JURAGAN sapi Gunawan bingung melihat sapi-sapi perahnya tak kunjung berahi dan tak suka kawin tanpa penyebab pasti. Mereka dingin saja kendati diumbar berdua-duaan dengan pejantan yang kekar. Alhasil, para betina bongsor eks Selandia Baru itu tak banyak bisa menghasilkan susu. "Saya rugi besar," kata Gunawan, pemilik usaha sapi perah di Kaliwaron, Surabaya, itu. Situasi genting itu sempat berlangsung setahun. Untung, Gunawan buru-buru bertandang ke drh. Laba Mahaputra, seorang dosen Fakultas Kedokteran Hewan di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang sedang bereksperimen dengan sapi-sapi mandul. Lantas, tutur Gunawan, mereka dipasangi "spiral" yang telah diolesi obat suntik KB. "Dalam tempo sebulan, mereka bunting," ujar Gunawan bersemangat. Eksperimen itu tak cuma membawa bisnis Gunawan kembali berbinar. Sabtu dua pekan lalu, wajah Laba, 37 tahun, pun tersenyum cerah. Dia dinyatakan lulus sebagai doktor di Unair, berkat penelitian tentang sapi-sapi betina itu, dengan predikat sangat memuaskan. Laba adalah doktor Unair pertama dari ilmu kedokteran hewan. Disertasi Laba menyoroti kemandulan sapi dari berbagai aspek, terutama dari segi hormonal. Misalnya, kondisi hormonal menjelang mereka mengalami masa berahi -- yang berlanjut dengan dilepaskannya sel telur dari indung telur (ovulasi). Ini penting untuk pelaksanaan kawin suntik. "Pemeriksaan secara klinis saja terkadang tidak cukup," kata Laba. Menurut Laba, secara teoretis, sapi yang enggan berahi alias anoestrus itu, antara lain, muncul gara-gara kondisi hormonal yang kurang beres hingga penanganannya pun dengan cara rekayasa hormonal. Untuk itu Laba mencobakan lima cara pada 50 ekor sapi penderita anoestrus yang dibagi dalam lima kelompok terdiri dari 10 orang. Pada kelompok pertama, sebuah spons berbentuk silinder -- berdiameter 3 cm dan panjang 6 cm -- dimasukkan ke dalam vagina mereka. Spons itu ditetesi dengan larutan penisilin sebanyak 300.000 iu (international unit). Kelompok kedua juga dipasangi spons silinder, yang ukurannya sama dengan kelompok pertama. Tapi selain ditetesi dengan pinisilin 30.0.000 iu, spons pada kelompok dua itu diberi pula dengan hormon medroxy progresteron acetate (MPA). Latas kelompok ketiga dipasangi spiral dari silikon-karet bergaris tengah 2,5 cm yang mengandung 1,55 gram progresteron, yang bisa dikeluarkan secara perlahan. Alat ketiga itu disebut dengan progresteron releasing intravaginal device (PRID). Perlakuan pada kelompok keempat mirip dengan kelompok ketiga (PRID), hanya saja sapi-sapi itu memperoleh tambahan suntikan LH (luteinizing hormon ) 25 mg, setelah batang spiral PRID dicopot. Baik spons maupun PRID dipasang dalam vagina selama 10 hari. Sebagai pembanding, Laba pun menempuh metode konvensional pada 10 ekor sapi di kelompok kelima, yaitu dengan penyuntikan obat penyubur berupa GnRH (gonadotropin releasing hormon). Usai membuat lima perlakuan itu, Laba pun melanjutkan dengan perlakuan kawin suntik (inseminasi) terhadap ke-50 ekor sapi itu. Pengobatan paling mujarab ternyata diberikan lewat cara kombinasi PRID dan penyuntikan LH. Dari 10 ekor yang dicobakan, sembilan di antaranya sukses dirangsang untuk berovulasi alias berahi. Dari jumlah itu, enam ekor dari mereka bunting. Keberuntungan semacam ini yang dinikmati sapi-sapi perah Gunawan. Keberhasilan teknik PRID-suntikan LH tadi lebih baik dibanding dengan cara konvensional (penyuntikan) GnRH -- yang memberi ovulasi pada 8 ekor (80%) sapi, tapi hanya menghasilkan 3 ekor (30%) kebuntingan. Sementara itu, cara PRID (tanpa LH) dan spons ber-MPA menghadiahkan tujuh kasus ovulasi (70%), tapi kebuntingan yang muncul masing-masing hanya 4 ekor (40%) dan 3 ekor (30%). Dari angka-angka itu, Laba menyimpulkan bahwa baik progresteron maupun MPA (keduanya sering dipakai sebagai obat suntik antihamil pada manusia) justru bisa menimbulkan respons kesuburan pada sapi -- sehingga mereka mengalami berahi lalu berovulasi. Keadaan ini bisa terjadi pada tubuh sapi betina itu karena kehadiran MPA dan progresteron, "Bisa mengertak dan menekan pengeluaran hormon gonadotropin," tutur Laba. Surutnya gonadotropin itu digantikan oleh naiknya kadar progresteron dan MPA dalam darah. Ketika spons dan spiral itu ditarik mendadak, pada hari ke-10, kandungan kedua hormon itu anjlok, dan keadaan semacam itu akan merangsang munculnya hormon estrogen, yang kemudian berlanjut dengan terjadinya ovulasi. Penambahan suntikan hormon LH, seperti dilakukan Laba terhadap kelompok ke-4, akan memberikan jaminan yang lebih besar terhadap kelangsungan ovulasi yang mulus sehingga kemungkinan kebuntingannya pun semakin terbuka lebar. Di sisi lain, cara konvensional -- dengan suntikan GnRH pun bisa membuat rangsangan munculnya estrogen yang kemudian berlanjut dengan keberahian. Namun, penyuntikan progresteron pada ibu-ibu peserta KB berjangka waktu tiga bulan berakibat yang sebaliknya. Lewat injeksi itu, progresteron akan dilepas sedikit demi sedikit, menggeser gonadotropin. Tapi kehadirannya tak menimbulkan "kejutan" sehingga estrogen tak pernah muncul. Eloknya, teknik pemberian MPA dan progresteron lewat vagina itu memberi keturunan yang hampir semuanya betina. Pasalnya, rahim sapi-sapi yang dirangsang berahinya dengan spiral dan spons itu menghasilkan lendir yang bersifat asam. Suasana asam itu, "Membuat faktor penentu kejantanan tersisih," kata Laba. Penelitian Laba itu terhitung orisinil, atau setidaknya bisa dikatakan langka. "Temanya cukup menarik," ujar Dr. I G.B. Amitaba, pembimbingnya. Hanya saja, untuk dilaksanakan di lapangan, teknik yang dikembangkan Laba boleh dibilang mahal. "Peternak kecil di desa tak mampu melakukannya," ujarnya. Putut Tri Husodo dan Herry Mohammad (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini