Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Pak Seno Asyik Bermatahari

P3tm fipa-ugm yogya berhasil menciptakan beberapa macam peralatan tapi terbentur dengan biaya. msa sastroamidjojo sebagai pemimpinnya meminta perhatian dari pemerintah. (tek)

23 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP tahun ratusan ribu turis dari wilayah dingin di Eropa turun ke Spanyol untuk menikmati matahari. Kini Spanyol memanfaatkan sendiri energi matahari yang berlimpah itu. Baru saja negeri itu memulai pembangunan dua pusat pembangkit listrik di daerah selatan. Teknologi itu bukan baru. Prancis misalnya, telah bertahun-tahun memilikinya di Mont-Louis dan Odeillo. Bahkan kini selesai dibangunnya sebuah pembangkit listrik bertenaga matahari dengan daya 2 Mw di Targasonne di pegunungan Pyrenee -- terbesar di dunia saat ini. Amerika Serikat sedang membangun pula beberapa pusat pembangkit listrik bertenaga matahari di Barat Daya negeri itu. Puluhan negeri lain seperti Jepang, Australia, Korea Selatan, Israel, Kanada, Jerman Barat, India dan RRC -- semuanya sedang bereksperimen dengan teknologi tenaga matahari ini. Belum Ada Dukungan Juga Indonesia tidak mau ketinggalan. Misalnya, di Pusat Penelitian Penerapan Tenaga Matahari (P3TM) dari FIPA UGM, Yogyakarta. Dengan pimpinan Dr. M.S.A. Sastroamidjojo 58 tahun, di situ telah berhasil diciptakan berbagai macam peralatan. Lembaga ini, yang bekerja sama dengan LAPAN, kini mencoba membuat sebuah pembangkit listrik, hanya sekitar 25 Kw. Meski kecil, pembangkit semacam ini akan sangat cocok untuk menyediakan listrik di pedesaan. Namun dukungan riil dari pemerintah agaknya belum ada. Perkiraan selesainya proyek ini belum bisa dipastikan, "tergantung dari uang negara," ujar Sastroamidjojo dalam suatu interpiu TEMPO. "Sampai sekarang kami belum disokong." Masalah dukungan ini memprihatinkannya. Seperti tercantum dalam motto P3TM Djer Basuki Mawa Beya. Kurang lebih artinya, "Bila menginginkan sesuatu, tentu membutuhkan biaya." Konon pemerintah Australia pernah menawarkan grant untuk membantu penelitian di Yogyakarta itu. "Tapi mengapa pemerintah Indonesia tampaknya tidak suka bekerja sama dengan Australia dalam bidang ini?" tanya Sastroamidjojo. Ia sendiri memperoleh gelar Doktor dalam ilmu fisika zat padat di Australian National Unirersity, Canberra 1975 Sedang gelar Master di bidang nuclear engineering ia peroleh di Amerika Serikat. "Perhatian pemerintah kita hanya eksploratif," katanya. "Yaitu baru pada usaha mencari keterangan." Pemerintah dilihatnya tidak punya target dalam hal ini, seperti terungkap dalam lokakarya soal energi non-konvensional di Jakarta bulan lalu. Sastroamidjojo malah khawatir bahwa pemerintah akan terlanjur memesan dan membeli teknologi pemanfaatan tenaga matahari dari luar negeri. "Padahal semuanya bisa kita bikm sendiri di sini," tegasnya. Kantor P3TM -- yang terletak di Skip III, Yogyakarta -- sekaligus berfungsi sebagai bengkel. "Semua peralatan yang kami butuhkan kami buat sendiri," kata Sastroamidjojo yang sehari-hari dipanggil Pak Seno di sana. Sudah 80 mahasiswa selesai dididiknya. "Tapi masih belum ada lapangan kerja buat mereka," katanya. Banyak sudah peralatan yang berhasil dibuat di P3TM itu dalam usianya yang hampir 30 tahun. Misalnya, peralatan ekstraksi minyak kelapa yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa Panjangrejo di Bantul. Ia bekerja sama dengan PT Barata untuk membuat peralatan pengering untuk Perkebunan Negara PTP XXIII di Ja-Tim (TEMPO 16 Februari). P3TM itu juga sedang membuat sebuah cermin paraboloida berputar dari bahan sederhana seperti semen, pasir, kain kelambu dan kertas timah. Awal Februari ini, panas yang bisa dicapai dengan cermin ini pada tenah hari sekitar 625ø C." "Kita menginginkan lebih dari 100øC," jelas Nur'anisah Nazir, 33 tahun sarjana biologi berparas cantik anggota staf P3TM itu. Berbagai perusahaan multinasional raksasa di Eropa dan Amerika Serikat sedang menggebu mengembangkan teknologi ini. Sebuah diskusi panel awal tahun ini di Jenewa bahkan akan membahas kecenderungan bahwa negara dunia ketiga menjadi pasarannya yang sangat terbuka. Tahun lalu, Menteri Negara Ristek Dr. B.J. Habibie menandatangani suatu program kerjasama Indonesia dengan Jerman Barat dalam bidang teknologi. Antara lain meliputi bidang pengembangan teknologi energi matahari ini. Dua desa percobaan dilengkapinya dengan berbagai jenis peralatan teknologi matahari seperti pompa air, pembangkit listrik, pengering dan pemanas air. Semua itu diimpor dari dan disediakan oleh Jerman Barat. Agaknya kekhawatiran Dr. Sastroamidjojo cukup beralasan. Penelitian orang Indonesia di bidang teknologi matahari ini tidak terbatas pada P3TM di Yogya saja. Juga ini dilakukan Pusat Teknologi Pembangunan (PTP) ITB di bawah pimpinan Dr. Ir. Filino Harahap. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang dan Fakultas Biologi dari UNAS di Jakarta juga mengadakan berbagai penelitian yang sama. Agaknya mulai terasa akan perlunya suatu badan yang menghimpun dan mengkoordinasikan semua kegiatan ini. Sastroamidjojo dalam hal ini pernah mengusulkan sebuah Indonesian Solar Energy Association.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus