SAMPAI 4 kali terbunyi tanda bahaya sebelum DC-10 milik Air New
Zealand. membentur gunung Erebus di Kutub Selatan. Mylton Wylie,
ahli penyidik kecelakaan pesawat terbang dari Kementerian
Angkutan Selandia Baru pekan lalu mendiskusikan fakta tadi di
Washington dengan Dewan Pengamanan Pengangkutan Nasional AS.
Black box -- yang sebetulnya berwarna jingga cerah -- telah
ditemukan di tengah runtuhan pesawat itu. Dan suara dari Ground
Proximity Warning System Alert (Sistem Alarem bila mendekati
Bumi) terekam dalam box itu. Menurut Reuter, seorang penyidik
Dewan Pengamanan itu, Paul Turner, mengungkapkan bahwa alat itu
sempat berbunyi 3 kali keras dan 1 kali lemah, kemudian segera
disusul dengan suara gelegar benturan.
Ada reaksi awak pesawat yang terdengar di pita rekaman ketika
tanda bahaya itu berbunyi, tapi para penyidik masih belum
bersedia mengungkapkannya. "Saya lebih baik tidak mengungkapkan
apa-apa," jawab Wylie ketika didesak wartawan. Ia juga tidak mau
menjelaskan jarak waktu antara tanda bahaya dan benturan
terjadi.
Pendapat umum segera menyimpulkan bahwa kecelakaan itu
disebabkan pilot error, kesalahan penerbang. Tapi Air New
Zealand membantah dengan alasan bahwa alarem itu hanya pelengkap
dalam sistem pengendalian pesawat DC-10, dan cepat sekali
berbunyi -- tidak terlalu menentukan dalam mencari sebab
kecelakaan itu. Sementara itu di Washington penyidikan masih
berlangsung terus. Mereka meminta supaya dikirim bagian dari
komputer yang mengatur navigasi pesawat itu untuk melengkapi
kesimpulan mereka.
Penerbangan ke Kutub Selatan sebetulnya beberapa kali diragukan
dari segi keselamatannya oleh beberapa ahli wilayah itu. "Iklim
Antarktika terkenal cepat berubah," kata Prof. Harry Black, ahli
Australia tentang Kutub Selatan. "Angin di sana cenderung
dahsyat yang melintasi dataran es, menyeberangi pegunungan Trans
Antarktika dan membentur Gunung Erebus. Seorang pilot mudah
terperangkap dalam arus angin menurun."
Bahkan dua bulan lalu beberapa peserta sebuah pertemuan ilmiah
mengenai Antarktika memperingatkan bahwa angin dahsyat dan awan
salju bisa membahayakan penerbangan ke wilayah itu. Sedang
pangkalan udara AS di McMurdo tidak dilengkapi secukupnya.
Seperti suatu keajaiban, kecelakaan DC-10 itu terjadi tepat 50
tahun -- 28 November 1929 -- sejak rombongan Laksamana Richard
Byrd memelopori penerbangan pertama melintasi Kutub Selatan.
Ketika itu dipakai pesawat jenis Ford, bermotor tiga dan diberi
nama Floyd Bennett.
Penerbangan 901 -- semua penerbangan ANZ ke Antarktika bernomor
demikian --yang mempergunakan DC-10 pasti lebih nyaman. Walau
pada ketinggian 35.000 kaki (10.700 m), ia bebas dari segala
gagguan udara. Ia turun hanya sampai ketinggian 6000 kaki (1850
m), untuk melihat dari dekat pemandangan tertentu. Para
penumpangnya selalu disuguhi berbagai makanan leat. Sekali ini
hidangan makan siang mungkin belum sempat selesai dinikmati
ketika pesawat itu membentur lereng Gunung Erebus, salah satu
puncak acara dalam perjalanan itu.
Gunung itu (dalam mitologi Yunani kuno, Erebus adalah nama
anak Chaos dan berarti kegelapan yang amat pekat) menjulang
setinggi 12.400 kaki (3.780 m), di tengah Pulau Ross lepas
daratan benua Antarktika. Beberapa waktu sebelum mendekatinya,
Kapten pilot Tom Collins, 45 tahun, mengumumkan niatnya untuk
turun dari ketinggian 10.000 kaki (3.000 m), memberi kesempatan
kepada para penumpang untuk melihat gunung api tersohor itu dari
dekat.
Belum Pasti
Penerbangan itu suatu acara turis yang biasanya berlangsung
selama sekitar 10 jam, menempuh jarak 11.570 km, melintasi
wilayah Kutub Selatan yang gersang, beku dan dingin. Dengan
biaya AS$ 365, orang dapat menikmati pemandangan "buas" di
"ujung dunia", lengkap dengan penerangan dari seorang ahli
peneliti wilayah itu, sambil menikmati makanan dan minuman yang
istimewa.
DC-10 itu, yang berawak 20 orang dan membawa 237 penumpang,
membentur lereng gunung itu beberapa menit lewat jam 2 siang.
Baru 10 jam kemudian beberapa pengintai dari pangkalan udara
McMurdo berhasil menemukan runtuhan pesawat itu pada ketinggian
2.500 kaki (760 m), bertebar seluas setengah kmÜßÿFDQë'
Tiga pendaki gunung asal Selandia Baru berhasil kemudian
diturunkan dari helikopter. Mereka tidak menemukan seorangpun
yang hidup.
Kecelakaan itu merupakan keempat terbesar di dunia, dan ketiga
tahun ini, yang melibatkan jenis pesawat DC-10. Maka ini segera
menimbulkan dugaan bahwa kecelakaan ini disebabkan oleh
kerusakan pesawat DC-10 itu. Tapi penelitian terakhir sudah
memastikan bahwa bukan ini sebabnya. Meskipun kemudian arah
dugaan beralih kepada pilot error, ini pun belum pasti.
Tom Collins, kapten pilot pesawat itu, sudah berpengalaman 21
tahun dan terkenal sebagai penerbang yang tidak suka menempuh
risiko. Tapi penerbangan itu pertama kali baginya ke wilayah
tandus itu. Banyak orang menduga bahwa Collins mengalami gejala
yang dikenal sebagai white out. Ini terjadi bila sang pilot,
yang berpengalaman sekalipun, sempat kehilangan kesan arah dan
perspektif karena badai salju menutupi segalanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini