SETIAP tahun ratusan ribu turis dari wilayah dingin di Eropa
turun ke Spanyol untuk menikmati matahari. Kini Spanyol
memanfaatkan sendiri energi matahari yang berlimpah itu. Baru
saja negeri itu memulai pembangunan dua pusat pembangkit
listrik di daerah selatan.
Teknologi itu bukan baru. Prancis misalnya, telah bertahun-tahun
memilikinya di Mont-Louis dan Odeillo. Bahkan kini selesai
dibangunnya sebuah pembangkit listrik bertenaga matahari dengan
daya 2 Mw di Targasonne di pegunungan Pyrenee -- terbesar di
dunia saat ini.
Amerika Serikat sedang membangun pula beberapa pusat pembangkit
listrik bertenaga matahari di Barat Daya negeri itu. Puluhan
negeri lain seperti Jepang, Australia, Korea Selatan, Israel,
Kanada, Jerman Barat, India dan RRC -- semuanya sedang
bereksperimen dengan teknologi tenaga matahari ini.
Belum Ada Dukungan
Juga Indonesia tidak mau ketinggalan. Misalnya, di Pusat
Penelitian Penerapan Tenaga Matahari (P3TM) dari FIPA UGM,
Yogyakarta. Dengan pimpinan Dr. M.S.A. Sastroamidjojo 58 tahun,
di situ telah berhasil diciptakan berbagai macam peralatan.
Lembaga ini, yang bekerja sama dengan LAPAN, kini mencoba
membuat sebuah pembangkit listrik, hanya sekitar 25 Kw. Meski
kecil, pembangkit semacam ini akan sangat cocok untuk
menyediakan listrik di pedesaan.
Namun dukungan riil dari pemerintah agaknya belum ada. Perkiraan
selesainya proyek ini belum bisa dipastikan, "tergantung dari
uang negara," ujar Sastroamidjojo dalam suatu interpiu TEMPO.
"Sampai sekarang kami belum disokong."
Masalah dukungan ini memprihatinkannya. Seperti tercantum dalam
motto P3TM Djer Basuki Mawa Beya. Kurang lebih artinya, "Bila
menginginkan sesuatu, tentu membutuhkan biaya."
Konon pemerintah Australia pernah menawarkan grant untuk
membantu penelitian di Yogyakarta itu. "Tapi mengapa pemerintah
Indonesia tampaknya tidak suka bekerja sama dengan Australia
dalam bidang ini?" tanya Sastroamidjojo. Ia sendiri memperoleh
gelar Doktor dalam ilmu fisika zat padat di Australian National
Unirersity, Canberra 1975 Sedang gelar Master di bidang nuclear
engineering ia peroleh di Amerika Serikat.
"Perhatian pemerintah kita hanya eksploratif," katanya. "Yaitu
baru pada usaha mencari keterangan." Pemerintah dilihatnya tidak
punya target dalam hal ini, seperti terungkap dalam lokakarya
soal energi non-konvensional di Jakarta bulan lalu.
Sastroamidjojo malah khawatir bahwa pemerintah akan terlanjur
memesan dan membeli teknologi pemanfaatan tenaga matahari dari
luar negeri. "Padahal semuanya bisa kita bikm sendiri di sini,"
tegasnya.
Kantor P3TM -- yang terletak di Skip III, Yogyakarta --
sekaligus berfungsi sebagai bengkel. "Semua peralatan yang kami
butuhkan kami buat sendiri," kata Sastroamidjojo yang
sehari-hari dipanggil Pak Seno di sana. Sudah 80 mahasiswa
selesai dididiknya. "Tapi masih belum ada lapangan kerja buat
mereka," katanya.
Banyak sudah peralatan yang berhasil dibuat di P3TM itu dalam
usianya yang hampir 30 tahun. Misalnya, peralatan ekstraksi
minyak kelapa yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa Panjangrejo
di Bantul. Ia bekerja sama dengan PT Barata untuk membuat
peralatan pengering untuk Perkebunan Negara PTP XXIII di Ja-Tim
(TEMPO 16 Februari).
P3TM itu juga sedang membuat sebuah cermin paraboloida berputar
dari bahan sederhana seperti semen, pasir, kain kelambu dan
kertas timah. Awal Februari ini, panas yang bisa dicapai dengan
cermin ini pada tenah hari sekitar 625ø C." "Kita menginginkan
lebih dari 100øC," jelas Nur'anisah Nazir, 33 tahun sarjana
biologi berparas cantik anggota staf P3TM itu.
Berbagai perusahaan multinasional raksasa di Eropa dan Amerika
Serikat sedang menggebu mengembangkan teknologi ini. Sebuah
diskusi panel awal tahun ini di Jenewa bahkan akan membahas
kecenderungan bahwa negara dunia ketiga menjadi pasarannya yang
sangat terbuka.
Tahun lalu, Menteri Negara Ristek Dr. B.J. Habibie
menandatangani suatu program kerjasama Indonesia dengan Jerman
Barat dalam bidang teknologi. Antara lain meliputi bidang
pengembangan teknologi energi matahari ini. Dua desa percobaan
dilengkapinya dengan berbagai jenis peralatan teknologi matahari
seperti pompa air, pembangkit listrik, pengering dan pemanas
air. Semua itu diimpor dari dan disediakan oleh Jerman Barat.
Agaknya kekhawatiran Dr. Sastroamidjojo cukup beralasan.
Penelitian orang Indonesia di bidang teknologi matahari ini
tidak terbatas pada P3TM di Yogya saja. Juga ini dilakukan Pusat
Teknologi Pembangunan (PTP) ITB di bawah pimpinan Dr. Ir. Filino
Harahap.
Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang dan Fakultas Biologi
dari UNAS di Jakarta juga mengadakan berbagai penelitian yang
sama.
Agaknya mulai terasa akan perlunya suatu badan yang menghimpun
dan mengkoordinasikan semua kegiatan ini. Sastroamidjojo dalam
hal ini pernah mengusulkan sebuah Indonesian Solar Energy
Association.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini