Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Untuk Apa Pemerintah Buru-buru Membangun PLTN

Pemerintah dinilai terburu-buru membangun PLTN pertama. Sepenuhnya impor, dari teknologi, tenaga ahli, hingga bahan bakar.

15 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Beberapa perusahaan nuklir asing menemui Dewan Energi Nasional untuk menjajaki pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir.

  • Pembiayaan PLTN tidak akan mengandalkan APBN tapi mengoptimalkan kerja sama dengan pihak swasta dari negara lain.

  • Mereka yang akan membangun PLTN masih belum jelas, padahal waktu yang tersisa hanya sembilan tahun.

DALAM kepadatan acara Anugerah Dewan Energi Nasional 2024 di Jakarta Convention Center, Agus Puji Prasetyono meluangkan waktu untuk bertemu dengan Kepala Perwakilan China National Nuclear Corporation Overseas Ltd (CNOS) untuk Indonesia, Su Bin. Menurut anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari unsur pemangku kepentingan akademikus itu, Su Bin sengaja menempuh penerbangan sejauh 5.200 kilometer untuk menemuinya. Tujuannya adalah menjajaki kerja sama pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pertama di Tanah Air.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Agus, CNOS—anak usaha China National Nuclear Corporation (CNNC)—sama seperti korporasi lain yang menyambangi DEN sebelumnya. Di antaranya Électricité de France atau EDF, Korea Hydro & Nuclear Power atau KHNP, Thorcon International dari Amerika Serikat, Toshiba Corporation dari Jepang, dan Rosatom State Nuclear Energy Corporation dari Rusia. “Pilihannya ke mana, tentu yang paling menguntungkan bagi Indonesia,” kata Agus pada Rabu, 11 Desember 2024. “Yang penting PLTN sudah harus beroperasi komersial pada 2032.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agus menambahkan, ia mempersilakan utusan CNOS itu memaparkan bisnis intinya. Rektor Universitas Oesman Sapta Odang, Pontianak, Kalimantan Barat, itu juga menganjurkan perusahaan pelat merah Cina tersebut menyusun proposal ringkas yang memuat spesifikasi reaktor nuklir hingga detail mekanisme pembangunannya. Termasuk opsi skema pembiayaan dan kemungkinan transfer teknologi kepada Indonesia.

Mengenai pembiayaan PLTN, Agus menambahkan, pemerintah tidak akan mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan demikian, pemerintah bakal mengoptimalkan kerja sama dengan pihak swasta dari negara lain melalui skema build-own-transfer (BOT) atau build-own-operate-transfer (BOOT). Cara ini ditempuh agar di masa mendatang Indonesia dapat membangun pembangkit nuklir secara mandiri dan bertahap.

Agus menambahkan, perusahaan-perusahaan swasta asing itu menyatakan tertarik pada skema tersebut dan bermaksud menanamkan investasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan itu telah dan sedang merancang-bangun reaktor nuklir kecil dan modular atau small modular reactor (SMR) yang memiliki daya 300 megawatt atau kurang. SMR digolongkan dalam teknologi reaktor generasi IV.

CNNC, misalnya, tengah melakukan konstruksi reaktor nuklir ACP100 yang berkapasitas 100 megawatt di Provinsi Hainan, Cina. Sedangkan anak usaha Rosatom, JSC Afrikantov OKBM, telah menjual reaktor nuklir terapung RITM-200M berdaya 50 megawatt. Sementara itu, reaktor i-SMR dari KHNP Korea Selatan, reaktor Nuward dari EDF Prancis, reaktor ThorCon dari Thorcon International Amerika Serikat, dan reaktor mini dari Toshiba Jepang masih dalam tahap desain.

Hashim Sumitro Djojohadikusumo dalam konferensi perubahan iklim PBB COP29 di Baku, Azerbaijan, 12 November 2024. Reuters/Maxim Shemetov

Sumber Tempo di DEN, yang merupakan orang di lingkaran dalam Presiden Prabowo Subianto, bercerita, Hashim Djojohadikusumo memimpin proses pemilihan swasta asing yang akan ditunjuk membangun PLTN di Indonesia. Dia menjelaskan, Hashim cenderung sreg dengan perusahaan dari Cina dan Rusia. “Alasannya, negara-negara itu bersedia menggelontorkan uang besar untuk investasi PLTN di sini,” ucapnya ketika dihubungi pada Senin, 9 Desember 2024.

Saat menjadi ketua delegasi di Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-29 (COP29) di Azerbaijan, 11-23 November 2024, Hashim mengungkapkan tekad pemerintah membangun PLTN dengan daya 5 gigawatt (GW). PLTN itu bagian dari rencana penambahan pembangkit berkapasitas 102 gigawatt sampai 15 tahun mendatang. Selain itu, dibangun pembangkit tenaga air 25 GW, geotermal 7 GW, bioenergi 1 GW, surya 27 GW, dan bayu 15 GW, serta pembangkit berbasis gas 22 GW.

Agus menerangkan, pernyataan Hashim tentang niat pemerintah membangun PLTN itu bisa dianggap sebagai sikap negara atau national position. Dalam hal ini, kedudukan Hashim adalah Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Lingkungan. Dari 19 kesiapan infrastruktur yang disyaratkan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), ada tiga yang belum Indonesia penuhi, yakni sikap negara, pelibatan pemangku kepentingan, dan adanya organisasi pelaksana program tenaga nuklir (NEPIO).

Sikap negara, Agus melanjutkan, sebenarnya juga bisa dilihat dari pemerintah yang mulai merombak pelbagai regulasi yang mendefinisikan nuklir sebagai pilihan energi terakhir. “Maka kita harus memperbarui Kebijakan Energi Nasional (KEN),” tuturnya. Selain itu, nuklir dimasukkan ke aksi mitigasi perubahan iklim untuk memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca dalam Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional Kedua (Second NDC).

Ihwal reaktor kecil dan modular, Agus mengimbuhkan, sebetulnya itu bukan satu-satunya opsi, melainkan jalan pintas untuk mempercepat target operasi komersial pertama sebesar 250 megawatt pada 2032. Adapun reaktor nuklir orde besar 1 GW sudah tersedia di pasar. Bahkan negara seperti Turki, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Bangladesh sudah membangun PLTN tipe ini. Lagi-lagi pemain utama dalam pengembangan PLTN 1 GW adalah Rusia, Korea Selatan, dan Cina. 

Rusia sudah mengekspor banyak reaktor, seperti ke Belarus, Turki, Bangladesh, Mesir, dan bahkan Cina. Adapun Korea Selatan terlibat dalam pembangunan empat unit PLTN di Uni Emirat Arab dan Republik Cek. “Sedangkan CNNC mengekspor enam reaktor generasi II, CNP-300, ke Pakistan sejak 2000, selain membangun beberapa unit di dalam negeri,” ucap Kepala Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Topan Setiadipura.

Topan menilai, untuk membangun PLTN sebesar itu, opsi yang tersedia bagi Indonesia adalah membeli reaktor yang sudah terbukti. Impor, dia menambahkan, bukan hal tabu. Korea Selatan pun memulai pengembangan PLTN dengan lebih dulu mengimpor reaktor besar. “PLTN besar ini waktu penyiapannya 8-10 tahun,” ujar Topan saat ditemui di kantornya di Kawasan Sains Terpadu BJ Habibie di Serpong, Banten, Kamis, 15 Agustus 2024.

Mengapa nuklir dibutuhkan? Dalam kalkulasi DEN, Agus menambahkan, pada 2045, total kapasitas listrik maksimal yang tersedia sebesar 1.590 terawatt-jam (TWh). Padahal kebutuhan listrik saat itu 1.700 TWh sehingga kurang 110 TWh. “Harus ada pembangkit energi baru yang menghasilkan listrik 150 TWh dengan kapasitas 18 gigawatt. Energi baru itu tak lain adalah nuklir,” tutur Agus. 

Menurut peta jalan PLTN di dalam draf Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2024-2040 yang belum ditandatangani Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, pada 2040 kapasitas PLTN sebesar 7 GW dan berlipat menjadi 15 GW pada 2045, 22 GW pada 2050, 27 GW pada 2055, dan 35 GW pada 2060. Angka itu lebih tinggi dari yang dicanangkan Hashim Djojohadikusumo sebesar 5 GW. “Saya tak tahu persis alasannya. Tapi, kalau pemakaian langsung untuk smelter nikel dan bauksit, kebutuhannya memang segitu,” kata Agus.

Tempo berupaya meminta konfirmasi kepada Hashim melalui Vice President Corporate Communications Arsari Group Ariseno Ridhwan. Arsari Group merupakan perusahaan induk bisnis milik Hashim yang berdiri pada 2013. Sejak Selasa, 10 Desember 2024, Ariseno hanya membaca pesan yang dikirimkan ke akun WhatsApp miliknya, tapi tidak memberikan respons.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi juga belum bersedia berbicara soal rencana pembangunan PLTN karena belum mendapatkan izin Menteri Bahlil. Sebelumnya, pada 12 Agustus 2024, Eniya mengatakan kepada Tempo bahwa waktu yang tersisa untuk membangun PLTN hanya sembilan tahun bila ingin sesuai dengan target pengoperasiannya pada 2033. “Harus dipersiapkan dari sekarang.”

Senada dengan Eniya, Kepala Organisasi Riset Tenaga Nuklir BRIN Syaiful Bakhri mengatakan persiapan pembangunan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Syaiful berkaca pada pengalaman CNNC yang baru memulai tahap konstruksi reaktor ACP100 berkapasitas 125 megawatt di Hainan. “Tahapannya sudah sejak 2016 setelah lolos evaluasi IAEA. Perancangan desainnya sudah dilakukan lebih lama lagi,” ucapnya di kantornya di Gedung 720, Kawasan Sains Terpadu BJ Habibie, Selasa, 10 Desember 2024.

BRIN, Syaiful menerangkan, sejak 2015 menggeluti riset reaktor nuklir SMR dengan menjalin kerja sama dengan berbagai institusi, seperti Institut Teknologi Bandung dan PT PLN Nusantara Power. Reaktor itu diberi nama PeLUIt-40, kependekan dari Pembangkit Listrik dan Uap panas Industri, dengan daya 40 megawatt termal. PeLUIt-40 dikembangkan dari Reaktor Daya Eksperimental Merah Putih oleh para peneliti Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). 

PeLUIt-40 sudah mendapatkan pengakuan dari IAEA dengan masuk “Small Modular Reactors Catalogue”. Tidak semua desain reaktor bisa masuk suplemen dwitahunan yang terbit sejak 2012 itu. Dari hampir seratus desain reaktor yang sedang dikembangkan oleh anggota IAEA, hanya 83 yang masuk katalog tahun ini. PeLUIt-40 termasuk reaktor modular mikro—turunan SMR—karena menghasilkan daya 10 megawatt. 

Menurut Syaiful, yang tak kalah penting bagi Indonesia adalah penyiapan sumber daya manusia periset bidang nuklir. Dia menjelaskan, BRIN hanya memiliki 40 peneliti bidang bahan bakar nuklir dan 37 di antaranya belum bergelar doktor. “Bandingkan dengan di Cina, untuk mengurusi bahan bakar saja ada 200 peneliti, yang semuanya doktor.”

Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir Sugeng Sumbarjo menyebutkan sejatinya jumlah peneliti nuklir di BRIN sudah lebih dari seribu orang. Mereka tersebar di tiga reaktor riset, yakni Reaktor Kartini di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta; Reaktor Triga Mark II di Bandung, Jawa Barat; dan Reaktor Serbaguna G.A. Siwabessy di Serpong. “Tapi 50 persen yang pergi ke luar negeri. Ya, kalau enggak dikasih 'mainan' bagus, pasti peneliti kabur,” ujar Sugeng.

Reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir di Paks, Hungaria, 21 Maret 2011. Reuters/Laszlo Balogh

Sugeng menambahkan, dia tak ragu akan kompetensi peneliti lokal yang ia sebut bakal mampu menjalankan PLTN. Pertimbangannya adalah pengalaman panjang mengelola tiga unit reaktor riset sejak berada di bawah Batan yang kemudian dilebur ke dalam BRIN. “Pengelolaan reaktor riset lebih rumit dan berisiko pada keamanan karena terus-menerus melakukan uji coba. Berbeda dengan PLTN yang sekali dibangun, tata kelolanya tidak akan berubah-ubah.”

Lain halnya dengan Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Teknologi Daur Bahan Bakar Nuklir dan Limbah Radioaktif Djarot S. Wisnubroto yang menyebutkan terjadi kemunduran riset ketenaganukliran sejak Batan dilebur ke dalam BRIN pada 2021. Dia memaparkan, persiapan pembangunan PLTN yang semula ditangani Batan kemudian diabaikan BRIN. “Dulu penyiapan sumber daya manusia nuklir dilakukan Batan. Sekarang tidak ada,” kata Djarot, yang menjabat Kepala Batan 2012-2018.

Koordinator Riset Kelompok Data dan Pemodelan Institute for Essential Services (IESR), Pintoko Aji, melihat rencana pembangunan PLTN sebesar 5 gigawatt pada 2040 sebagai kebijakan yang memaksakan diri. Hal ini lantaran Indonesia berupaya mengurangi belanja dalam jangka pendek atau list cost optimization. “Nuklir itu tidak akan masuk karena biayanya yang masih sangat besar dibandingkan dengan pembangkit lain,” ucap Pintoko. 

Analisis itu didapat Pintoko ketika IESR melakukan pemodelan berbasis daya listrik ataupun energi. Dalam analisis tersebut juga ditemukan bahwa Indonesia dimungkinkan bukan sebagai inovator nuklir, tapi hanya melakukan adopsi. Jadi semestinya Indonesia tidak terburu-buru mengadopsi sembari menunggu penurunan rata-rata biaya produksi.

Pintoko juga mempertanyakan sikap pemerintah yang menggembar-gemborkan pembangunan pembangkit nuklir dengan dalih dapat memicu pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. Dia menjelaskan, pembangunan PLTN tak memiliki dampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Sebab, PLTN yang dicanangkan sepenuhnya diimpor, dari teknologi, tenaga ahli, hingga bahan bakarnya. 

Pintoko turut mengkritik wacana kerja sama melalui skema BOT atau BOOT yang akan diberlakukan pemerintah. Dia mengungkapkan, PLTN tidak memungkinkan penggunaan skema struktur finansial seperti halnya pembangunan pembangkit jenis lain, seperti pembangkit listrik tenaga surya atau pembangkit listrik tenaga bayu. Pertimbangannya adalah PLTN memiliki risiko yang jauh lebih besar sehingga proyek tak akan berjalan tanpa jaminan dari negara.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terburu-buru Pembangkit Energi Baru"

Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus