Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Rumah Kedua bagi Sang Rhino

Badak jawa di Ujung Kulon berkembang-biak, tapi kepunahan massal bisa terjadi kapan pun. Habitat kedua harus disiapkan.

18 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU siang di hutan Ujung Kulon, Juli tahun ini. Ridwan Setiawan merasa ajalnya sudah di depan hidung. Sekitar lima meter di depannya, ada seekor badak yang kukuh seberat satu ton. Lari...! Ridwan Setiawan melesat ke balik pohon besar terdekat. Ia kecele, badak jawa itu cuma menggertak, agar dia menjauh dari anaknya.

Saat itu Ridwan menemukan empat anak badak baru dalam survei pengendali ekosistem hutan di Ujung Kulon. Temuan itu disambut gembira. Maklum, Rhinoceros sondaicus—ini nama ilmiah badak jawa—hanya tinggal 50-60 ekor di seluruh dunia. Sekitar tiga ekor hidup di hutan Vietnam, selebihnya di Ujung Kulon, Banten. Sudah begitu, dalam tiga tahun terakhir, tak ditemukan bukti bahwa hewan ini berkembang-biak di ujung barat Jawa itu. Bahkan, kata Puja Utama, Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon, ”Hampir tiga tahun kami tidak pernah menemukannya secara langsung.”

Ridwan bertemu anak badak itu di hulu Sungai Cigenter. Seperempat jam ia leluasa melihat ibu-anak itu dari jarak lima meter. ”Si ibu sedang mengenalkan anaknya pada daun-daunan yang bisa dimakan,” ujar staf World Wildlife Fund itu kepada Tempo. Inilah catatannya tentang anak badak itu: betina, umur 1 tahun, berat 1 kuintal, ukuran tapak 20 sentimeter, fisik segar-bugar.

Tiga anak badak lainnya hanya ditemukan jejaknya. Tim gabungan jagawana, WWF, dan para voluntir itu mendapatkannya di Cikeusik Timur, Gardu Buruk, dan di tepi Sungai Cihandeulem.

Toh, temuan itu tak melipur kekhawatiran lama. Keempat badak lahir di ranjang yang berbahaya: pakan makin sedikit, gerombolan banteng kian merajalela, dan—dari catatan geologis—bencana alam bisa datang kapan pun. Maka, alih-alih merasa lega, para ahli badak dunia yang tergabung dalam Asia Rhino Specialist Group berharap pemerintah segera menyetujui usul untuk membuat habitat kedua bagi badak jawa.

Usul untuk menyelenggarakan translokasi bagi badak jawa itu diutarakan pada Februari lalu dalam pertemuan ahli badak dunia di Jakarta. Tak hanya agar badak jawa bisa lebih gampang beranak-pinak, habitat kedua juga dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan datangnya malapetaka seperti wabah penyakit antraks, yang berpotensi menghabisi semua badak jawa dalam sekali pukul. Argumen utamanya, ”Jangan menaruh semua telur di satu keranjang,” kata Manajer WWF Indonesia untuk Ujung Kulon, Adhi Rahmat Hariyadi.

Biolog dari Universitas Alberta, Kanada, itu berharap pemerintah tidak menunggu keadaan memburuk dulu lalu memutuskan translokasi. Ini karena habitat baru tak gampang dibangun. Ada setidaknya 13 kriteria yang harus dipenuhi calon rumah baru badak jawa, mulai dari habitatnya yang harus semirip mungkin dengan Ujung Kulon, hingga adanya jaminan bahwa wilayah itu aman dari pemburu gelap.

Jika badak jawa dipindah ke lokasi yang salah, nasibnya bisa seperti sepupunya, badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), pada 1980-an. Waktu itu pemerintah Indonesia dan Malaysia menyelenggarakan translokasi badak sumatera ke kebun binatang Amerika dan Inggris. Jumlahnya 43 ekor, 18 dari Indonesia. Enam tahun kemudian tinggal beberapa ekor yang masih hidup dan hanya lahir dua anak.

Namun ada contoh translokasi badak yang sukses. Pada1986, pemerintah Nepal memindahkan badak india (Rhinoceros unicornis) dari Taman Nasional Chitwan ke Taman Nasional Bardia. Hasilnya, pada 2003 jumlah badak india di Bardia menjadi 600 ekor, dari sebelumnya di bawah 100 pada 1972. ”Ini menjadi sukses terbesar sejarah konservasi satwa di negara itu,” kata Nazir Foead, peneliti badak senior WWF.

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Departemen Kehutanan, Adi Susmianto, mengaku usul untuk membangun habitat kedua dari para ahli badak sudah ada di kantornya. Sedang dikaji, ”Saya harap akhir tahun ini pembahasannya sudah selesai,” ujarnya.

Pemerintah, ujar Adi Susmianto, sejauh ini masih menganggap translokasi sebagai alternatif terakhir. Soalnya masih banyak langkah lain yang bisa ditempuh, seperti mengoptimalkan pengembangbiakan badak jawa di kawasan Ujung Kulon. Meski begitu, bisa saja translokasi ternyata disetujui.

Namun, sebelum pemerintah mengambil keputusan, tantangan terhadap rencana translokasi sudah melintang. ”Kami menolak keras perpindahan badak secara bedol desa,” kata Suhada, Ketua Aliansi Independen Peduli Publik. Alasannya, badak jawa sudah menjadi lambang identitas wilayah Banten.

Syukurlah, para ahli badak tidak bermaksud mengadakan bedol desa. ”Hanya sebagian yang dipindahkan,” ujar Adhi. Pemindahan itu pun setelah penelitian yang amat ketat, mencakup kesehatan reproduksi tiap badak. Sebab, harus dipastikan bahwa badak di Ujung Kulon dan di tempat baru sama-sama dapat berkembang biak.

Soal lokasi bakal habitat kedua, Adhi sudah mengantongi satu nama: Taman Nasional Gunung Halimun. ”Kajiannya sudah rampung sekitar 80 persen dan sejauh ini cocok. Badak jawa pernah hidup di sana pada 1930-1940-an,” ujar Iwan. Banten setuju?

Inilah kata Marissa Haque, calon wakil gubernur provinsi itu: ”Asal di Gunung Halimun yang berada di sisi Banten.”

D.A. Candraningrum, Wuragil, YS

Ancaman Si Bos bagi Badak Jawa

Badak jawa memerlukan habitat kedua, si Bos—Bos sondaicus, si banteng. Namun bukan cuma itu yang mengancam badak jawa.

  1. Penyakit

    Beberapa penyakit diketahui telah menyebabkan kematian badak.

    • Antraks. Dicurigai menjadi penyebab kematian lima ekor badak jawa pada 1980-an.
    • Infeksi pencernaan. Pada 2003, seekor badak mati dengan gejala penyakit pencernaan. Penyebabnya gagal diidentifikasi, tapi diyakini menular.
    • Cacingan. Badak dan banteng di Ujung Kulon diketahui terserang cacingan.
  2. Arenga obsitufolia

    Sejenis palem. Kini Arenga mulai menyingkirkan pakan badak, seperti sulangkar. Daunnya menghalangi sinar matahari yang diperlukan untuk fotosintesis sulangkar. Arenga dapat dimakan oleh badak, tapi bukan pakan favorit dan daunnya sukar dijangkau jika pohonnya sudah tinggi.

  3. Banteng (Bos sondaicus)

    Di Ujung Kulon hidup 500 ekor banteng. Banteng dan badak sudah berebut pakan. Penyebabnya adalah padang rumput tempat banteng mencari makan mulai menyempit.

  4. Bencana alam

    Berada di tepi pertemuan lempeng bumi Eurasia dan Indo-australia, Ujung Kulon rentan gempa dan tsunami.

Sumber: Adhi Rahmat Hariyadi & Ridwan Setiawan (WWF), dephut.go.id, wikipedia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus