TUKIJAN sudah 10 bulan meninggalkan desanya di Wonogiri, Jawa
Tengah. Bersama-sama teman sekampung, ia bertransmigrasi bedol
desa karena kampungnya ditenggelamkan untuk proyek waduk raksasa
Gajah Mungkur. Tukijan kini tinggal di Unit VIII Proyek
Pengembangan Transmigrasi Air Lais, Seblad, Kuro Tidur,
Kabupaten Bengkulu Utara, 115 km dari Kota Bengkulu.
Sabtu sore 26 Januari lalu rupanya saat naas baginya. Mendadak
kepalanya dilempari batu oleh Roni, 16 tahun, penduduk asli
sana. Perkaranya: Tukijan dituduh mencuri ayam Roni. "Kepala
saya pusing dan darah bercucuran menutup muka saya," tutur
Tukijan.
Mendengar peristiwa itu, hampir separuh transmigran asal
Wonogiri yang tinggal di unit VI sampai dengan IX, dengan golok
di tangan, beramai-ramai menuju kompleks PT Kwarto Jaya Sakti,
tempat Roni bekerja. Tanpa mempedulikan kehadiran Camat Lais,
Komandan Koramil dan petugas Polri, mereka minta agar Roni
diserahkan kepada yang berwajib.
Tapi Roni tidak kelihatan. Para transmigran lalu menyerbu pondok
Roni, menggeledah, membakar semua isinya. Mereka juga memaksa
Muchtar, petugas perusahaan tersebut, menanda-tangani pernyataan
yang berisi kesanggupan menyerahkan Roni dalam tempo 1 hari.
Camat Lais dan petugas lainnya tidak berhasil mengajak mereka
berunding.
Besoknya batang hidung Roni belum lagi tampak. Para transmigran
menganggap, Muchtar tidak memenuhi janji. Mereka lalu membakar
beberapa pondok di kompleks PT Kwarto Jaya Sakti semua
peralatan dan bahan bangunan habis ludes, termasuk 3 buah truk.
Perselisihan semacam itu sebelumnya pernah terjadi 2 kali.
"Padahal selama ini pergaulan antara transmigran dan penduduk
asli eukup rukun," kata Hasyim Bakar, Kepala Marga Lais.
Sebab-sebab perselisihan sebenarnya dan penyelesaiannya kini
sudah ditangani Kores 621 Bengkulu Utara. Yang jelas selama ini
para transmigran memang resah, karena lokasi pemukiman yang
mereka tempati ternyata belum siap.
Ada 9 lokasi pemukiman transmigrasi di Kuro Tidur. Dibuka 1976,
tapi sampai November 1978, baru unit I sampai IV saja yang
dianggap selesai. Itu pun, menurut Ali Achmad Chomah, Kait
Agraria Bengkulu, dalam pelaksanaan pengukuran, pengkaplingan
dan penentuan lokasi di kelima unit tersebut ternyata kemudian
meleset "Yang dipesan lokasi untuk 2.000 KK yang datang
ternyata 2.500 KK," kata Ali Achmad, "sebentar lagi pelaksanaan
pengukuran lokasi untuk 5100 KK itu akan segera dilaksanakan."
Seperti yang juga diakui Ponidi, manajer Unit II, dari Kanwil
Transmigrasi Bengkulu, 1 Ha tanah untuk perladangan yang
pernah dijanjikan belum bisa ditanami karena masih berupa hutan.
Dari 477 KK di Unit II misalnya, baru 37 KK yang menerima jatah
tersebut. Selebihnya menggarap hutan perawan, itu pun belum pula
diukur oleh pihak Agraria setempat.
Unit VI - IX rencananya harus sudah selesai September tahun lalu
untuk dihuni 1.00 KK transmigran dan 200 KK penduduk asli
sebagai transmigran sisipan. Nyatanya kini baru dapat dihuni
1.624 KK atau 6.435 jiwa saja. Sisanya ternyata belum rampung
juga. Seluruh unit, I - IX, rencananya untuk 4.500 KK
transmigran Wonogiri.
Kelambatan penyiapan lokasi itu juga menyebabkan kelambatan
pembuatan rumah, hingga sering para transmigran diminta bantuan
pula mengangkut bahan bangunan, bahkan juga membabat hutan.
Upahnya pun tak sepadan. "Untuk membabat hutan hanya diupah
sekitar Rp 15.000 sampai Rp 40.000 per hektar," kata transmigran
Suwandi, Ketua RK IV unit VI.
Di unit VIII ada transmigran yang kena pungli Rp 25.000 - Rp
40.000 setiap KK kalau mau menerima tanah perladangan. Untung 13
3 KK menuntut dan uang mereka segera dikembalikan. Uang ganti
rugi tanah mereka di Wonogiri yang didepositokan di Kuro Tidur
juga dipungli, bahkan bunganya konon tidak dibayarkan. Widodo,
Pimpinan BRI Bengkulu terkejut, "tapi baiklah kita cek dulu,"
katanya.
Sijunjung
Nasib transmigran asal Wonogiri yang dikirim ke Abai Siat
Kecamatan Koto Baru Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung, Sumatera
Barat, tampaknya tak jauh berbeda dengan rekan mereka di Kuro
Tidur. Lokasi Abai Siat juga dikenal sebagai proyek Sitiung III,
lanjutan dari Sitiung I dan II. Ketika Irjen Dcpartemen Tenaga
Kerja & Transmigrasi Marsan Siregar meninjau ke sana awal
Februari lalu, tanah perladangan mereka belum bisa digarap.
Karena penuh batang-batang pohon bekas tebangan. Keterlambatan
penyiapan lokasi Abai Siat itu diakui oleh Ir. Suryatin, Dirjen
Bina Marga Departemen PU.
Kepada Kompas, Suryatin menyatakan, proyek Abai Siat memang
ditangguhkan untuk mengerjakan proyek yang dianggap lebih
mendesak yaitu Alai Hilir untuk sisa transmigran asal Wonogiri
sebanyak 1.859 KK. Gubernur Sumatera Barat, Azwar Anas, juga
menyatakan bahwa proyek Sitiung yang ditempati transmigran asal
Wonogiri sejak 3 tahun lalu, "sampai saat ini belum menunjukkan
perkembangan yang menggembiraka."
Tapi Presiden Soeharto sendiri memahami keterlambatan penyiapan
lokasi pemukiman itu, seperti diungkapkan Menteri Muda Urusan
Transmigrasi Martono di Bina Graha Senin pekan lalu. 'Menurut
Martono, keterlambatan itu antara lain karena jumlah transmigran
yang ingin diberangkatkan semakin meningkat.
Betapapun, Presiden minta agar penanganan transmigrasi
dipercepat. Untuk itu, sejak Februari ini Presiden memanggil
Menteri Martono bersama para dirjen yang berkaitan dengan
transmigrasi, sebulan 2 kali. "Presiden ingin mendengar secara
langsung laporan penanganan teknis transmigrasi," kata Martono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini