Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

Sains di Balik Kulit Hitam Orang Afrika: Hasil Riset Terbaru

Hasil riset terbaru mengungkap adanya varian genetik baru yang ternyata mempengaruhi warna kulit kelompok masyarakat di Afrika.

27 November 2017 | 18.44 WIB

Dua wanita berkulit hitam, berpose dengan mengenakan kostum tradisional Jepang, Kimono Yukata saat berlangsungnya Festival Matsuri Jepang 2017 di alun-alun Trafalgar, London, Inggris, 24 September 2017. REUTERS
Perbesar
Dua wanita berkulit hitam, berpose dengan mengenakan kostum tradisional Jepang, Kimono Yukata saat berlangsungnya Festival Matsuri Jepang 2017 di alun-alun Trafalgar, London, Inggris, 24 September 2017. REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Pennsylvania - Hasil riset terbaru mengungkap adanya varian genetik baru yang ternyata mempengaruhi warna kulit kelompok masyarakat di Afrika. Penelitian yang dipimpin ahli genetika Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, dipublikasikan di jurnal Science.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Kami telah mengidentifikasi varian genetik baru yang berkontribusi pada genetik dasar dari salah satu ciri paling mencolok pada manusia modern," kata ahli evolusi genetika, Sarah Tishkoff, dari University of Pennsylvania, yang menjadi pemimpin studi ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, ketika membicarakan warna kulit di Afrika, banyak orang berpikir tentang kulit yang lebih gelap. "Namun hasil penelitian kami menunjukkan bahwa di Afrika terdapat variasi dalam jumlah besar, dari kulit cerah seperti beberapa orang Asia sampai yang paling gelap," ujarnya.

Selain mengidentifikasi varian genetik yang mempengaruhi sifat-sifat tersebut, tim peneliti menyebutkan bahwa mutasi yang mempengaruhi kulit terjadi sejak lama, yakni sebelum manusia modern bermula. Tishkoff mengaku telah lama mempelajari genetika populasi Afrika. Caranya dengan melihat ciri-ciri seperti tinggi badan, toleransi laktosa, kepekaan rasa pahit, dan adaptasi ketinggian. Warna kulit muncul sebagai ciri adaptasi terhadap kehidupan di benua ini.

"Warna kulit adalah sifat variabel klasik pada manusia, dan ini dianggap adaptif," kata Tishkoff. Karena itu, analisis dasar genetik variasi warna kulit menyoroti bagaimana sifat adaptif tersebut berkembang.

Timnya, termasuk periset Afrika, menggunakan pengukur cahaya untuk mengetahui besarnya pantulan kulit pada 2.092 orang di Etiopia, Tanzania, dan Botswana. Hasilnya, kulit tergelap ditemukan pada populasi pastoralis Nilo-Sahara di Afrika bagian timur, seperti Mursi dan Surma. Sedangkan kulit paling ringan terdapat di San Afrika selatan. Adapun untuk kulit orang-orang Agaw di Etiopia ditemukan hasil yang lebih variatif.

Pada saat bersamaan, untuk penelitian genetik, para peneliti juga mengumpulkan sampel darah. Mereka mengurutkan lebih dari 4 juta polimorfisme nukleotida tunggal atau single nucleotide polymorphism (SNP)--salah satu bentuk variasi materi genetik di antara genom 1.570 orang Afrika. Mereka menemukan bahwa empat bidang utama genom SNP tertentu berkorelasi dengan warna kulit.

Kejutan pertama, SLC24A5, salah satu variasi gen yang terdapat di Eropa, juga umum terjadi di Afrika Timur. Di antaranya ditemukan sebanyak setengah anggota beberapa kelompok Etiopia. "Varian ini muncul 30 ribu tahun lalu dan mungkin dibawa ke Afrika Timur oleh orang-orang yang bermigrasi dari Timur Tengah," kata Tishkoff.

Tishkoff melanjutkan, meskipun banyak orang Afrika Timur memiliki gen ini, mereka tidak memiliki kulit putih. "Mungkin karena itu hanya satu dari beberapa gen yang membentuk warna kulitnya."

Tim juga menemukan varian dari dua gen tetangga, HERC2 dan OCA2, yang terkait dengan warna kulit ringan, mata, dan rambut di Eropa yang juga muncul di Afrika; varian ini kuno dan umum di masyarakat berkulit terang. Tim menduga varian ini muncul di Afrika sejak 1 juta tahun lalu kemudian menyebar ke Eropa dan Asia. "Banyak varian gen yang menyebabkan kulit ringan di Eropa berasal dari Afrika," ujar Tishkoff.

Namun penemuan yang paling dramatis adalah MFSD12. Dua mutasi yang menurunkan ekspresi gen ini ditemukan dalam frekuensi tinggi pada orang dengan kulit tergelap. Varian tersebut muncul sekitar setengah juta tahun lalu. Ini menunjukkan bahwa nenek moyang manusia sebelum waktu itu mungkin memiliki kulit yang agak gelap, bukan warna hitam tua yang diciptakan hari ini oleh mutasi tersebut.

Dua varian gen yang sama ini juga yang ditemukan di Melanesia, Aborigin Australia, dan beberapa orang India. Orang-orang tersebut mungkin mewarisi varian dari migran purba dari Afrika yang mengikuti "rute selatan", yakni dari Afrika Timur lalu sepanjang pantai selatan India ke Melanesia dan Australia.

Hasil ini agak berbeda dengan tiga studi genetik tahun lalu yang menyimpulkan bahwa orang Australia, Melanesia, dan orang-orang Eurasia semuanya berasal dari satu migrasi Afrika. Sebagai alternatif, migrasi besar ini mungkin termasuk orang-orang yang membawa varian kulit ringan dan gelap, tapi varian gelapnya kemudian hilang di bangsa Eurasia.

Untuk memahami bagaimana mutasi MFSD12 membuat kulit lebih gelap, para periset mengurangi ekspresi gen pada sel kultur, seperti aksi varian pada orang berkulit gelap. Sel-sel itu menghasilkan lebih banyak eumelanin, yakni pigmen yang berperan untuk kulit hitam dan cokelat, rambut, dan mata.

Mutasi juga bisa mengubah warna kulit dengan cara memblok pigmen kuning. Hal itu didapat ketika para peneliti menyingkirkan MFSD12 pada ikan zebra dan tikus. Hasilnya, pigmen merah dan kuning menghilang, dan mantel cokelat terang tikus itu berubah menjadi abu-abu. "Mekanisme baru untuk memproduksi pigmentasi sangat gelap ini benar-benar cerita besar," kata Nina Jablonski, seorang antropolog dari Pennsylvania State University di State College.

Tishkoff menegaskan bahwa penelitian tersebut menggarisbawahi keragaman populasi Afrika. Namun, di sisi lain, ini menjadi bukti betapa kurangnya dukungan untuk gagasan biologi tentang ras. "Banyak gen dan varian genetik baru yang kami identifikasi berhubungan dengan warna kulit, mungkin tidak pernah ditemukan di luar Afrika yang tidak begitu bervariasi," kata Tishkoff.

Simak hasil riset menarik lainnya hanya di kanal Tekno Tempo.co.

SCIENCE | SCIENCE DAILY | SCIENCE MAG

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus