Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti di Pusat Riset Bioindustri Laut dan Darat, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ekowati Chasanah, membeberkan kelebihan dan kekurangan susu ikan yang disebut-sebut bakal menjadi bagian dari program Makan Bergizi Gratis pemerintahan baru nanti. Ditegaskannya, susu ikan tidak berasal dari kelenjar susu ikan, melainkan hasil proses pemecahan protein ikan menjadi bentuk yang larut dalam air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Susu ikan ini merupakan produk hasil pengembangan melalui proses hidrolisis enzimatis yang memecah protein ikan menjadi protein pendek atau peptida serta asam amino bebas, kemudian diformulasikan sehingga menyerupai susu," kata Ekowati dalam agenda rutin BRIN berupa Media Lounge Discussion (MELODI) di Jakarta, Rabu 9 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walaupun kandungan kalsium susu ikan tidak setinggi susu sapi, Ekowati berpendapat, produk ini dapat menjadi alternatif sumber protein bagi masyarakat, terutama anak-anak yang intoleran terhadap laktosa. Kandungan protein dengan asam amino esensial yang lengkap dan protein pendek yang mudah diserap oleh tubuh disebutnya sebagai keunggulan."Produk ini sangat bermanfaat untuk anak-anak dan orang yang sedang dalam masa pemulihan dan membutuhkan asupan protein yang tinggi," katanya.
Ekowati menambahkan kolaborasi penelitiannya bersama Gizi Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) menggunakan model hewan (tikus). Hasilnya menunjukkan bahwa pemberian susu ikan dapat mengaktifkan hormon pertumbuhan, "Dan secara signifikan meningkatkan panjang tubuh tikus tersebut." katanya.
Disebutkannya, ikan sudah dikenal sebagai sumber asam lemak esensial seperti DHA dan EPA, yang penting bagi kesehatan. Oleh karena itu, menurut Ekowati, produk hidrolisat atau susu ikan juga mengandung asam lemak esensial tersebut. Bahkan proses hidrolisis protein ikan diklaimnya membuat produk ini lebih aman dari alergen, serta menghasilkan peptida (protein pendek) aktif yang memiliki manfaat tambahan.
"Hal itu membuat susu ikan (hidrolisat) memiliki potensi besar sebagai pangan fungsional, seperti untuk membantu mencegah hipertensi, obesitas, dan sebagai imunostimulan," kata Ekowati.
Baca halaman berikutnya: proses pembuatan dan tantangannya
Dalam proses pembuatan hidrolisat atau susu ikan diperlukan enzim protease. Sayang, hingga kini produksi enzim itu disebutkan Ekowati belum mencukupi dan belum sesuai untuk produksi susu ikan di Indonesia. Meskipun penggunaannya sedikit, ketergantungan pada produk impor masih menjadi tantangan dalam produksi susu ikan dalam negeri.
Untuk mengatasi kendala tersebut, Ekowati menyampaikan bahwa saat ini sedang berupaya mendapatkan pendanaan melalui skema rumah program BRIN untuk pengembangan enzim lokal yang sesuai untuk produksi susu ikan. Dengan diproduksinya enzim lokal itu nantinya maka secara total produksi susu ikan dapat sepenuhnya dari bahan dalam negeri, dengan harapan lebih efisien dan mandiri.
Pabrik Susu Ikan Milik Swasta Terkendala Enzim Impor
Teknologi pengembangan susu ikan ini telah diaplikasikan oleh pihak swasta yakni Yayasan Berikan Protein Initiative sejak 2022 lalu. Chief Product and Development di yayasan itu, Iwa Sudarmawan, menjelaskan, saat ini pihaknya memiliki pabrik mini di Indramayu, Jawa Barat, dan telah mampu memproduksi susu ikan dengan kapasitas hingga 75 ton susu ikan per bulan. Jumlah itu setara dengan 3,75 juta botol dalam kemasan 125 mililiter.
Iwa menegaskan, susu ikan tidak ditujukan untuk menggantikan susu sapi, namun sebagai alternatif subsitusi sumber protein. "Di Indonesia saat ini susu dan daging masih banyak di suplai dari impor padahal kita memiliki potensi besar untuk mendukung kemandirian protein nasional dari sumber laut yang melimpah,” ujar Iwa.
Menurut Iwa, produk susu ikan pertama kali diluncurkan pada Agustus 2023 lalu, dan saat ini sedang dipasarkan secara luas. Selain melibatkan bioteknologi yaitu enzim pemecah protein ikan, produk akhirnya juga diformulasikan dengan perasa dan bahan lain agar lebih sesuai dengan selera masyarakat. Inovasi ini menjadi solusi untuk memperkuat ketahanan pangan Indonesia, sekaligus menggerakkan ekonomi sirkular di daerah penghasil ikan.
Diharapkan, pengembangannya dapat direplikasi di berbagai daerah di Indonesia. “Hal ini diharapkan mampu mendukung ekonomi lokal serta memberikan pilihan nutrisi berbasis protein ikan bagi masyarakat luas,” kata Iwa.