Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Friederich Silaban seorang arsitek otodidak dengan pengalaman pendidikan akhir adalah STM (Sekolah Teknik Menengah). Walau pendidikannya hanya sampai STM, ketekunannya membuahkan kemenangan pada beberapa sayembara perancangan arsitektur yang diikutinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria kelahiran 16 Desember 1912 ini juga menjadi salah satu dari penandatangan Konsepsi Kebudayaan yang dimuat oleh Lentera dan lembaran kebudayaan harian Bintang Timur yang mendukung upaya pemerintah dalam memajukan kebudayaan nasional termasuk musik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari indonesiadesign.com, ia banyak membangun bangunan paling monumental dan ikonik di Indonesia seperti Masjid Istiqlal, Stadion Gelora Bung Karno, Monumen Nasional (Monas), Gedung BNI 1946, Kantor Pusat Bank Indonesia, dan beberapa monumen terkenal lainnya. Ia pun berperan penting dalam terbentuknya Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), sebuah asosiasi arsitek Indonesia.
Masjid Istiqlal, dan Gelora Bung Karno, serta Monas ini disayembara dengan dewan jurinya dari para arsitek dan ulama terkenal untuk Masjid Istiqlal. Melalui sayembara inilah Friederich Silaban menang dan namanya semakin dikenal. Bukan hanya itu, ia menjadi arsitek kepercayaan Sukarno pula.
Dilansir melalui jom.unri.ac.id, Friederich SIlaban berasal dari kelaurga petani, yang menempuh pendidikannya di Hollands Inlandsche School (HIS) di Narumonda, Tapanuli Utara, yang diperuntukkan bagi masyarakat pribumi terpandang. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke Koningin Wilhemina School (KWS). KWS ini merupakan sekolah teknik menengah yang ada di masa Hindia Belanda.
Setelah menamatkan sekolahnya dari KWS, ia bergabung sebagai juru gambar bangunan BOW di Kotapraja Batavia. Tidak lama setelah itu, ia terkena dampak resesi dunia yang mengakibatkan ekonomi melambat, akhirnya ia dikembalikan ke Bogor dan ditugaskan sebagai drafter di Kotapraja.
Kemudian pada 1942 ia menjadi kepala dinas pekerjaan umum Bogor, yang kemudian pada lima tahun setelahnya ia dikukuhkan menjadi Direktur Pekerjaan Umum. Kemudian pada tahun 1969 ia menduduki jabatan tertinggi di Dinas Pekerjaan Umum Kotapraja Bogor hingga pensiun.
Masjid Istiqlal ini memiliki banyak masalah dalam proses pembangunannya. Friederich Silaban sempat terus terang pada presiden mengenai hadiah yang disediakan melalui sayembara itu, namun ditanggapi Presiden Sukarno yang tidak melihat besar kecilnya hadiah yang disediakan.
Biarpun begitu, ia menjelaskan dengan berdasarkan standar internasional yang membuat hadiah pemenang pertama hingga ketiga dalam sayembara arsitektur setara dengan 0,5-1 persen dari biaya bangunan.