Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat di Indonesia acap kali berbondong-bondong membeli baju baru Lebaran. Perilaku ini sudah menjadi bagian tradisi Lebaran di Indonesia. Meski demikian, tradisi ini diam-diam membawa ancaman bagi lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peningkatan pembelian pakaian ini tentu menghadirkan keuntungan yang besar bagi pedagang. Omzet yang didapatkan para pedagang baju di saat-saat seperti ini dapat meningkat hingga dua kali lipat. Sayang, hal itu justru berpotensi untuk merugikan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat permintaan baju meningkat, unit produksi yang ada di hulu akan menggunakan sumber daya bahan baku yang lebih banyak. Hal itu akan mendatangkan ancaman yakni peningkatan produksi limbah tekstil.
Sementara itu, di bagian hilir atau unit penjualan akan mengalami limpahan baju bekas yang banyak. Baju-baju bekas tersebut membutuhkan perawatan ekstra untuk dapat dijual kembali. Perawatan ekstra ini dapat berupa pencucian yang membutuhkan detergen yang cukup banyak. Ancaman-ancaman tersebut dapat meningkatkan produksi limbah fesyen di lingkungan.
Pakar lingkungan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Prabang Setyono menanggapi fenomena ini. Menurut Prabang, budaya simbolik baju Lebaran memiliki makna positif. Namun, dalam praktiknya harus diimbangi dengan sikap bijak berpakaian. “Budaya tersebut sebenarnya pemaknaan simboliknya bagus, hanya pemaknaan secara fisiknya tidak harus dengan baju baru tapi baju yang bagus yang sudah tersimpan lama tapi belum dipakai atau jarang dipakai saja,” ujar Prabang seperti dikutip di laman resmi UNS pada Rabu, 4 Mei 2022.
Apa yang Bisa Dilakukan jika Sudah Telanjur Membeli Baju Baru?
Bagi masyarakat yang sudah telanjur membeli baju baru, Prabang memberikan beberapa solusi yang dapat dilakukan. Guru besar bidang ilmu pencemaran lingkungan ini menyarankan masyarakat untuk menggunakan sistem sirkuler baju layak pakai. Sistem ini dapat dipahami sebagai penyaluran baju-baju yang dianggap sudah kekecilan atau tidak tren tapi masih bisa dipakai kepada masyarakat yang membutuhkan.
Alih-alih membuang, sistem sirkuler penyaluran ini tidak akan menimbulkan limbah bahan tekstil dari baju tersebut. “Bagi yang sudah membeli pakaian maka baju yang dianggap sudah tidak tren atau sudah tidak dipakai harus disalurkan ke suatu unit usaha atau tempat penampungan baju layak pakai untuk didistribusikan ke masyarakat pengguna lain agar penggunaannya berkelanjutan atau sustainable ,” kata Kepala Program Studi S1 Ilmu Lingkungan UNS ini.
Sementara itu, baju-baju yang sudah tidak layak pakai dan harus menjadi sampah dapat diberlakukan sistem sirkuler ekonomi. Prabang mengatakan baju-baju tersebut dapat dijual kepada produsen dengan produk yang memanfaatkan limbah baju. Potongan-potongan baju dapat diubah menjadi bahan fillet atau pengisi properti rumah tangga seperti kursi sofa dan bantalan.