Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Nashar, Dari Suasana Ke Suasana

Mengadakan pameran tunggal di balai budaya, Jakarta. hampir 40 tahun bergulat dalam dunia seni rupa muncul sebagai pelukis nonfiguratif sejak 1976. (sr)

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUKISAN mestinya tumbuh menurut kodrat alam. Seperti pohon yang tumbuh dengan wajar." Nashar, bukan guru kebatinan tapi pelukis, mengatakannya pada hari pertama pembukaan pameran tunggalnya yang kesekian kali, 2-8 Juni di Balai Budaya, Jakarta. Ada 30 lukisan bertahun 1980-an. Dan "kodrat alam" itu rupanya garis yang meliuk-liuk bebas, warna yang seperti tak beraturan saling berdampingan atau bertumpukan. Ada kesan ketakteraturan, tapi, entah karena kekuatan apa, terasa wajar. Mungkin karena tak terganggunya karya Nashar oleh berbagai hiasan atau efek teknik yang disengaja. Boleh dikata garis dan warnanya lahir apa adanya. Kualitas karya seperti itu dicapai Nashar lewat jalan cukup panjang. Orang kelahiran Pariaman, Sumatera Barat ini berangkat melukis hampir 40 tahun lalu. Dan baru mencapai tingkat seperti yang kini dipamerkan itu pada medio 1970-an, waktu ia "menemukan seni lukis nonfiguratif". Penemuan itu bukan karena satu perkembangan yang teknis sifatnya, tapi lebih didasari oleh sikap hidup. Ceritanya, suatu hari, sekitar 1973, Nashar mulai merasakan kebebasannya berkurang -- karena merasa terikat pada figur. Jalan keluar ditemukannya sewaktu pelukis ini membantu Putu Wijaya mementaskan drama Lho, 1975. Drama Putu yang boleh dikata minim dialog itu, hanya ada gerak dan bunyi-bunyian, membuat Nashar berpikir: mengapa tak mungkin membuat lukisan tanpa obyek. Jalan pun ditempuh. Dan akhirnya memang Nashar muncul sebagai pelukis nonfiguratif, sejak 1976. Bagi seorang pelukis yang tidak berangkat dari teknik membentuk, perkembangan visual karyanya memang tak terlihat jelas. Tiga puluh lukisan Nashar tahun-tahun 1980-an ini, misalnya, dari segi perbentukan seperti tak ada bedanya dengan karya-karyanya pada pamerannya tiga tahun lalu. Hanya samar-samar terasa sesuatu yang lain. Dari omong-omong dengan pelukis anggota Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta ini, ternyata memang bisa didapat sesuatu yang berubah dalam dirinya. "Dulu, tahun-tahun 1976, 1977, kadang saya gagal menyelesaikan sebuah lukisan," tuturnya. "Kini hal itu tak lagi terjadi." Sekarang bila ia menghadapi kanvas dan kemudian mencoretkan garis dan menyapukan warna, dijamin pasti lahir sebuah karya. Mengapa? "Dulu kadang muncul rasa ragu di tengah melukis." Nashar, 55 tahun, seakan mengalami satu peningkatan hidup spiritualnya. Ia makin yakin bahwa seni dan hidup berjalan paralel. "Seni itu pernyataan hidup," katanya. "Maka kalau menghendaki pernyataan dalam karya seni kita positif, hidup kita sendiri harus positif." Yang dimaksud Nashar, nilai karya sedikit banyak ditentukan sikap hidup. Dan sikap hidup kurang lebih ditentukan kualitas perenungan tentang hakikat segala yang dialami. Tapi yang kemudian bisa menyulitkan banyak orang ialah bila berhadapan dengan luhsan Nashar sendiri. Di manakah itu "pernyataan hidup"? Pada garis-garis lengganglenggok, warna-warna oker bertumpuk biru dilatarbelakangi warna kuning? Nashar sendiri terus terang tak mampu menunjukkannya. Tapi dia percaya, ada getaran dari perpaduan wrna dan garis yang bisa pula menggetarkan hati, menumbuhkan suatu imajinasi. Mungkin, dengan mengikuti proses melukis Nashar bisa lebih dipahami sikap hidup dan sikap kesenian pelukis yang tinggal di Balai Budaya ini. "Yang penting sebelum melukis ialah merasakan bidang kanvas yang saya hadapi," katanya. Dan kalau sudah terjadi "kontak", mulailah bergerak. "Saya mulai mencoretkan garis, atau apa saja, pokoknya mengisi kanvas kosong," lanjut pelukis yang kumpulan catatan hariannya diterbitkan dengan judul Surat-surat malam (1976) itu. "Maka suasana yang saya tangkap dari kanvas pun berubah." Dari perubahan suasana itulah Nashar bergerak lagi, mencoret lagi, menyapukan kanvas lagi. Dari suasana ke suasana, hingga ia merasa tak lagi butuh menambah apa pun. Lukisan selesai. "Seperti makan, bila kenyang berhenti. Melukis pun bila sudah kenyang otomatis berhenti."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus