Penangguhan eksekusi, yang hanya untuk lebih
memperlambat proses penyelesaian, kadang-kadang masih dapat
diterima oleh hakim.
"Karena dirasakan kebutuhan memperoleh keputusan yang oepat dan
tepat, seperti prinsip pengusaha time is money, BANI
dilahirkan." Begitu keteranan JR Abubakar SH, anggota tetap
BANI, mewakili Soebekti yang sedang berada di luar negeri.
Gagasan begitu sudah muncul sejak 1975. Kebetulan KADIN (Kamar
Dagang Indonesia), yang memprakarsai pendirian badan perwasitan
ini kemudian, juga memerlukan badan semacam itu untuk mengurus
persengketaan perdata di antara para anggotanya.
Disegani
Syarat menjadi wasit berat. Pertama ia harus seorang tokoh,
terkenal, dan cukup umur untuk disegani keputusannya. "Juga
harus mempunyai keahlian, jujur, nama baik dan integritas yang
tinggi untuk tidak berfinak kepada salah satu pihak yang
bersengketa," kata Abubakar Tidak mudah, memang, tapi pengur.ls
pusat sudah terbentuk, terdiri dari para pendiri: Ketua dan
Wakilnya Soebekti (64 tahun) dan Harjono Tjitrosubono SH (52).
Para anggota tetap: JR Abubakar SH (45), Prof. Dr. Priyatna
Abdulrasyib (49) dan Dr. Djunaidi Hadisumarto (45). Anggota tak
tetap juga sudah ditunjuk: Prof. R. Sardjono SH (bekas Wakil
Ketua Mahkamah Agung), HM Abduranman SH, M. Djuana Kusumahardja
SH (bekas Direktur BI), Mr. A. Karim (bekas Dirut BNI '46) dan
Prof. ir. R. Rooseno. Tidak cukup dengan tokoh-tokoh kawakan
tersebut di atas, BANI masin akan dilengkapi enaga ahli yang
akan ditentukan kemudian.
Badan perwasitan ini, yang pendiriam1ya direstui oleh Presiden
Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman dan tak lupa Ketua
Bappenas, bertugas menyelesaikan suatu persengketaan jika
diminta oleh pihak bersengketa-yang sedang berlangsung (sistim
akta kompromi) tapi lebih enak, jika badan ini pagi-pagi sudah
ditunjuk menjadi wasit -- sebelum ada sengketa -- ketika
perjanjian dibikin.
BANI, menurut Abubakar, menjanjikan: akan menyelesaikan
persengketaan paling lama dalam waktu 6 bulan. Bagaimana jika
ada fihak yang tak mematuhi putusan wasit' alias arbiter? Tak
seharusnya atia yang begitu. Jika pada permulaan sudah
mempercayakan perselisihan kepada badan arbitrasi, tentu harus
merasa terikat kepada putusannya. "Yang beritikad baik tentu
akan sukarela melaksanakan keputusan BANI", kata Abubakar Dan
bagi yang beritikad buruk, katakanlah tak mempercayai integritas
BANI, pada akhirnya akan berhadapan dengan pengadilan. BANI,
atau fihak yang merasa perlu, dapat minta keputusan eksekusi
dari pengadilan.
3 x 24 Jam
Permintaan ketetapan atau keputusan eksekusi dari hakim
diharapkan akan lebih cepat turunnya daripada berperkara perdata
biasa. Menurut Abubakar, hakim di Belanda atau di negara ASEAN
sana, akan mnetapkan eksekusi tak lebih dari 3 x 24 jam.
Proses perkara lewat peradilan perwasitan, memang, masih dapat
dihambat sedikit oleh fihak yang tak puas atau dikalahkan dalam
persengketaan. Menurut Haji Martono Mardjono SH, arbiter dari
Multi Jasa - suatu 'usaha' perwasitan di luar BANI -- fihak yang
tak puas masih dapat minta keadilan ke Mahkamah Agung. "Jadi
bagaimanapun sistim arbitrasi masih lebih cepat dan efisien 100
- 200% daripada diajukan ke pengadilan," kata Hartono.
Multi Jasa di bawah pimpinan Haji Hartono (anggota DPRD DKI)
lahir 2 tahun lalu. Ini mungkin satu-satunya 'usaha' yang
menawarkan jasa perwasitan sebelum BANI yang bakal lahir itu.
"Sebelumnya memang sudah ada perselisihan yang diam-diam
diselesaikan lewat arbiter - pengacara siapa saja yang bersedia
dan dipercayai menjadi wasit ," kata Hartono. Itu, menurut
istilah Abubakar, "arbiter yang bebas dan tidak terkoordinir."
Lalu apa hubungannya antara arbitrasenya Hartono dengan BANI?
Memang belum jelas. Yang terang, seperti menurut Abubakar
kantor arbitrasi seperti milik Hartono di Flat Megaria, Jakarta,
"boleh saja berjalan terus seperti biasa. BANI sendiri -- yang
sekarang belum berkantor "masih berfikir untuk menggarap
perkara-perkara lingkup nasional.
Dan telah dianjurkan oleh Presiden, agar lembaga ini bekerja
sama dengan BKPM (Badan Koordinasi Penananan Modal). Supaya
bentuk perjanjian dengan fihak asing tidak merugikan Indonesia.
"Dalam perjanjian joint fenture seperti selama ini. Fihak
kita sering dikibuli," kata Abubahar. Agaknya, lembaga arbitrasi
ini melengkapi kelembagaan hukum -- selangkah demi selangkah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini