Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP hari tak kurang dari 1.300 ton sampah bertumpuk di ujung-ujung jalan dan pojok-pojok gang Kota Surabaya. Dengan mengerahkan 105 truk dan 58 kontainer, dinas kebersihan membawa sampah-sampah itu ke tiga lokasi pembuangan. Namun, areal pembuangan seluas 66,5 hektar itu hari demi hari makin ciut dimangsa gunungan sampah. "Ini perlu dicari jalan keluar," kata Kepala Dinas Kebersihan Kodya Surabaya Eddy Indrayana. Jalan keluar untuk memangsa timbunan sampah itu memang telah ditemukan, yakni memakai incinerator (tungku bakar). Incinerator yang terletak dalam bangunan seluas 2.500 m2 di di sekitar areal pembuangan sampah Kelurahan Keputih itu diresmikan pemakaiannya oleh Menteri Dalam Negeri Rudini pekan lalu. Incinerator pertama di Indonesia ini berkapasitas 200 ton sehari. Kehadiran incinerator itu setidaknya bisa diharapkan menekan laju pemakaian lahan pembuangan sampah. Dengan kemampuan menghasilkan panas sampai 900 derajat Celsius, tungku besi ini sanggup membuat tumpukan sampah menjadi abu. Jika suhu tungku diatur tetap 500 derajat Celsius, rata-rata tinggal 16% material sampah yang tak terbakar. Bila suhunya dinaikkan sampai 750 derajat Celsius, hanya 6% yang tidak ikut menjadi abu. Manfaatnya tak hanya itu. Munculnya incinerator ini pun bisa mengurangi bau tak sedap dan lalat yang senantiasa muncul pada setiap timbunan sampah. Produk abunya pun konon bagus dipakai sebagai tanah urukan dan campuran bahan batu bata. Incinerator buatan Prancis itu punya enam buah tungku. Idealnya, yang dibakar di situ adalah sampah-sampah bahan organik yang kering, seperti kayu, kertas, dan daun-daun kering. Sebab, dengan material semacam itu incinerator bisa bekerja lebih cepat dan tak banyak mengkonsumsi minyak solar. Kelebihan lain tungku pembakar sampah di Sukolilo ini di antaranya bisa mengatur suhu dan keperluan minyak sendiri. Misalnya, suhu tungku ditetapkan 750 derajat Celsius dan sampah yang dibakar cukup kering, maka incinerator itu mengurangi penyemprotan solarnya berangsur-angsur bila suhu yang dikehendaki telah dicapai. Pada kondisi ini setiap tungku mampu membakar 1,6 ton sampah per jam dengan konsumsi solar 12 liter per ton sampah. Bila material yang dibakar basah, tungku akan terus menyemburkan minyak diesel untuk menjaga nyala api agar suhu tidak anjlok di bawah 750 derajat Celsius. Kemampuan setiap tungku incinerator membakar sampah basah musim hujan sekitar 1 ton per jam dan solar yang dibutuhkan 23 liter per ton. Komputer incinerator itu pintar pula menjaga hasil pembakaran dari setiap tungku. Apabila pembakaran kurang sempurna -- masih menghasilkan asap yang berjelaga -- komputer memerintahkan secara otomatis agar klep pada cerobong asap tertutup. Lantas semburan minyak dan tiupan udara otomatis akan membesar agar api lebih berkobar dan suhu perut tungku lebih panas lagi. Bila asapnya telah jernih, baru klep terbuka lagi. Diakui Eddy, sampah yang masuk ke incinerator itu tidak seluruhnya bisa diabukan, terutama sampah campuran bahan anorganik semacam plastik, logam, dan kaca, kendati tungku dioperasikan sepenuh tenaga. Plastik, kata Eddy, sebenarnya bisa dilumatkan kendati tidak hancur jadi karbon bebas. "Tapi logam dan kaca masih sulit dihancurkan," ia melanjutkan. Bahan organik, seperti batang dan kulit pisang, pun termasuk material yang sulit diabukan. Seyogyanya, Eddy menambahkan, plastik, kaleng, dan kaca dipisahkan sebelum masuk ke perut tungku. Namun, ikhtiar itu sulit dilakukan. Pemulung memang selalu datang memunguti benda-benda itu. Sayangnya, tak semua plastik, kaleng, dan kaca laku dijual sehingga bahan-bahan itu masih bercampur di tumpukan sampah. Petugas Dinas Kebersihan Kodya Surabaya, menurut Eddy, telah mencoba memilahmilah sampah organik dan anorganik, serta sampah basah dan kering. Sampah hasil sapuan di jalan-jalan tak dicampur dengan sampah rumah tangga, restoran, dan pasar yang basah. Sampah kering langsung dibawa ke tungku incinerator sedangkan yang basah dijemur dulu 510 hari. Namun, mekanisme itu diakui Eddy belum berjalan sepenuhnya. "Baru jalan sekitar 40-50%," ujarnya. Proyek incinerator ini sebenarnya telah dimulai dua tahun lalu. Harga tungku bakar itu Rp 18 milyar. Tapi Pemda hanya keluar uang Rp 4,5 milyar bagi pembuatan jalan menuju lokasi, jembatan timbang, pemasangan instalasi, dan sarana pendukungnya, di samping biaya untuk gaji 95 karyawan, biaya perawatan, pembelian solar, air bersih, dan rekening listrik sebesar Rp 940 juta setahun. Soalnya, untuk membangun incinerator itu Pemda Kodya Surabaya bekerja sama dengan PT Unicomindo Perdana, yang menanggung biaya pembelian incinerator. Karena kerja sama itu berdasarkan asas BOT (Build-Operate-Transfer), Pemda harus membayar sisa utang dalam jangka sembilan tahun dengan bunga 8,5%. Setelah itu fasilitas ini baru milik Pemda Surabaya sepenuhnya. Hampir satu tahun incinerator itu beroperasi dan Rayas Satyadharma, bekas pimpinan proyek incinerator di Sukolilo, menilai hasilnya positif. Ia mengharap tungku bakar bisa digandakan menjadi lima unit. "Agar sesuai dengan volume sampah Surabaya," ujarnya. Tapi kehadiran incinerator ini ada konsekuensinya. Menurut hasil survey BPPT, kandungan nitrogen oksida dan sulfur oksida dalam udara sampai radius 750 meter dari tungku melebihi ambang batas yang ditetapkan KLH. PTH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo