Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Peneliti BRIN Sebut Dua Stigma Negatif tentang Jamu, Kini Sudah Tak Terdengar Lagi

Peneliti Ahli Utama BRIN Yuli Widiyastuti menjelaskan soal potensi jamu, sejarahnya dan pengakuan UNESCO.

4 Juni 2024 | 12.44 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dengan penetapan ini, maka Budaya Sehat Jamu menjadi WBTB Indonesia ke-13 yang berhasil diinskripsi ke dalam daftar WBTB UNESCO. Sebelumnya, Indonesia telah menginskripsi 12 elemen budaya lainnya sebagai WBTB UNESCO, yaitu Wayang (2008), Keris (2008), Batik (2009), Pendidikan dan Pelatihan Batik (2009), Angklung (2010), Tari Saman (2011), Noken (2012), Tiga Genre Tari Tradisional di Bali (2015), Seni Pembuatan Kapal Pinisi (2017), Tradisi Pencak Silat (2019), Pantun (2020), dan Gamelan (2021). Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional (PR BBOOT) Organisasi Riset Kesehatan (ORK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yuli Widiyastuti mengatakan Indonesia perlu bergembira karena jamu sudah menjadi isu global. Hal ini ditandai, kata dia, dengan masuknya jamu sebagai satu sistem atau budaya pengobatan yang diakui oleh UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) setara dengan sistem pengobatan lainnya. Salah satu contoh  pengobatan Ayurvedha, traditional chinese medichine dan Unani yang berasal dari India.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada awal 1960 sampai 1990-an, menurut Yuli, jamu memperoleh stigmatisasi negatif dari masyarakat. Ia menyebutkan setidaknya ada dua stigma negatif. Pertama, jamu selalu dikonotasikan sesuatu yang mengerikan karena digunakan untuk menakut nakuti anak-anak. Kedua adalah istilah “bakul jamu” disematkan pada seseorang yang terlalu banyak berbicara yang tidak ada faktanya (membual).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

‘’Satu hal yang sangat menarik tentang istilah “jamu” dan menjadi stigma positif, yakni jamu dapat dijadikan rahasia awet muda seseorang, baik wanita maupun pria. Perkembangan yang sangat pesat terkait jamu mengakibatkan stigma negatif jamu  saat ini hampir tidak kita dengar lagi,” kata Yuli melalui keterangan tertulis, Selasa, 4 Juni 2024.

Yuli mengungkapkan, jamu berasal dari dua suku kata: "jampi" dan "usada" atau "Jawa" dan "ngramu". Budaya meracik jamu ini dikenal sejak zaman Hindu-Buddha (abad 6-7) yang dibuktikan di berbagai relief candi. "Berdasarkan catatan tertulis, kata "Jampi" ditemukan pertama kali di Kakawin Gatotkacasraya gubahan Empu Panuluh di masa Kerajaan Kediri (abad 15-17)," ucapnya.

Pemanfaatan jamu, kata Yuli, mulai dikenal sejak Kerajaan Mataram Kuno (Hindu-Buddha). Pada mulanya, jamu lebih banyak dibuat untuk menjaga kesehatan keluarga kerajaan, khususnya di daerah Surakarta-Yogyakarta. Sejarah tertulis terkait istilah jamu dan perkembangannya di masyarakat sangat minim. ‘’Jamu yang berkembang sampai saat ini sangat kuat dipengaruhi oleh budaya pengobatan dari Cina, India, dan Arab yang tercermin dari sejumlah ramuan dengan bahan-bahan impor yang saat ini masih kita gunakan,’’ katanya

Yuli menjelaskan, jejak budaya pengobatan nenek moyang dengan ramuan tergambar di beberapa relief candi dan prasasti, serta beberapa naskah buku yang ditulis pada masa kerajaan Mangkunegara III, Hamengkubuwono II, dan Pakubuwono V. Bukti tertulis lainnya soal kekayaan tumbuhan dimanfaatkan untuk pengobatan terdapat dalam sejumlah karya tulis, antara lain Historia Naturalist et Medica Indiae, Herbarium Amboinense, Het Javaansche Receptenboek (Buku Resep Pengobatan Jawa), Indische Planten en Haar Geneeskracht (Tumbuhan Asli dan Kekuatan Penyembuhannya), dan De Nuttige Planten van Indonesie (Tumbuhan Berguna Indonesia).

Yuli menambahkan, pada 2012, 2015, 2017 Kementerian Kesehatan melalui Badan Litbang Kesehatan melakukan eksplorasi sumber pengetahuan lokal yaitu Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja). Riset tersebut bertujuan untuk membangun data base sumber data yang bisa diakses tentang penggunaan tumbuh-tumbuhan untuk berbagai permasalahan kesehatan di tanah air. "Hasil Ristoja harus dapat dikembangkan menjadi informasi baru tentang tumbuhan obat dan jamu dari Indonesia, meliputi aspek genetic, fitokimiawi, keamanan, dan khasiat berdasarkan scientific evident,” ujarnya.

Perpres 54 Tahun 2023: Roadmap Pengembangan Jamu 

Yuli menyatakan, arah pengembangan jamu tertuang di Perpres 54 tahun 2023 dalam bentuk roadmap pengembangan jamu. Latar belakang dari munculnya perpres tersebut adalah untuk mengingat kekayaan biodiversitas Indonesia dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap produk berbasis alam.

‘’Sehingga pengembangan jamu dan pemanfaatan jamu perlu dilaksanakan secara terkoordinasi, bersinergi," kata dia. Harapannya, akan ada sinkronisasi dalam pembuatan kebijakan, program, dan kegiatan di kementerian, lembaga dan pemerintah daerah.

Peraturan presiden ini, kata Yuli, diharapkan menjadi pedoman dalam pengembangan dan pemanfaatan jamu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat namun tetap menjaga konservasi sumber daya alam secara berkelanjutan dan lestari.

Namun Yuli juga menyadari bahwa pengembangan dan pemanfaatan jamu menghadapi sejumlah tantangan. Mulai dari penyediaan bahan baku terstandar hingga soal penguasaan teknologi dari hulu ke hilir yang belum harmonis. Masalah lainnya, kata dia, "regulasi belum komprehensif mengatur sistem agroindustri sampai sektor pelayanan, dan kesiapan industri lokal dan nasional untuk berkompetisi secara global.” 


 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus