MAHASISWA tak lagi resah soal Normalisasi Kehidupan Kampus.
Begitulah nampaknya dalam minggu terakhir tahun kemarin,
setelah usul interpelasi sejumlah anggota DPR tentang penerapan
NKK/BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan) ditolak dalam sidang
plenonya. "Kami telah menempuh prosedur formal dan
konstitusional," kata Lilik Sudirahardjo pejabat Ketua DM ITB.
"Tapi toh, tak mendapat perhatian sepenuhnya," sambungnya.
Itu berarti masalahnya belum beres benar. Dengan menunjuk lebih
langsung persoalannya, Sismulyanda mahasiswa tingkat akhir
Fakultas Ekonomi UI mengatakan kepada TEMPO, bahwa NKK beserta
BKK-nya itu "mematikan demokrasi dalam kampus". Dan dengan lebih
gamblang lagi, Budi Prajitno, pejahat Ketua Senat Fakultas
Kehutanan IPB memberikan penilaiannya atas lembaga BKK. Katanya
"Dalam lembaga itu mahasiswa tak duduk sebagai pimpinan.
Keanggotaannya sendiri lebih ditunjuk dari atas. Mahasiswa
merasa kehilangan hak berorganisasi."
Ia yang duduk dalam senat mahasiwa ini, meski tak konfrontatif,
ada juga harapannya agar lembaga BKK diubah sedikit: "Mestinya
staf pengajar tidak terlalu banyak ikut campur tangan pada
kegiatan mahasiswa."
Jadi masalahnya bukan hanya "depolitisasi" kampus atau memotong
kesempatan mahasiswa berpolitik atas nama kampus, tapi bagaimana
mahasiswa bisa diberi kepercayaan untuk berorganisasi sendiri.
"Ada yang tak praktis dalam pemilihan senat mahasiswa," kata
Pandu liyono, mahasiswa Fakultas Kedokteran UI. Ia heran,
mengapa senat mahasiswa yang harus dipilih oleh BPM (Badan
Permusyawaratan Mahasiswa), kemudian masih perlu persetujuan
dekan. Dan anehnya, senat itu, dalam konsep BKK, harus
bertanggung jawab kepada dekan.
Tidak Mendidik
Soal ini rupanya penting. Yunus, dari Fakultas Ilmu-ilmu Sosial
UI, bahkan mempunyai kesan, bahwa "dalam masalah ini sepertinya
bagi pemerintah justru BKK-nya yang penting, dan bukan NKK-nya."
Dari Departeman P&K datang jawaban. Sumber TEMPO mengatakan,
persetujuan dekan atas senat mahasiswa penting, karena dekan
yang tahu, apakah jabatan itu akan mengganggu studinya atau
tidak. Diberikannya contoh banyak fungsionaris senat bahkan
dewan mahasiswa yang ternyata bertahun-tahun kuliahnya tak
kunjung selesai. "Jadi sebenarnya itu untuk kebaikan mahasiswa
sendiri," kata sumber itu.
Tapi, tidak cukupkah hal itu dicegah dengan misalnya seperti
yang diterapkan di UI sekarang: dengan pembatasan tahun kuliah.
Seorang mahasiswa yang tak juga lulus dalam jangka waktu
tertentu, diharuskan keluar. Dengan demikian diminta si
mahasiswa sendiri harus tahu diri. "Tani itu tidak mendidik."
bantah sumber itu -- meskipun mendidik bisa berarti memberi
kepercayaan.
Supriyadi anggota BPM Fakultas Kehutanan IPB misalnya,
menghubungkan ini dengan soal latihan kepemimpinan. "Kalau
pemerintah menghendaki mahasiswa sebagai calon pemimpin masa
depan, kalau sekarang tak diberi kesempatan memimpin,
bagaimana?" katanya. Tapi seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran
UI yang juga menolak BKK, mengakui: lembaga kemahasiswaan dulu
pun bisa juga menimbulkan ketidakdemokrasian. Misalnya, ada
Ketua D.M yang tak diganti pada waktunya dan kontrol terhadap
penggunaan uang tidak efektif.
Kini apakah semua silang pendapat ini bisa melahirkan satu
rumusan yang lebih baik dan luas diterima?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini