Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

PVMBG: Setelah Tsunami, Letusan Gunung Anak Krakatau Berubah

Perubahan tipe letusan Gunung Anak Krakatau itu salah satunya dipicu oleh robohnya material tubuh gunung api yang memicu tsunami.

25 Desember 2018 | 06.51 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kondisi Gunung Anak Krakatau lewat udara yang terus mengalami erupsi pada Ahad, 23 Desember 2018. Erupsi Gunung Anak Krakatau ini diduga menjadi sebab tsunami di wilayah Banten dan Lampung. TEMPO/Syafiul Hadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Bandung - Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Wawan Irawan, mengatakan tipe letusan Gunung Anak Krakatau kini sudah bukan lagi tipe letusan strombolian pasca robohnya dinding gunung api yang memicu tsunami Selat Sunda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Tipe letusannya sekarang sudah berbeda. Kalau dulu strombolian seperti air mancur. Kalau sekarang istilahnya (tipe letusan) Surtseyan,” kata dia saat dihubungi Tempo, Senin, 24 Desember 2018.

Karakter letusan Gunung Anak Krakatau sebelumnya disebut tipe strombolian, yakni erupsi magmatik berupa erupsi eksplosif lemah. “Kalau sekarang erupsinya sudah bercampur dengan air. Tidak lagi pure magmatik seperti strombolian. Letusan sekarang ada kontak antara air dengan magma,” kata Wawan.

Wawan mengatakan, perubahan tipe letusan itu salah satunya dipicu oleh robohnya material tubuh gunung api yang memicu tsunami. “Kejadian tsunami salah satunya akibat longsoran tubuh gunung api. Kalau ada tubuh gunung api yang longsor masuk ke laut, itu yang mendorong menjadikan tsunami,” kata dia.

Menurut Wawan, Gunung Anak Krakatau itu dibangun oleh aliran lava dan juga aliran piroklastik berupa material lepas. “Sebagian mungkin yang sifatnya lepas itu yang tidak stabil karena ada lava di atasnya yang meluncur,” kata dia.

Wawan mengatakan, PVMBG tengah mengevaluasi rekomendasi mitigasi bahaya Gunung Anak Krakatau setelah robohnya tubuh gunung api, dan berubahnya karakter tipe letusan gunung tersebut. “Tipe letusan sudah berbeda, jadi dasar evaluasi,” kata dia.

Kepala Subbidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur PVMBG, Devy K. Syahbana, mengatakan perubahan tipe letusan tersebut dapat dilihat dari rekaman video letusan Gunung Anak Krakatau yang beredar pasca kejadian tsunami Selat Sunda yang terjadi Sabtu, 22 Desember 2018.

“Kalau melihat videoanya itu terlihat seperti magma yang telah berinteraksi dengan air, letusannya menyebar kemana-mana, ke segala arah,” kata dia, Senin, 24 Desember 2018.

Devy mengatakan, posisi awal Gunung Anak Krakatau saat dindingnya belum roboh itu di ibaratkan punya satu pipa saluran yang mengalirkan magma ke permukaan. “Magma keluar dari situ, lubangnya kecil sehingga keluarnya strombolian, kecil-kecil. Tapi kemarin, terjadi longsoran tubuh gunung api. Tubuh gunung api yang tadinya seperti rumah dengan cerobong asap, sekarang rumahnay runtuh, asapnya bisa keluar kemana-mana,” kata dia.

Menurut Devy, rubuhnya dinding gunung api itu diduga membuat aliran magma tidak lagi terkonsentrasi di satu lubang. “Tubuh gunung sebagian collaps, jadi magma keluarnya itu bisa ke mana-mana tidak terkonsentrasi di satu lubang. Akhirnya magma berinteraksi dengan air,” kata dia.

Devy mengatakan, Gunung Anak Krakatau itu tumbuh di atas Gunung Krakatau yang tubuhnya hancur pasca letusan hebat 1883. Gunung Anak Krakatau baru terlihat muncul ke permukaan mulai tahun 1927, dan tumbuh selama lebih dari 90 tahun hingga saat ini. Gunung itu terlihat memiliki ketinggian 338 meter di atas permukaan laut.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus