Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cuma Gundala yang tahan dijilat kilat. Maka, William Beasley dan Leon Byerley membuat alat untuk mengendus kedatangan pencabut nyawa itu.
Detektor Beasley-Byerley bekerja dengan cara memantau kekuatan medan listrik di atmosfer. Jika besar medan listrik melebihi 1.000 volt per meter persegi, alat ini akan menyalakan tanda bahaya serangan petir. Ketika itu, ”Anda tidak boleh meluncurkan roket, tidak boleh mengisi bahan bakar, tidak boleh melakukan apa pun,” ujar Beasley, dosen Universitas Oklahoma, Amerika Serikat.
Satu set pengendus halilintar dijual seharga US$ 6.500 (sekitar Rp 59,3 juta), sudah termasuk sel surya, baterai, dan penyangga. Harga ini terbilang mahal, tapi ampuh untuk mencegah jatuhnya korban akibat setrum petir, yang sekali sambar sanggup menyalakan 500 ribu bohlam yang masing-masing berdaya 100 watt.
Mengintip Sidat Kawin
Indonesia ternyata kaya ikan sidat tropis (Anguilla spp.) yang di Jepang dikenal dengan sebutan unagi. Ikan ini adalah lauk-pauk mewah nan populer. Di sini juga hidup 7 dari 18 jenis sidat yang ada di seluruh dunia.
Dr Hagi Yulia Suhega, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menguak harta karun tersebut. Melakukan penelitian dari 2004 sampai 2006, ia menemukan potensi sidat terbesar berada di wilayah Indonesia tengah, terutama perairan Sulawesi; sedangkan yang terendah berada di Indonesia barat. Perbedaan potensi itu akibat faktor musim, suhu, tingkat keasinan air laut, kekeruhan air, serta topografi pantai. Ia mengaku penelitiannya belum usai. ”Saya pingin benar melihat bagaimana sidat kawin.” Keinginan aneh?
Sama sekali tidak. Jika cara sidat kawin dipahami, hewan itu bisa dikembangbiakkan secara komersial. Devisa pun mengalir. Masalahnya, bagaimana ikan ini berbiak sukar diintip karena gaya hidupnya berkebalikan dengan salmon: memijah di laut pada kedalaman 200–1.000 meter dan tumbuh dewasa di air tawar. Seperti salmon, menurut Hagi, setelah memijah, sidat langsung mati.
Alarm Lindu van Yogya
Gempa besar tak selalu mematikan, jika saja kedatangannya diwaspadai. Berbekal keyakinan itu, Soni Parahadi dan Aryono Adi membuat alarm gempa.
Soni dan Aryono, warga Kalitirto, Sleman, yang menjadi korban gempa 27 Mei lalu, membuat alarm gempa dari lampu neon 20 watt, kabel, pengeras suara, pegas, dan beberapa macam komponen elektronik. Bahan-bahan itu dirangkai menjadi dua alat utama, yakni sensor getaran yang ditanam di tanah sedalam satu meter dan sistem alarm yang digabung dengan lampu darurat. Jika gempa terdeteksi, sensor akan mengaktifkan alarm dan lampu darurat. Raungan alarmnya dijamin akan membangunkan orang yang sedang tidur lelap.
Dijual seharga Rp 350 ribu, alarm itu dapat menangkap gempa berkekuatan minimal 3,2 pada skala Richter. ”Beberapa waktu lalu, saat terjadi gempa dengan kekuatan 3,7 skala Richter, alarm ini langsung berbunyi,” kata Soni sambil menambahkan, detektor gempanya hingga kini sudah terjual 75 unit.
Syaiful Amin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo