Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kurs rupiah merosot hingga melampaui batas psikologis 16 ribu per dolar Amerika Serikat.
Industri manufaktur terancam jika perang dagang Amerika vs Cina meletus.
Beban pengusaha kian berat setelah pemerintah menaikkan upah minimum.
NASIB Indonesia mendekati kata pepatah pelanduk mati di tengah dua gajah yang berkelahi. Perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan Cina, belum juga dimulai, tapi dampaknya sudah terasa. Pasar finansial global bergejolak dan Indonesia terkena imbasnya. Satu indikatornya, akhir pekan lalu, kurs rupiah terhadap dolar Amerika merosot melampaui batas psikologis 16 ribu per dolar Amerika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemicu gejolak pasar ini adalah keputusan Beijing menyiapkan lini pertahanan sebelum Donald Trump, yang akan dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 2025, menaikkan tarif impor barang dari Cina hingga 60 persen. Antisipasi pemerintah Cina lantas mengguncang pasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang paling serius adalah informasi bahwa Beijing tak akan segan mendevaluasi renminbi untuk meredam efek kenaikan tarif impor ke Amerika Serikat. Jika nilai renminbi terhadap dolar Amerika jatuh, otomatis harga barang asal Cina yang masuk ke pasar Amerika menjadi lebih murah. Penurunan nilai renminbi mengkompensasi, atau setidaknya mengurangi, dampak kenaikan tarif impor yang bakal diterapkan Trump.
Sebetulnya pemerintah Cina pasti akan lebih berhati-hati sebelum menerapkan devaluasi renminbi. Benar bahwa devaluasi akan mengurangi dampak kenaikan tarif impor oleh Amerika Serikat. Tapi devaluasi juga membawa konsekuensi serius. Cina memiliki pengalaman buruk saat mengambil opsi ini sewaktu berlangsung perang dagang melawan Trump episode pertama pada 2018-2020.
Pada Agustus 2019, People's Bank of China atau bank sentral Cina melakukan devaluasi hingga nilai renminbi merosot melampaui batas psikologis saat itu yang mencapai RMB 7 per dolar Amerika Serikat. Secara keseluruhan, nilai renminbi anjlok 10 persen terhadap dolar Amerika selama periode itu. Namun efek sampingnya sangat serius. Merosotnya nilai renminbi memicu pelarian investasi portofolio asing dari Cina. Devaluasi juga membuat perang dagang makin sengit. Di antaranya ketika pemerintah Amerika menyematkan status manipulator mata uang pada Cina.
Meski sekarang devaluasi masih berupa opsi, pasar sudah bereaksi. Pekan lalu, nilai renminbi sudah mulai tertekan dan rupiah pun ikut luruh. Rupiah dan beberapa mata uang negara pengekspor komoditas, seperti dolar Australia, memang bergerak relatif seirama dengan pergerakan renminbi.
Ini baru permulaan. Jika perang dagang Amerika Serikat dengan Cina benar-benar meletus, dampaknya tak akan terbatas pada merosotnya nilai rupiah. Yang juga berisiko terpukul adalah industri manufaktur dalam negeri. Barang murah dari Cina akan membanjir. Pabrik lokal akan makin sulit bersaing melawan barang Cina di pasar ekspor ataupun domestik dan pemutusan hubungan kerja bisa meluas.
Industri berorientasi ekspor yang bergantung pada eksploitasi sumber daya alam tak akan luput dari efek negatif. Harga berbagai komoditas ekspor andalan Indonesia, seperti nikel atau batu bara, berisiko merosot karena turunnya jumlah permintaan dari Cina. Surplus perdagangan Indonesia yang 54 bulan terakhir menjadi salah satu mesin utama pertumbuhan ekonomi juga terancam. Jika angka permintaan komoditas turun dan harganya merosot, pada suatu titik surplus itu akan berubah menjadi defisit.
Inilah ancaman serius bagi ekonomi Indonesia pada 2025. Sebab, pada saat yang sama pemerintah malah melakukan kebijakan fiskal yang kontraktif dengan cara menyedot uang lebih besar dari masyarakat dengan menaikkan tarif dan meningkatkan pungutan pajak. Di mana-mana kini pengusaha mengeluh betapa perburuan pajak oleh pemerintah makin menekan usaha mereka.
Beban pengusaha juga kian berat karena pemerintah menaikkan upah minimum provinsi rata-rata 6,5 persen pada 2025. Sektor manufaktur, terutama yang bersifat padat karya, bakal memikul beban kian berat.
Celakanya, sejauh ini belum terlihat respons yang memadai dari pemerintah untuk memitigasi pergolakan ekonomi global. Presiden Prabowo Subianto seperti terpaku pada program makan bergizi gratis. Selebihnya, ekonomi Indonesia seolah-olah akan memasuki gejolak secara autopilot sampai badai benar-benar menerjang dan segala upaya penyelamatan sudah terlambat. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tak Sigap Merespons Perang Dagang"