Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Warisan budha di malam jumat

Nu dan muhammadiyah berdebat soal nyadran (ziarah kubur). tapi pemikir budaya jawa h. karkono par tokusumo menjadi penengah. konon, nyadran sebenarnya tumbuh dari budaya budha. ada unsur syirik.

24 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR 1.500 orang memadati makam. Sebagian di antaranya bersila, dan mencoba sungguh-sungguh mengikuti bacaan tahlilan yang mungkin tak mereka ketahui maknanya. Pada saat bau kemenyan memengapkan udara dan menusuk-nusuk hidung itu, para pedagang kaset di luar tak peduli. Mereka terus menyetel lagu-lagu dangdut keras-keras, bersaing bising di antara sesamanya. Juga dengan tembang Jawa yang mengalun dari pengeras suara panitia. Makam itu terletak di kaki bukit Makam Sewu, Desa Gesikan, Mujirejo, Bantul, Yogyakarta. Kabarnya, di situlah adik Raden Patah yang bernama Panembahan Bodo dimakamkan. Ada suasana tertentu yang muncul pada acara yang berlangsung di sana. Meriah, agak berbau agama, tapi lebih keras bau mistisnya. Tak setiap hari suasana makam Panembahan Bodo demikian. Hanya pada setiap malam (dan hari) Jumat serta Selasa Kliwon banyak orang berziarah. Namun, jumlah pengunjung paling ramai justru Senin kemarin. Saat itu, di makam yang berbentuk joglo tadi diadakan acara nyadran. Sebuah acara yang berlangsung setahun sekali. Yakni setiap menjelang bulan Puasa. Para pengunjung berdatangan dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan Yogya. Mereka umumnya pedagang. Kedatangan mereka di makam Panembahan Bodo mengharap berkah. Istilah lain yang lebih tegas adalah mengharap pesugihan -- kekayaan dengan cara tak wajar. Mereka duduk di depan makam berkelambu putih itu dengan sikap menyembah, lalu menaburkan bunga dan kemenyan. Doa dan permintaan pun mereka tebar untuk mengharap keberuntungan kelak. Di makam Panembahan Bodo atau bukan, bagi banyak orang Jawa nyadran memang sesuatu yang dipentingkan. Mendekatnya bulan Puasa adalah saat nyadran tiba. Karenanya Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) Kota Madya Semarang merasa perlu membahas soal itu. Sabtu pekan lalu, mereka mengadakan seminar. Topiknya: Nyadran dalam perspektif budaya dan Islam. Berbagai sudut pandang dicoba dipakai untuk menyoroti nyadran. Yang paling mengundang perhatian adalah ditampilkannya "suara NU" dan "suara Muhammadiyah". Dua kubu yang dalam soal-soal semacam ini dapat diduga bakal bertolak belakang. Sedangkan sudut pandang budaya seperti bertindak jadi penengah, untuk tak menjadikan nyadran semata sebagai masalah hukum yang kesimpulannya hanya "boleh" dan "tidak." Menurut Ketua Javanologi, H. Karkono Partokusumo, nyadran sebenarnya tumbuh dari budaya Budha. Ia lalu mengutip kitab Nagarakertagama karangan Prapanca yang telah diterjemahkan P.J. Zoetmulder. Asal mulanya dari kata sadran, dan kata itu dari bahasa Sanskerta sradha. Artinya: suatu upacara menghormat dan untuk kebaikan keluarga yang meninggal. Dahulu, peringatan sradha selalu dipimpin oleh seorang bhiksu Budha. Pendekatan Islam secara mistik di abad ke-13 telah mengubah tradisi itu. Walaupun tak menghilangkannya. Berbagai budaya Jawa dirangkul Islam, untuk diberi arti baru. "Nyadran adalah salah satu di antaranya yang diisi oleh dakwah Islam," kata Karkono. Misalnya dengan memberi pengertian bahwa nyadran adalah untuk mengirim doa pada leluhur. Bukan minta doa restu di kuburan. Tentu usia tradisi ini sudah cukup tua. Ketuaan budaya ini tercermin dari ucapan Suwarno, juru kunci makam Panembahan Bodo. "Saya generasi ketiga yang menjadi juru kunci di sini," kata Suwarno. Tapi ayah atau kakeknya dulu tak pernah bercerita kapan tradisi nyadran di Makam Sewu bermula. Suwarno sendiri sudah menunggui makam itu sejak 1962. "Nyadran memang sudah sangat membudaya," kata Karkono. Menurut dia, bagi orang Jawa -- apa pun agamanya, seberapa pun kecendekiawanannya -- umumnya menjalankan nyadran dengan cara ziarah kubur. Ada yang melakukannya setiap malam Jumat. Ada yang 35 hari sekali, atau pada hari-hari yang dianggap suci, misalnya Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Tapi yang paling banyak justru di bulan Ruwah (Sya'ban) begini. Pihak NU yang diwakili Wakil Ketua NU Jawa Tengah, Ahmad Buchori, memakai alasan lama untuk tidak mencap hitam mereka yang nyadran. Baginya, nyadran merupakan bentuk asimilasi tradisi Jawa dengan ajaran Islam. Membiarkannya adalah langkah persuasif agar orang Jawa tak merasa diperkosa adat-istiadatnya. "Bahkan merasa disempurnakan." Sama seperti yang ditempuh Walisongo. Ia mengakui banyak praktek nyadran yang "berbau syirik". Misalnya dengan menyediakan sesaji berupa makanan serta barang kesukaan mendiang. Lebih dari itu, minta berkah pada arwah. Maka, dalam pandangan Buchori, tugas mubalig adalah mengarahkan tradisi berbau syirik itu pada ajaran tauhid. Sebab, siapa pun tahu, tauhidlah ajaran Islam paling pokok. Wakil Muhammadiyah yang juga memakai argumen lama -- jelas bersikap lebih tegas. Islam -- begitu makalah Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Tengah H. Amir Ma'sum menyebutkannya -- tidak memberi tuntunan nyadran. Quran, Sunah, sahabat, tabi'in -- para muslim awal yang tak sempat mendapati masa hidup nabi -- serta mazhab sama sekali tak menyebut soal itu. Karenanya, "budaya yang mengakibatkan campur-baur antara iman dan syirik tidak perlu dilestarikan dalam Islam." Argumen lain dikemukakan Abu Hayan. "Mengirim doa kan tak perlu ke kuburan." Ia mengutip Surat Yunus 106. Jangan meminta selain kepada Allah. Jika berbuat demikian, engkau termasuk dholim. Walaupun begitu, Muhammadiyah juga tak menyatakan nyadran terlarang, jika sebatas ziarah kubur dan mendoakan almarhum. Sedang NU pun tak merekomendasikan bentuk nyadran yang mengarah syirik. Namun, untuk menghadapi soal nyadran, Buchori berkeras untuk mengikuti cara wali. Dengan metode itu, menurut dia, syirik di pesisir utara Jawa sangat berkurang. "Di daerah yang tidak mengikuti metode itu, seperti Solo dan Yogya, syirik malah masih subur," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus