Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH sejak tahun lalu Yonvitner cemas akan arah kebijakan pemerintah yang berorientasi pada pengelolaan ruang laut yang eksploitatif. Misalnya ketika baru-baru ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali membuka keran ekspor pasir laut dengan dalih pembersihan hasil sedimentasi laut. Sedikitnya 66 perusahaan sedang memohon izin melakukan eksploitasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tidak sebatas an sich membersihkan sedimen, insentif ekonomi dari perdagangan dalam dan luar negeri menjadi daya tarik investor berlomba mengajukan permohonan izin,” kata Yonvitner yang merupakan Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Jawa Barat, kepada Tempo, Senin, 7 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Sekretaris Jenderal Indonesia Mangrove Society itu bisa mafhum atas rencana penggangsiran pasir laut. Pertimbangannya adalah potensi pendapatan negara bukan pajak yang mencapai Rp 99 triliun, dihitung dari hasil reklamasi sebesar 17,6 miliar meter kubik. Apalagi Singapura sedang membutuhkan pasir dalam jumlah besar untuk membangun pulau reklamasi seluas 5.600 hektare.
Persoalannya adalah pemerintah belum menyiapkan instrumen operasional sebagai pengukur kriteria kerusakan, pemulihan ekosistem, dan keberhasilan pembersihan sedimen. Hal ini diperlukan lantaran pemerintah punya kepentingan lain mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui rencana aksi dan mitigasi perubahan iklim pada sektor kelautan. Dalam Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional Kedua (Second NDC), elemen mitigasi sektor kelautan memasukkan GRK padang lamun.
Menurut Yonvitner, lamun berkontribusi menyimpan karbon hingga 90 persen dari yang ditangkap ke sedimen—merujuk pada laporan Carboncredit pada 2023. Lamun pun mampu menangkap karbon 40 kali lebih cepat daripada hutan tropis. “Ekosistem ini juga dapat berfungsi mengurangi kecepatan arus laut,” ucapnya.
Selain lamun, makroalga diketahui hidup di area sedimen. Senyawa yang dikenal sebagai rumput laut ini mampu melakukan fiksasi hingga 50 persen karbon. Adapun fitoplankton yang mati berkontribusi mengandung karbon dan terdeposit dalam sedimen. Lebih dari itu, sedimen pesisir yang tak bervegetasi turut menyumbang 16,6 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) per tahun.
Beragam habitat yang dicontohkan Yonvitner tersebut merupakan bagian dari sedimen yang menjadi habitat strategis lingkungan dan ekosistem. Kekayaan ini semestinya menjadi alat daya tawar bagi pemerintah untuk membangun diplomasi di tingkat internasional dalam komitmen menjaga iklim. Karena itu, pemerintah berkewajiban mencegah kerusakan ekosistem laut akibat pertambangan.
Daniel Murdiyarso, peneliti senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Pusat Penelitian Agroforestri Dunia (CIFOR-ICRAF), mengatakan dampak langsung penambangan sedimen bergantung lokasi ekstraksi sedimen. Namun ada dampak tidak langsung berupa perubahan arus dan gelombang yang mempengaruhi keberadaan ekosistem karbon biru, terutama dalam kaitan dengan karbon yang diendapkan dari lokasi lain (allochthonous carbon), seperti dari daratan.
Menurut Daniel, yang juga menjabat Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, meski Indonesia belum memiliki data luas dan tren perubahan padang lamun akibat kegiatan manusia baik yang legal maupun ilegal, diperkirakan cadangan karbon padang lamun Indonesia sekitar 300 juta ton CO2e. "Kontribusinya relatif kecil (10 persen) dibanding mangrove," ujarnya. "Lamun lebih sulit direstorasi ketimbang mangrove. Karena itu, konservasi lamun yang ada menjadi sangat penting dan perlu diprioritaskan."
Penelitian Andhika Younastya dari Yayasan Auriga Nusantara mendapati kerusakan padang lamun dan terumbu karang yang diduga terjadi akibat aktivitas pertambangan, di antaranya smelter nikel. “Misalnya kami menemukan pola-pola kerusakan padang lamun dan terumbu karang hampir pasti terjadi di area sekitar proyek strategis nasional smelter nikel,” kata Andhika.
Riset Andhika menemukan 5.842 hektare padang lamun dan terumbu karang yang berada dalam radius 1 kilometer dari bibir pantai menjorok ke laut di sekitar smelter. Jumlah tersebut terdiri atas 2.466 hektare padang lamun dan 2.677 hektare terumbu karang. Menurut temuan Andhika, sedikitnya 386 hektare karang dan lamun rusak. Parahnya, sebagian wilayah itu telah menjelma menjadi area reklamasi.
Andhika mencontohkan, di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, ditemukan smelter yang menyebabkan kerusakan karang dan lamun hingga 69 hektare. Bahkan di Sulawesi Tenggara didapati smelter yang telah menghilangkan 143 hektare karang dan lamun.
Metode penelitian Andhika berbasis tumpang susun atas data smelter di pesisir pantai Indonesia dengan data Allen Coral Atlas. Analisis Andhika hanya berfokus pada smelter karena industri tersebut yang paling memicu kerusakan ekosistem karang dan lamun. Allen Coral Atlas memiliki tampilan peta terumbu karang beserta beragam biotanya di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Rusaknya lamun dan terumbu karang turut merembet ke kehidupan warga Desa Ganda-Ganda, Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Di sana, mayoritas warga yang bekerja sebagai nelayan harus kehilangan mata pencarian karena habitat ikan telah musnah. “Laut yang semula berwarna biru kini berubah menjadi merah akibat tailing smelter nikel,” ucap Wandi, staf Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sulawesi Tengah.
Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Yusuf tak memungkiri kabar bahwa pemerintah masih memetakan padang lamun dan terumbu karang sebagai potensi area tangkapan karbon biru. “Kami sedang menyusun peta jalan blue carbon untuk lamun,” tuturnya.
Pramaditya Wicaksono, guru besar di Departemen Sains Informasi Geografi Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, membenarkan informasi Yusuf tentang proyek pemetaan lamun nasional. Proyek ini merupakan kolaborasi antara UGM sebagai koordinator dan KKP, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Badan Informasi Geospasial, serta Universitas Hasanuddin, Makassar. "Tujuan pemetaan lamun nasional ini membantu KKP sebagai wali data lamun yang baru dalam memasukkan lamun sebagai salah satu karbon biru yang hendak dilaporkan ke Second NDC."
Menurut Pramaditya, tim telah menyelesaikan penyusunan standar untuk pemetaan lamun nasional. Diharapkan versi pertama peta yang dibuat secara standar itu ada pada akhir tahun ini. "Saat ini kami sedang melakukan survei lapangan. Ada tujuh lokasi survei, yakni Banyak (Aceh), Kangean (Jawa Timur), Bontang (Kalimantan Timur), Kwandang (Gorontalo), Banggai Kepulauan (Sulawesi Tengah), Osi (Maluku), dan Belitung (Kepulauan Bangka Belitung)," ujarnya. Selain mencakup data hasil survei, dia menambahkan, peta tersebut akan dikombinasikan dengan data dari berbagai institusi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dody Hidayat berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pertambangan Biang Kerusakan Lamun"