LUKISAN mestinya tumbuh menurut kodrat alam. Seperti pohon yang
tumbuh dengan wajar." Nashar, bukan guru kebatinan tapi pelukis,
mengatakannya pada hari pertama pembukaan pameran tunggalnya
yang kesekian kali, 2-8 Juni di Balai Budaya, Jakarta.
Ada 30 lukisan bertahun 1980-an. Dan "kodrat alam" itu rupanya
garis yang meliuk-liuk bebas, warna yang seperti tak beraturan
saling berdampingan atau bertumpukan. Ada kesan ketakteraturan,
tapi, entah karena kekuatan apa, terasa wajar. Mungkin karena
tak terganggunya karya Nashar oleh berbagai hiasan atau efek
teknik yang disengaja. Boleh dikata garis dan warnanya lahir apa
adanya.
Kualitas karya seperti itu dicapai Nashar lewat jalan cukup
panjang. Orang kelahiran Pariaman, Sumatera Barat ini berangkat
melukis hampir 40 tahun lalu. Dan baru mencapai tingkat seperti
yang kini dipamerkan itu pada medio 1970-an, waktu ia "menemukan
seni lukis nonfiguratif". Penemuan itu bukan karena satu
perkembangan yang teknis sifatnya, tapi lebih didasari oleh
sikap hidup. Ceritanya, suatu hari, sekitar 1973, Nashar mulai
merasakan kebebasannya berkurang -- karena merasa terikat pada
figur. Jalan keluar ditemukannya sewaktu pelukis ini membantu
Putu Wijaya mementaskan drama Lho, 1975. Drama Putu yang boleh
dikata minim dialog itu, hanya ada gerak dan bunyi-bunyian,
membuat Nashar berpikir: mengapa tak mungkin membuat lukisan
tanpa obyek. Jalan pun ditempuh. Dan akhirnya memang Nashar
muncul sebagai pelukis nonfiguratif, sejak 1976.
Bagi seorang pelukis yang tidak berangkat dari teknik membentuk,
perkembangan visual karyanya memang tak terlihat jelas. Tiga
puluh lukisan Nashar tahun-tahun 1980-an ini, misalnya, dari
segi perbentukan seperti tak ada bedanya dengan karya-karyanya
pada pamerannya tiga tahun lalu. Hanya samar-samar terasa
sesuatu yang lain. Dari omong-omong dengan pelukis anggota
Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta ini, ternyata memang
bisa didapat sesuatu yang berubah dalam dirinya.
"Dulu, tahun-tahun 1976, 1977, kadang saya gagal menyelesaikan
sebuah lukisan," tuturnya. "Kini hal itu tak lagi terjadi."
Sekarang bila ia menghadapi kanvas dan kemudian mencoretkan
garis dan menyapukan warna, dijamin pasti lahir sebuah karya.
Mengapa? "Dulu kadang muncul rasa ragu di tengah melukis."
Nashar, 55 tahun, seakan mengalami satu peningkatan hidup
spiritualnya. Ia makin yakin bahwa seni dan hidup berjalan
paralel. "Seni itu pernyataan hidup," katanya. "Maka kalau
menghendaki pernyataan dalam karya seni kita positif, hidup kita
sendiri harus positif." Yang dimaksud Nashar, nilai karya
sedikit banyak ditentukan sikap hidup. Dan sikap hidup kurang
lebih ditentukan kualitas perenungan tentang hakikat segala yang
dialami.
Tapi yang kemudian bisa menyulitkan banyak orang ialah bila
berhadapan dengan luhsan Nashar sendiri. Di manakah itu
"pernyataan hidup"? Pada garis-garis lengganglenggok,
warna-warna oker bertumpuk biru dilatarbelakangi warna kuning?
Nashar sendiri terus terang tak mampu menunjukkannya. Tapi dia
percaya, ada getaran dari perpaduan wrna dan garis yang bisa
pula menggetarkan hati, menumbuhkan suatu imajinasi.
Mungkin, dengan mengikuti proses melukis Nashar bisa lebih
dipahami sikap hidup dan sikap kesenian pelukis yang tinggal di
Balai Budaya ini. "Yang penting sebelum melukis ialah merasakan
bidang kanvas yang saya hadapi," katanya. Dan kalau sudah
terjadi "kontak", mulailah bergerak. "Saya mulai mencoretkan
garis, atau apa saja, pokoknya mengisi kanvas kosong," lanjut
pelukis yang kumpulan catatan hariannya diterbitkan dengan judul
Surat-surat malam (1976) itu. "Maka suasana yang saya tangkap
dari kanvas pun berubah." Dari perubahan suasana itulah Nashar
bergerak lagi, mencoret lagi, menyapukan kanvas lagi. Dari
suasana ke suasana, hingga ia merasa tak lagi butuh menambah apa
pun. Lukisan selesai. "Seperti makan, bila kenyang berhenti.
Melukis pun bila sudah kenyang otomatis berhenti."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini