BAGAIKAN seorang pertapa yang diterima permohonannya, perguruan
tinggi itu kini berwajah cerah. Institut Hindu Dharma (lHD),
satu-satunya lembaga pendidikan tinggi Agama Hindu di Indonesia,
10 Oktober lalu mewisuda 11 sarjana baru. Itu untuk pertama
kalinya setelah 18 tahun yang penuh usaha. "Merupakan lembaran
baru bagi IHD," kata Ida Bagus Suanda Wesnawa SH, sang rektor,
dengan lega.
Maklum. Lembaga yang didirikan berdasar Piagam Campuhan
itu--hasil Kongres Parisadha Hindu Dharma I 1960 di Campuhan,
Bali---boleh dikata hanya bermodal niat dan semangat mengabdi
umat saja. Kuliahnya pun, yang mulai pada 1963 menumpang pada
sekolah milik Yayasan Dwi Jendra--sekolah menengah Hindu.
Dosennya hampir semua pinjaman dari Universitas Udayana atau
perguruan tinggi lain. Dan banyak di antara mereka malah
menyumbangkan honorarium mengajarnya untuk IHD--agar ihstitut
ini tidak macet, syukur berkembang. Apa boleh buat, Yayasan
Hindu Dharma yang punya inisiatif memang boleh dikatakan tak
bermodal.
"Pada dasarnya kami masuk IHD ingin mencari kepuasan jiwa," kata
Drs. I Gusti Ayu Wedhariyadnya, salah satu sarjana yang
diwisuda. Ia ibu 5 anak, dan menjadi mahasiswa sejak 1969.
Baru setelah sepuluh tahun berjalan, 1973, IHD menerima bantuan
insidentil dari Departemen Agama. Ini memang meringankan
sedikit. Dan 1978 yang lalu gubernur Bali (Sukarmen, waktu itu)
menyumbangkan tanah seluas 3 ha untuk kampus. Kampus itu sendiri
lantas berdiri berkat bantuan Pemda Bali, Dep. Agama, bantuan
Presiden dan bantuan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah
VI.
Fakultasnya pun berkembang: dari satu menjadi tiga. Fak.
Keguruan Pendidikan Agama, Fak. Agama dan Pengetahuan
Kemasyarakatan dan sebuah lagi--cakal bakal perguruan tinggi
ini--Fak. Agama dan Kebudayaan. Tenaga pengajar juga bertambah.
Ada 64 dosen dan asisten dosen (tetap maupun honorer), termasuk
3 orang guru besar. Mahasiswanya kini lumayan banyak, 1100
orang. Sementara sarjana muda yang telah diluluskannya tercatat
213 orang.
Toh, menurut Suanda Wesnawa, rektor itu, IHD belum mampu
mencukupi tenaga ahli agama Hindu--untuk umat yang berjumlah
sekitar 3 juta. "Umat Hindu 'kan tak di Bali saja," tuturnya.
Mungkin karena ini baik jebolan maupun lulusan IHD praktis tak
susah mencari kerja. Di samping, kebanyakan mahasiswanya memang
telah bekerja--jadi dosen, guru, pejabat dinas pembinaan mental
ABRI umpamanya. Ini bisa berarti: IHD belum benar-benar seirama
dengan perkembangan umat Hindu.
Kebijaksanaan yang ditempuh kini: dikeluarkannya surat keputusan
yang mengharuskan para alumni institut mengabdikan ilmunya
kepada alma mater--dengan rnenjadi dosen. Dengan demikian
berangsur-angsur jumlah dosen pinjarnan bisa dikurangi. Tentu,
peraturan itu bisa efektif sepanjang tidak bertubrukan dengan
kesibukan penuh si lulusan yang telah terikat.
Fakultas Baru
Agaknya masa kerektoran Suanda Wesnawa merupakan masa pembenahan
lebih lanjut. Rektor keempat IHD itu, pensiunan Letkol CPM dan
bapak dari tujuh anak, merencanakan membuka satu fakultas lagi:
Fak. Agama dan Filsafat.
Tentang sarana akademisnya sendiri meski telah jauh berkembang
dibanding pada awal-awal berdirinya, masih dirasa kurang cukup.
Itulah mungkin yang kini menjadi masalah bagi perubahan status
11 ID menjadi institut negeri -- seperti IAIN misalnya. Apalagi
prestasi akademisnya sendiri belum terdengar. Karena itu
statusnya masih tetap sama seperti 18 tahun lalu: terdaftar.
Padahal, menurut Suanda, IHD telah melakukan dialog. dengan DPR
Pusat mengenai penegeriannya. Dan konon, ketika meninjau
institut itu beberapa hari sebelum wisuda yang lalu, Menteri
Agama telah memberikan "lampu hijau".
Dari Ditjen Bimas Hindu-Buda Departemen Agama sendiri hal itu
memang menjadi pemikiran. "Perkembangan IHD tak disangka.
Ternyata peminatnya banyak," tutur Dirjen Bimas Hindu-Buda, Gde
Pudja SH.
Singkat kata, menurut Dirjen yang pernah belajar di lembaga
perguruan tinggi Agama Hindu di India itu, ia sangat setuju
penegerian IHD. "Tapi kirakira nanti empat-lima tahun lagi,"
katanya. Soalnya, bagaimana perguruan tinggi bisa baik bila
perpustakaan saja, misalnya, belum memadai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini