Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mimpi Langit Biru dari Cina

Cina berambisi menjadi pengguna pertama pembangkit listrik tenaga nuklir berbahan bakar torium. Indonesia kaya akan bahan ini. Apa nilai lebihnya dibanding uranium?

12 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH bertahun-tahun kabut asap menyelimuti beberapa kota di Cina, antara lain Jilin, Shanghai, Harbin, dan Beijing. Kabut itu terkadang begitu tebal sehingga menghambat aktivitas warga. Pada Olimpiade Beijing 2008, kabut asap hampir membatalkan ibu kota Cina ini menjadi tuan rumah pesta olahraga empat tahunan tersebut. Banyak negara peserta mengeluhkan buruknya kondisi udara di sana. Langit biru seolah-olah menjadi pemandangan langka.

Kabut asap itu bukan akibat kebakaran hutan, seperti yang sering terjadi di Indonesia, melainkan hasil pembakaran batu bara dari pembangkit listrik. Saat ini 70 persen kebutuhan listrik Cina dipasok oleh pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat taraf polusi yang dikeluarkan cerobong pembangkit listrik itu sudah sangat mengkhawatirkan. Tak ingin pertumbuhan negerinya mandek gara-gara pencemaran udara, pemerintah Cina berusaha mencari solusi. Pilihan jatuh pada penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

Tak seperti pembangkit listrik batu bara, PLTN relatif tak mengeluarkan asap berlebih. Hanya, tak seperti pada PLTN lain yang menggunakan uranium sebagai bahan bakar, Cina ingin menjadikan torium sebagai pengganti uranium. Torium memang berpotensi sebagai bahan bakar PLTN, tapi aplikasi elemen radioaktif ini sangat terbatas dan masih dalam skala riset. Amerika Serikat, pemilik PLTN terbanyak saat ini, pernah meneliti torium untuk PLTN pada 1960-an, tapi tak berlanjut.

Untuk memenuhi ambisi memiliki PLTN berbahan bakar torium, pemerintah Cina memberi waktu 10 tahun, dari semula 25 tahun, bagi tim peneliti di Shanghai. Tugas mereka mengembangkan fasilitas PLTN pertama di dunia yang menggunakan elemen radioaktif torium. "Dulu pemerintah tertarik pada nuklir karena kelangkaan energi. Kini mereka berminat karena masalah kabut asap," kata Li Zhong, ilmuwan yang terlibat dalam proyek itu, seperti ditulis South China Morning Post.

Selain Cina, India tergolong negara yang agresif dalam mengembangkan riset untuk PLTN berbahan bakar torium. Cadangan torium India paling tinggi di dunia saat ini. Setelah India adalah Turki, Brasil, Australia, dan Amerika Serikat. Norwegia, yang memiliki cadangan torium 320 ribu ton, juga menggalakkan riset reaktor torium melalui program bernama Thor Energy.

Di Indonesia, kajian penggunaan torium sebagai bahan bakar PLTN belum mendalam. Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), yang memegang kendali atas pemakaian bahan radioaktif di Indonesia, masih memusatkan riset pada pemakaian uranium. Kepala Pusat Kajian Sistem Energi Nuklir Batan, Yarianto Sugeng Budi Susilo, membenarkan bahwa torium bisa dipakai sebagai bahan bakar PLTN. "Risetnya sudah dimulai pada 1960-an. Jerman bahkan pernah melakukan percobaan dan membangun reaktor," kata Yarianto di Jakarta pekan lalu.

Ia mengatakan uranium tergolong bahan fisil atau dapat membelah. "Ketika uranium ditembak neutron, inti atomnya membelah, itu yang terjadi pada uranium 235 (U-235)," uajar Yarianto. Torium adalah bahan fertil. Artinya, agar menjadi bahan fisil yang bisa dipakai sebagai bahan bakar reaktor, torium harus dikonversi dulu menjadi elemen lain. "Ditembak neutron, torium diproses menjadi uranium 233 (U-233) yang bisa digunakan sebagai bahan bakar reaktor," kata Erlan Dewita, peneliti di Batan.

Konsentrasi uranium terbanyak di alam adalah U-238, yang mencapai 99,3 persen. Adapun U-235, yang merupakan bahan fisil, hanya sekitar 0,7 persen. "Elemen U-238 itu sama dengan Th-232. Mereka adalah bahan fertil," ucap Yarianto. Bedanya, U-238 yang ditembak neutron bisa berubah menjadi plutonium 239, yang bisa dipakai untuk membuat senjata nuklir. Sedangkan torium lebih aman karena tidak menghasilkan plutonium. "Torium memang cuma bisa diolah untuk bahan bakar," ujarnya.

Ambisi Cina membangun PLTN baru yang lebih aman membuat riset tentang torium kembali naik pamor. Erlan mengatakan U-233 yang dihasilkan dari torium memiliki konduktivitas yang lebih tinggi dibanding U-235. Bahan U-233 lebih bagus mengabsorpsi neutron sehingga efisiensinya besar. Titik lelehnya pun lebih tinggi, mencapai 3.300 derajat Celsius. Bahan U-233 juga lebih tahan menghadapi oksidasi yang merusak reaktor Fukushima di Jepang tiga tahun lalu. "Jika terjadi sesuatu yang menyebabkan panas berlebih, U-233 lebih kuat dan tahan panas sehingga lebih aman," kata Erlan.

Jumlah torium di alam ditaksir masih sangat banyak. Elemen itu biasanya ditemukan dalam batuan monasit dari pertambangan timah. Di Indonesia, Pulau Bangka adalah lokasi dengan kandungan torium tinggi. Peneliti Batan menemukan kandungan torium dalam tumpukan slag atau produk sampingan pertambangan timah Bangka. Jumlah slag di Bangka diperkirakan 700 ribu ton. Kandungan torium dalam monasit mencapai 12 persen. "Masih ditumpuk di sana. Padahal di dalamnya terkandung monasit dan logam tanah jarang, yang kalau diolah lebih berharga daripada timah itu sendiri," kata Yarianto.

Beberapa wilayah di Kalimantan dan Sulawesi Barat juga terindikasi mengandung torium. Namun belum ada penelitian dan eksplorasi mendalam untuk menghitung berapa sebenarnya kandungan torium Indonesia. Torium Indonesia diperkirakan berjumlah 121 ribu ton. "Tapi ini baru perkiraan. Saya yakin lebih dari itu," ujar Yarianto. Belum ada regulasi pemanfaatan mineral radioaktif untuk kegiatan komersial, sementara Batan hanya diperbolehkan mengambilnya untuk keperluan riset.

Dalam jumlah penggunaan untuk bahan bakar PLTN, torium dinilai lebih efisien dibandingkan uranium. Satu kilogram torium ekuivalen dengan 250 kilogram uranium. Limbah torium juga lebih sedikit dibandingkan uranium. "Usia paruh limbah radioaktif torium lebih singkat," kata Yarianto. Masalahnya, pembangunan reaktor torium mungkin butuh waktu puluhan tahun. Reaktor torium yang menggunakan garam cair sebagai pendingin punya masalah korosi dan stabilitas fasilitas akselerator yang harus diatasi.

Anggota Dewan Energi Nasional, Tumiran, mengatakan pembangunan PLTN belum cocok diterapkan di Indonesia. "Teknologi nuklir itu opsi terakhir setelah kita punya finansial yang baik," katanya akhir pekan lalu. Indonesia, menurut Tumiran, masih belum bisa mengelola sumber daya yang ada dan sangat bergantung pada bahan bakar minyak. "Padahal Indonesia tidak kaya sumber energi fosil."

Tentangan pembangunan PLTN di Indonesia juga datang dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. "Kami menolak PLTN dalam bentuk apa pun. Ada alternatif lain daripada pakai bahan berbahaya itu," ujar Ratno Budi, Direktur Walhi Bangka-Belitung. Ia mengatakan Indonesia punya peluang besar untuk mengembangkan teknologi panel surya, yang kini mulai marak di negara berkembang lain.

Menurut Ratno, rencana pembangunan PLTN membuat adanya ketergantungan baru terhadap bahan radioaktif. "Indonesia belum punya teknologi pengayaan materi radioaktif yang memadai," katanya. Walhi juga menentang rencana pembangunan PLTN di Bangka. Kondisi alam di sana dianggap tidak aman untuk PLTN.

Lain di Indonesia, lain di Cina. Di Negeri Panda, pembangunan PLTN dianggap sudah menjadi keharusan. Menurut Gu Zhongmao, profesor di China Institute of Atomic Energy, kabut asap yang selama ini mengganggu berbagai kota besar di Cina bisa berkurang bila PLTN mampu menghasilkan 5-10 persen kebutuhan listrik dalam waktu dekat. "Agar kabut asap itu benar-benar hilang, PLTN adalah pilihan satu-satunya," ujar Gu.

Meski begitu, ia tak menampik kekhawatiran terjadinya musibah seperti di Three Mile Island, Chernobyl, dan Fukushi­ma juga menghantui warga Cina. Tapi, Gu menambahkan, jika saja reaktor nuklir itu menggunakan bahan bakar torium, tak akan ada radiasi yang bocor dan merusak lingkungan. "Jika berhasil membangun PLTN torium sebanyak mungkin, kami akan dapat melihat langit biru dan menghirup udara bersih lagi," ucap Gu.

Gabriel Wahyu Titiyoga


Proses Pengayaan Torium

Th-232 + neutron --> Th-233 (umur paruh: 22,3 menit) --> Pa-233 (umur paruh: 27 hari) --> U-233

Proses Pengayaan Uranium
U-238 + neutron --> U-239 (umur paruh: 23,5 menit) --> Np-233 (umur paruh: 2,35 hari) --> Pu-239

Potensi uranium dan torium Indonesia

BahanSumber dayaCadanganTotalEkuivalen
Uranium59.200 ton U3O83.800 U3O863.000 ton U3O87 PLTN 1 GWe (umur operasi 40 tahun)
Torium1.500 ton (spekulatif)120.000 ton (hipotetik)121.500 ton150 PLTN 1 GWe (umur operasi 40 tahun)

Reaktor

Uranium-Reaktor Air Ringan
(250 ton uranium mengandung 1,75 U-235) --> 35 ton uranium diperkaya (1,15 ton U-235)--> U-235 dibakar, terbentuk Pu-239 --> 35 ton mengandung: 33,4 ton U-238, 0,3 ton U-235 (butuh penyimpanan jangka panjang 10.000 hingga jutaan tahun); 1 ton produk fisi; 0,3 ton plutonium --> 215 depleted U-238 (0,6 U-235)

Torium-Reaktor Berpendingin Garam Cair
1 ton torium ? mengkonversi U-232 menjadi U-233 dan membakarnya --> 1 ton produk fisi --> dalam 10 tahun 83% produk fisi menjadi stabil dan bisa dipakai dalam industri dan medis; 17% produk fisi disimpan hanya selama 300 tahun; 0,0001 ton plutonium.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus