Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tergadai karena Kencan

18 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gara-gara massa merusak kafe, warung remang, dan kamar-kamar kontrakan di daerah Kemang, Bogor, Acep tekor dua kali lipat. Padahal tukang ojek ini bebas dari gasakan massa. Apakah motornya dirusak? Acep menggeleng. Tapi bibirnya cengar-cengir.

Rupanya, ini soal transaksi hidung belang dan ”jablay” (jarang dibelay, istilah bagi pekerja seks). Selama ini warung remang serta kamar kontrakan di Kemang hingga Parung menjadi lokasi ”penutupan transaksi”. Jumat dua pekan lalu, kawasan itu diserbu massa. Para penghuni kabur sembari membawa barang sebisanya.

Di antaranya Susi, perempuan asal Karawang. Acep punya ”stori” khusus dengan Susi. Dua hari sebelum penggerebekan, dia mengantar Susi dari ”kantor” pulang ke kontrakan. ”Kamu baru, ya, di sini? Kok, baru lihat?” goda Acep. Susi mengangguk sambil mencubit pinggang si Acep dengan genit. Cubitan berbalas cubitan.

Susi pun aman diantar Kang Acep yang ramah. Turun dari boncengan, Acep mengajak Susi berkencan. Susi mengangguk setelah harga disepakati: Rp 100 ribu.

Usai berkencan, Acep menyodorkan SIM (surat izin mengemudi) kepada Susi. ”Apaan, Bang? Emangnya saya polisi?” protes Susi. ”Ah, biasanya juga begini kalau tidak punya uang. Besok saya tebus. Dasar anak baru!” kata Acep sambil ngeloyor pergi.

Eh.., belum sempat ditebus, Susi kabur karena kontrakannya diserbu massa. Acep kebingungan. Terpaksalah dia mengurus SIM baru dengan ongkos Rp 200 ribu. ”Tekor dua kali lipat saya,” ujarnya, menyesal.

Kepala Kepolisian Sektor Kemang, Ajun Komisaris Karta Atmadja, menjelaskan belasan surat identitas dari SIM, STNK, hingga KTP ditemukan polisi saat mengamankan lokasi penyerbuan. Itu baru dari dua warung. ”Sampai sekarang belum ada yang mengambil ke kantor polisi,” kata Karta.

Acep sendiri mengaku enggan mencari informasi apakah SIM-nya termasuk yang diamankan polisi. ”Ngomongnya gimana?” katanya. Tetapi ada yang lebih ditakutinya ketimbang polisi, yaitu, ”Istri saya. Kalau dia tahu, wah….”

Agung Rulianto, Deffan Purnama (Bogor)

Tersandung Lirik

Niat hati, Igo dan Ed Edy ingin membantu korban gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Tiga anggota grup band Ed Edy and Residivis ini pun naik panggung dan segera mengurun sumbangan mereka: sederet lagu.

Nahasnya, bukan pujian melainkan justru borgol polisi yang didapat. Acara itu, Konser Amal Peduli Gempa Yogyakarta, berlangsung pada 1 Juli lalu di Lapangan Pegok, Sesetan, Denpasar. Gitaris Igo alias Teguh Setiabudi dan vokalis Sofyan Hadi alias Ed Edy unjuk kebolehan membawakan lagu berjudul Anjing. Liriknya tentang seorang pemuda bertemu polisi yang menyamar sebagai preman.

Syair lagunya bertema kritik sosial dengan gaya khas anak muda: Badan kekar, kumis melintang. Gayanya, hey man, melebihi setan. Terang saja nyaliku tertantang. Tak pakai tunggu, langsung kuserbu. Rambut panjang dicat kuning kampungan. Berkaca hitam, padahal sudah malam. Kupikir preman ternyata bukan. Kupikir rocker, ternyata polisi. Reff: Anjing! Kukira preman, anjing! Ternyata polisi.…

Menurut Igo, kata anjing dalam lirik itu bukan menghina polisi. ”Itu hanya ungkapan kekagetan,” kata dia. Tapi polisi punya pendapat lain. Apalagi hal itu dinyanyikan bertepatan dengan Hari Bhayangkara ke-60—ulang tahun Kepolisian Republik Indonesia.

Personel grup band asal Denpasar ini pun segera dicokok dan diperiksa polisi. Igo dan Ed Edy dijerat Pasal 207 KUHP karena menghina pejabat negara. Ancamannya 1,6 tahun penjara. Dua pekan lalu kasusnya sudah diserahkan jaksa ke Pengadilan Negeri Denpasar.

Menurut jaksa, syair lagunya kelihatan tidak menghina polisi. ”Tapi saat menyanyi di atas panggung, mereka bisa dianggap menghina,” kata Ridwan, jaksa kasus ini. Apalagi sang vokalis mengajak orang menyanyi bersama. Igo tidak terima tudingan itu. ”Kami cuma mengajak penonton menyanyi bersama, bukan menghina polisi.”

Ketua panitia konser amal, Wayan Gendo Suardana, menganggap sikap polisi berlebihan. ”Lagu itu hanya ekspresi anak-anak muda yang cenderung jenaka,” ujarnya. Menurut Wayan, dia tak menemukan ada unsur penghinaan dalam syair itu.

Abdul Manan, Rofiqi Hasan (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus