SEMUA yang hadir dalam eksperimen itu menahan napas ketika landasan rakitan yang mendukung bangunan rumah itu mulai dimiringkan. Mulanula kemiringan itu hanya 6 ke satu arah, kemudian dibalik ke arah lainnya. Semua alat ukur yang terpasang dalam rumah eksperimental itu mencatat perubahan yang wajar, dan bangunan itu tak retak. Berangsur, kemiringan itu diperbesar, hingga akhirnya mencapai 44. Bangunan seberat 18 ton itu nyatanya tetap utuh, kecuali beberapa retakan kecil yang tak berarti. Eksperimen itu melengkapi serangkaian penelitian DPMB (Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan) atas bangunan tahan gempa. Sejak 1979 DPMB bekerjasama dengan berbagai fihak, termasuk suatu ahli dari Kementerian Konstruksi Bangunan Jepang. Eksperimen itu tidak dilakukan pada waktu gempa melanda. Tapi dipakai peralatan yang bisa meniru gaya yang ditemukan dalam keadaan gempa betul. "Gaya tekan gempa bisa dihasilkan dari berat diri bangunan ketika mengalami kemiringan," ujar Ir. Murdiati Munandar, Kepala Seksi Konstruksi di DPMB itu. Model rumah itu dibangun atas sebuah landasan baja (tilting table "meja" tukik). Terletak 4,5 m di atas tanah, landasan itu bisa ditukik ke kiri atau ke kanan, digerakkan oleh sebuah dongkrak besar di bawahnya. Seluruh peralatan itu ditempatkan di bawah atap sederhana di halaman DPMB di Jalan Turangga, Bandung. Untuk mengukur berbagai gaya yang timbul dalam eksperimen itu, pada tempat tertentu dalam rumah itu dipasang berbagai jenis alat ukur. Seluruh biaya eksperimen itu, menurut Ir. Syamsu, Kepala SubDit Pengembangan Bahan DPMB, sekitar Rp 40 juta, termasuk rumah percobaannya. Percobaan ini hanya berlaku untuk tanah keras. Menurut Ir. Murdiati, respons bangunan terhadap gempa, tergantung juga dari keadaan tanah dan karakteristik gerakan gempa itu sendiri. Murdiati pernah selama satu tahun mengikuti studi tentang bangunan tahan gempa di International Institute for Seismological and Earthquake Engineering di Tsukuba, Jepang. Di Jepang sendiri, negara yang sering dilanda gempa bumi, studi tentang rumah tahan gempa sudah dimulai 20 tahun lalu. "Tilting table seperti ini di Jepang sudah tak dipakai," ujar Dr. Eng. Toshiyuki Kubota, ahli bangunan tahan gempa yang sejak 2 tahun lalu diperbantukan pada DPMB oleh pemerintah Jepang. "Sekarang digunakan sistem shaking table yang bisa bergerak ke segala arah," ujar Kubota. Bahkan tahun 1978, dalam kerjasama dengan Amerika Serikat, Jepang sudah berhasil menguji-coba suatu bangunan berlantai tujuh. Tentu shakfng table ("meja" guncang) untuk eksperimen itu tak lagi berupa "meja" melainkan shaking construction (bangunan berguncang). Seluruh proses itu dikendalikan oleh komputer. Di Bandung itu, pada mulanya (Mei lalu) DPMB membuat rumah percobaan batako, sesuai standar bangunan di Jepang, bertulang besi beton dengan kolom dan ringbalok. Beberapa kali dilakukan percobaan dengan model rumah ini, mengenakan beban yang semakin berat melalui kemiringan yang bertambah besar. Dalam eksperimen kedua (September lalu), digunakan rumah standar Perumnas tipe T-36. Meski berat seluruh rumah itu hanya 9,2 ton, kondisinya lebih berat karena selain dinding pemisah dalam rumah dihilangkan sebagian, juga ringbalok besi beton diganti dengan ringbalok kayu meranti--seperti halnya pada rumah Perumnas sebenarnya. Ini berarti unsur yang membuat bangunan itu kaku, sangat berkurang. Juga adukan yang mengikat batako rumah itu diganti dengan adukan standar yang dipergunakan pada bangunan Perumnas, yaitu adukan semen, kapur dan tras. Uji Coba Nyatanya dalam percobaan, rumah Perumnas itu juga tetap utuh, sekalipun kemiringan yang dicapai bahkan 45. Menurut rencana, pada percobaan tambahan pekan ini, bahkan ringbalok kayu meranti akan dihilangkan sama sekali. Kenapa percobaan itu terhadap rumah Yerumnas? "Karena kebanyakan rumah penduduk masih setingkat dengan rumah Perumnas," ujar Ir. Syamsu. "Apalagi jenis rumah itu akan diprioritaskan di masa mendatang." Rumah seperti itu memang murah, "tapi paling tidak tahan terhadap gempa," ujar Syamsu lagi. Pernah di Sukabumi dan Tasikmalaya sejumlah besar bangunan baru ambruk meski gempa yang melanda tak begitu besar kekuatannya. Proyek Perumnas Cabang Jawa Barat konon belum ada hubungan apa pun dengan hasil eksperimen di DPMB itu. "Mungkin dengan Perumnas Pusat sudah ada hubungan," ujar kepala cabang itu, Ir. Hakim Natakusumah kepada TEMPO pekan lalu. Selama ini hanya bahan-bahan untuk rumah Perumnas Jawa Barat yang melalui uji-coba DPMB. Sejumlah besar rumah Perumnas Cirebon sejak akhir tahun 1979 diketahui rusak karena sifat tanah yang labil. Ketika Perumnas Cirebon mulai membangun, konsultan Belanda konon memberi 3 alternatif untuk memperbaiki tanah yang dinilai labil itu. Ketika itu alternatif yang termurah dipilih, yaitu memperdalam fondasi dari yang lazim antara 4060 cm menjadi 110 cm. (TEMPO, 3 November 1979). Ir. Hakim berjanji rumah Perumnas Cirebon yang rusak itu akan segera diperbaikinya. "Tendernya sudah dilakukan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini