Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menganggap teknologi baterai mobil listrik canggih masih sulit masuk ke Indonesia. Agar bisa berkembang, infrastruktur pengisian daya harus didukung dengan permintaan pasar dan regulasi yang sesuai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Banyak tantangan yang harus dilalui agar baterai fast charging bisa masuk ke pasar mobil listrik Indonesia,” katanya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terobosan baterai mobil listrik terus bermunculan. Pada akhir Januari 2024, sebagai contoh, pada peneliti Universitas Cornell di New York, Amerika Serikat, menciptakan baterai lithium baru yang bisa diisi penuh dalam waktu kurang dari lima menit. Baterai itu memakai anoda berbahan indium yang biasanya dipakai untuk layar sentuh panel surya. Kombinasi indium dengan berbagai katoda baterai kendaraan setrum nyatanya mempersingkat durasi charging.
Ada juga baterai besutan Nyobolt—perusahaan teknologi asal Inggris—yang anodanya dipasangi logam tungsten atau wolfram. Ukurannya itu lebih kecil dari baterai lithium mobil listrik biasa. Namun, hanya butuh kurang dari 6 menit untuk mengisi baterai berkapasitas 35 kilowatt jam (kWh) tersebut dari kondisi hampir kosong hingga 100 persen.
Menurut Yannes, varian baterai fast charging terus berkembang, dari jenis solid-state battery, lithium-sulfur batteries, sodium-ion battery, lithium-air battery, hingga metal-air batteries. Tujuan setiap penelitian baterai kendaraan listrik hampir seragam, yaitu untuk peningkatan densitas (kepadatan energi) dan tingkat keamanannya baterai.
Dari sisi teknologi, kata dia, Indonesia masih mengadopsi tipe baterai yang paling standar. Mobil setrum lokal umumnya memakai baterai berbasis nikel mangan kobalt atau nickel manganese cobalt oxide (NMC).
Varian baterai besi fosfat atau lithium ferro phosphate (LFP) pun masih tergolong anyar di Tanah Air. Adapun baterai fast charging, Yanners meneruskan, memiliki tipe socket atau konektor daya yang khusus.
“Umumnya baterai fast charging memakai combined charging system (CCS). Tipe ini sudah populer di Eropa dan Amerika Utara,” katanya. “Lalu ada tipe CHAdeMO, standar dari Jepang.”
Nilai investasi untuk pengembangan baterai fast charging pun besar, karena itu biasanya hanya dipakai oleh segmen mobil listrik menengah ke atas. Kondisi ini belum cocok dengan pas otomotif Indonesia yang didominasi kelas menengah dan bawah. “Middle dan low segment memakai baterai yang lebih murah.”