Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Peneliti Unpad Kembangkan CePAD, Alat Deteksi Antigen Covid-19

Berbeda dengan rapid test Covid-19 yang menyasar pemeriksaan antibodi dari sampel darah, CepAD mampu mendeteksi keberadaan SARS-CoV-2.

26 Juni 2020 | 07.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengambilan sampel darah pada rapid test COVID-19 di RS Hasan Sadikin Bandung Rabu 25 Maret 2020. FOTO/Dok.RSHS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Bandung - Tiga tahun mengembangkan alat Rapid Test untuk virus Avian Influenza (AI) menjadi bekal mengembangkan alat deteksi antigen Covid-19 yang dinamai CePAD. “Kami belajar AI, tapi jadinya produksi alat deteksi Covid,” kata Sekretaris Pusat Riset Bioteknologi Molekular dan Bioinformatika Universitas Padjadjaran (Unpad), Muhammad Yusuf, di Bandung, Kamis 25 Juni 2020. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belasan peneliti dari kampus Unpad tersebut bermitra dengan PT Tekad Mandiri Citra (TMC), perusahaan manufaktur obat-obatan untuk hewan, untuk pengembangan rapid test AI. Belakangan mereka menggandeng pula PT Pakar Biomedika Indonesia, spesialis pengembang produk alat diagnostik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yusuf mengatakan, pandemi Covid-19 memaksa pengembangan alat rapid test untuk Avian Influenza yang tengah dikerjakan itu dihentikan. “Februari kami sempat stop. Tidak masuk kantor segala macam. Kami berpikir, 'Ngapain ya, lagi Covid-19 tapi malah ngerjain AI, gak jelas',” kata dia.

Yusuf kemudian melontarkan ide untuk 'banting setir' mengembangkan alat tes cepat untuk mendeteksi Covid-19. Idenya disetujui. Tiga bulan, prototipe alat tes cepat yang dinamai CePAD itu rampung dan kini tengah memasuki fase validasi dengan mengujinya pada sampel pasien Covid-19.

Berbeda dengan alat diagnostik cepat Covid-19 lain yang menyasar pemeriksaan antibodi dari sampel darah, alat tes cepat CepAD mampu mendeteksi keberadaan SARS-CoV-2, virus penyebab penyakit Covid-19, dari sampel swab pasien. Versi pertama dari prototipe CePAD mampu mendeteksi virus yang ada dalam sampel swab itu maksimal 20 menit dengan menunjukkan dua garis merah dalam alat tes tersebut.

Teknologi kunci dari alat deteksi itu, Yusuf menerangkan, adalah biosensor yang bertugas mendeteksi sampel protein Sars COV-2. Biosensor tersebut dicetak dalam kertas mikroselulosa, kertas dengan ukuran pori yang khusus. Sampel swab dari pasien lalu diteteskan pada alat rapid test.

“Kenapa dia bisa muncul garis merah di situ, karena di kertasnya kami sudah cetak, ada biosensor, itu adalah molekul penangkap virus,” kata Yusuf menerangkan.

Biosensor pada rapid test tersebut adalah antibodi antigen yang dihasilkan dari ayam yang disuntikkan protein antigen virus. Biosensor tersebut akan mendeteksi reaksi antibodi antigen terhadap protein virus yang ditangkap alat itu dengan hasil berupa tampilan dua garis merah.  

“Kami menggunakan ayam untuk memproduksi antibodi IgY dari kuning telur. Kita suntikan antigen virus ke ayam. Nanti ayam akan memproduksi antibodi yang spesifik yang bisa menangkap si virusnya. Itu lebih mudah,” kata Yusuf memaparkan.

Yusuf mengatakan, antibodi IgY itu relatif akurat untuk dipergunakan sebagai komponen rapid test Covid-19. Seluruh pengujian yang dilakukan pada sampel swab dengan hasil positif lewat uji PCR menghasilkan bacaan dua garis merah pada alat rapid test CePAD, yang menandakan keberadaan virus Sars COV-2 terdeteksi.

“Secara teknologi tidak salah, dan antibodi yang dihasilkan memang betul bisa menangkap protein virus,” kata  dia.

Yusuf mengatakan, biaya pengembangan antibodi antigen tersebut terhitung mahal karena mayoritas bahan baku seperti protein virus dan peralatan yang dipergunakan seperti kertas mikroselulosa masih impor. Itu sebabnya kebanyakan produsen rapid test akhirnya memilih untuk mengimpor antibodi karena biaya produksi rapid test akan jauh lebih ekonomis.

“Tapi kalau dari sudut pandang industrinya, dan secara ilmu pengetahuan, jadinya tidak akan pernah berkembang,” kata dia sambil menambahkan timnya saat ini tengah menuntaskan pengembangan protein antigen sendiri. "Kebetulan Pusat Riset kami bidang kajiannya itu, sains protein, kami bisa memproduksi antigen sendiri,” kata dia.

Co-Founder PT Pakar Biomedika Indonesia, sekaligus Kepala Pusat Studi Infeksi Fakultas Kedokteran Unpad, Bachti Alisjahbana, mengatakan, sejumlah pengujian prototipe CepAD menjanjikan. Sekalipun dia mengakui proses uji-coba masih harus ditambah. 

Bachti mengatakan, pengalaman perusahaannya mengembangkan alat diagnostik paham betul tentang rapid test antigen dan antibodi. “Sebagai contoh kita punya alat deteksi demam berdarah yang bisa mendiagnosis demam berdarah pada hari ke 1 sampai 3 demam, di mana pasien belum sakit berat. Itu kelebihannya dari alat antigen deteksi,” kata dia.

Sambil menunggu proses uji prototipe, Bachti mengatakan, perusahaannya sudah menyiapkan lini produksi untuk alat deteksi antigen hasil riset Yusuf dan kawan-kawannya. Menurut taksirannya, harga jual alat deteksi antigen CePAD itu diperkirakan tidak akan lebih dari Rp 100 ribu per unitnya, jauh lebih murah dibandingkan alat rapid test yang saat ini beredar di pasaran yang mayoritas bahan bakunya masih mengandalkan impor. 

Lini produksi awal yang disiapkan adalah untuk kapasitas produksi hingga 30 ribu rapid test kit per bulan atau setara 1.000 alat per hari. “Kalau memang mesti 50 ribu per bulan, kami harus perbesar ruangan dan tambah orang. Itu gak susah. Itu hanya assembling saja, dan melatihnya gampang,” kata Bachti menambahkan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus