Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Surabaya - Satu di antara 16 Guru Besar di Universitas Airlangga (Unair) yang baru saja dikukuhkan pada pekan ini adalah Nur Wulan dari Fakultas Ilmu Budaya. Penelitiannya tentang krisis maskulinitas dan pentingnya jati diri laki-laki Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ditemui usai pengukuhan pada Rabu, 18 Desember 2024, Wulan mengatakan tertarik meneliti maskulinitas karena ilmu tersebut jarang dikaji di kampus di Tanah Air. Bahkan, menurut dia, belum ada jurnal akademik yang khusus membahas tentang laki-laki dan maskulinitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wulan menambahkan, studi gender, sebagai payung besar kajian maskulinitas, juga masih didominasi oleh studi tentang perempuan. Hal ini dinilainya wajar karena perempuan adalah pihak yang terpinggirkan dalam dunia yang masih patriarkal.
“Ini sangat disayangkan. Padahal, laki-laki mempunyai peran penting untuk menciptakan tatanan gender yang egaliter," katanya. Wulan menambahkan, "Sistem gender ini bisa tercipta jika laki-laki memberi banyak ruang bagi perempuan untuk berkembang.”
Wulan menerangkan, maskulinitas adalah sebuah konstruksi sosial. Bentuk-bentuk maskulinitas atau norma kelakian disebutkannya ideal, bergantung pada konteks sosial, budaya, politik, dan bahkan ekonomi.
Dia mencontohkan, maskulinitas ideal terkait dengan identitas nasional yang sedang dibentuk. Sementara itu, maskulinitas yang identik dengan kepatuhan dan kesetiaan sering muncul dalam masa penjajahan atau masa kekuasaan rezim otoriter.
Pada konteks Indonesia, Wulan mengatakan bahwa maskulinitas sangat dipengaruhi masa penjajahan dan pemerintahan Orde Baru. Hal ini juga bisa dilihat dari cerita-cerita dalam buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka.
“Banyak sekali cerita yang menampilkan karakter laki-laki yang nakal tapi berbakti kepada orang tua, seperti cerita Si Doel Anak Jalanan dan Si Samin,” ucap dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair itu.
Krisis Maskulinitas Picu KDRT
Wulan mengatakan bahwa saat ini terjadi krisis maskulinitas di Indonesia. Salah satunya karena situasi perekonomian yang sulit.
“Ketika lowongan pekerjaan semakin sedikit dan banyak perusahaan harus gulung tikar, tidak semua laki-laki bisa bekerja menjadi pencari nafkah utama. Ini menyebabkan laki-laki tidak bisa menjalankan tugasnya,” tutur perempuan berusia 54 tahun ini.
Selain itu, banyak bidang-bidang pekerjaan yang terbuka untuk perempuan dan memperparah krisis maskulinitas yang terjadi. Situasi seperti ini, kata Wulan, bisa menjadi pemicu kuat munculnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kriminalitas, dan depresi.
“Jika gejala tersebut muncul dalam keluarga, maka korban utamanya adalah perempuan dan anak-anak,” ujar alumnus University of Sydney itu.
Jati Diri Laki-laki Indonesia
Menyikapi krisis maskulinitas yang terjadi di Indonesia, Wulan menyampaikan bahwa masyarakat penting untuk mempelajari makna atau arti menjadi laki-laki Indonesia. Bagi dia, laki-laki Indonesia harus memiliki akar budaya yang kuat, terutama terkait dengan nilai bangsa yakni Pancasila.
Wulan juga menyarankan agar kreativitas cerita atau buku ajar anak sekolah harus diseimbangkan dengan nilai Pancasila. Tujuannya, agar Indonesia mampu menghadapi tantangan dan perubahan global. “Contohnya cerita anak-anak harusnya bisa menampilkan sosok laki-laki yang family man tapi juga punya mimpi besar untuk menjelajah dunia.”
Selain itu, Wulan berpendapat, laki-laki perlu memberi contoh bagaimana menjadi bapak yang baik. Misalnya, laki-laki perlu lebih banyak mengurangi candaan yang merendahkan perempuan.
Jati diri laki-laki juga harus diperkuat oleh kebijakan negara. Misalnya dengan memberi cuti berbayar kepada pegawai laki-laki untuk mengasuh anak. Sebab, cuti ini akan memberi banyak kesempatan bagi Bapak untuk memperkuat ikatan dengan anak.
“Dalam jangka panjang bisa menghasilkan anak-anak yang tumbuh besar dari didikan ayah yang mengajarkan empati dan nilai-nilai kemanusiaan,” kata Wulan.
Jika cara-cara tersebut diterapkan, Wulan yakin Indonesia akan lebih baik di masa depan. Sebab, kondisi ini didukung dengan tataran gender yang setara.