Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

RUU Konservasi Mandek, Posisi Indonesia Lemah di KTT Biodiversity

Pembahasan Revisi Rancangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah berjalan dua tahun.

3 Desember 2018 | 11.20 WIB

Suasana Konvensi Keanekaragaman Hayati di Sharm El-Sheikh, Mesir. TEMPO/Shinta Maharani
Perbesar
Suasana Konvensi Keanekaragaman Hayati di Sharm El-Sheikh, Mesir. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Sharm el Sheikh - Pembahasan Revisi Rancangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang berjalan dua tahun tak kunjung selesai. Padahal aturan itu penting untuk melindungi sumber daya alam hayati atau sumber daya genetik Indonesia dari biopiracy yang merugikan. Biopiracy terjadi ketika peneliti atau organisasi penelitian mengambil sumber daya biologis tanpa izin dan sanksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tempo mendapatkan informasi RUU itu mandek karena ego sektoral antar-kementerian. Tapi, sejumlah kementerian membantahnya. "Enggak juga," kata Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indra Exploitasia, ketika dihubungi, Ahad, 2 Desember 2018.

Menurut Indra, pemerintah belum melanjutkan pembahasan RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya karena UU Nomor 5 tahun 1990 telah memiliki peran dan kinerja yang berarti untuk konservasi sumber daya alam hayati. Dalam draf RUU yang ada saat ini, kata Indra masih banyak pasal yang belum sesuai prinsip dan filosofi konservasi. Padahal sudah dibahas berkali-kali.

Prinsip konservasi itu harus mencakup perlindungan sistem penyangga kehidupan. Filosofi lainnya adalah pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Juga pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Andi Rusandi, mengatakan masih perlu harmonisasi untuk melanjutkan pembahasan RUU tersebut. Dia tidak menampik bila kerap terjadi tumpang tindih kewenangan antar-kementerian.

Contohnya ketika menangani persoalan di perairan atau akuatik. Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan punya tugas itu. "Kadang-kadang agak miskomunikasi di lapangan," kata dia.

Posisi Pemerintah Indonesia di Konferensi Keanekaragaman Hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Biodiversity Conference lemah karena tidak memiliki peraturan di level nasional ihwal pemanfaatan sumber daya genetik.

Penasehat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Efransjah, mengatakan aturan pemanfaatan sumber daya alam hayati mendesak. Isu ini menurut dia sama pentingnya dengan perubahan iklim sehingga perlu kesadaran kuat di tingkat politik nasional. "Biodiversitas Indonesia diambil. Indonesia nggak dapat apa-apa. Itu keterlaluan," kata Efransjah.

Konferensi yang berlangsung pada 13-29 November 2018 di Sharm El Sheikh, Mesir melibatkan 196 negara punya tujuan utama untuk konservasi, pemanfaatan sumber daya genetik, dan pembagian manfaat sumber daya genetik. Hingga konferensi berakhir, perdebatan keras terjadi pada bagian pembagian manfaat sumber daya genetik atau di forum itu dikenal dengan Acces and Benefit Sharing (ABS). Ada dua blok yang bertarung habis-habisan perihal pembagian manfaat. Tempo berkesempatan meliput konferensi tersebut atas dukungan Climate Tracker, jaringan global yang beranggotakan 10 ribu jurnalis peliput isu iklim.

Indonesia berada di kubu Like-Minded Megadiverse Countries atau LMMC, yakni kelompok negara-negara kaya keanekaragaman hayati. Selain Indonesia, beberapa di antaranya, yaitu Malaysia, Filipina, negara-negara kawasan Amerika Latin, dan negara-negara di Afrika.

Negara-negara kaya teknologi seperti Jepang, Korea Selatan, Swiss, dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa keberatan memberikan pembagian manfaat penggunaan sumber daya genetik. “Perjuangan Indonesia sangat berat bersama LMMC. Kami bertarung keras supaya dapat pembagian manfaat yang adil,” kata Kepala Sub Bagian Kerjasama dan Informasi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ruliyana Susanti kepada Tempo di sela konferensi.

Forum itu juga meminta negara-negara peserta konferensi memiliki kebijakan atau aturan nasional ihwal pemanfaatan sumber daya genetik. Sayangnya, Indonesia hingga saat ini belum punya payung hukum. Pembahasan Revisi Rancangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang berjalan dua tahun tak kunjung selesai.

Ada dua hal penting yang jadi bahasan pokok konferensi itu yang berlangsung alot. Negosiasi tentang Digital Sequence Information semua informasi hasil pengembangan bioteknologi paling panas hingga akhir konferensi.

DSI bicara pemanfaatan Deoxyribo Nucleic Acid atau DNA makhluk hidup, misalnya mikroba, virus, tanaman, binatang. Selain itu, penelitian biologi sintetis untuk menciptakan organisme hidup buatan di laboratorium juga memicu kontroversi.

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI, Enny Sudarmowati mengatakan Undang-Undang No 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak mencantumkan mikroorganisme sebagai bagian penting dari sumber daya genetik sehingga perlu revisi. Mikroorganisme sumber daya genetik rentan dibawa ke luar negeri untuk kepentingan industri tanpa sepengetahuan negara penyedia sumber daya genetik. “Mikroorganisme kasat mata sehingga sulit dideteksi,” kata Enny.

Dia mencontohkan orang bisa saja membawa spesimen di koper dan mikroorganisme melalui medium tanah pada sepatu. Lalu mikroorganisme itu digunakan untuk antibiotik dan pestisida yang bersifat komersial. Tapi, Indonesia tak mengetahui hal itu. Atas dasar itulah menurut Enny perlu aturan ihwal pemanfaatan sumber daya genetik.

Enny menyebut Indonesia kerap kecolongan sumber daya genetik melalui penelitian. Peneliti Indonesia ditawari menulis publikasi di jurnal Internasional. Peneliti itu

diminta mengirim flora dan fauna. Pada daun yang dia kirim terdapat mikroorganisme yang kemudain dimanfaatkan untuk produksi obat berupa antibiotik.

Contoh lainnya adalah sintetik biologi melalui pengembangan struktur molekuler pada kunyit. Orang tidak perlu datang ke Indonesia untuk mencari kunyit karena kunyit telah dibuat melalui sintetik biologi.

Simak artikel menarik lainnya seputar konservasi hanya di kanal Tekno Tempo.co.

Shinta Maharani

Lulus dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN Yogyakarta. Menjadi Koresponden Tempo untuk wilayah Yogyakarta sejak 2014. Meminati isu gender, keberagaman, kelompok minoritas, dan hak asasi manusia

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus