JAMBORE Nasional, pesta Pramuka yang diselenggarakan Juni tahun lalu, ternoda. Perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi bertikai karena persaingan bisnis yang tidak sehat. Pertikaian itu kini menjadi perkara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Penyelenggara Jambore Nasional (Jamnas) dan nama para tokoh Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka tidak terelakkan jadi terbawa-bawa. Perkara yang mulai disidangkan pekan lalu itu melibatkan dua perusahaan. PT Modern Photo Film, yang dikenal sebagai pemegang lisensi Fuji Film (tergugat) dan PT Sinar Gala Mulia Mandiri (penggugat) yang dalam bazar Jamnas 1991 menjajakan film merk Konika dan Kodak, produk-produk saingan Fuji. Pangkal persoalan adalah pengertian "resmi" bagi produk perusahaan yang mensponsori kegiatankegiatan akbar -- sepatu resmi, minuman resmi, kaus resmi, kopi resmi, dan sebagainya. Dalam persaingan produsen-produsen film di Jamnas 1991 itu, pengertian "resmi" diperdebatkan, apakah mengandung arti monopoli atau tidak. Dalam Jamnas 1991, Fuji film, berdasarkan kontrak penyelenggara dan Modern Photo, ditetapkan sebagai "film resmi". Namun, dalam kontrak itu tidak dijelaskan apakah pengertian "resmi" berarti Fuji Film mendapat hak monopoli penjualan. Pengertian tidak jelas itu membuat PT Sinar Gala Mulia Mandiri (SGMM) merasa boleh-boleh saja menjual film merk Konika dan Kodak -- di samping menjual juga Fuji. Pada bazar Jamnas, SGMM, dibantu antara lain oleh PT Inter Delta (pemegang lisensi Kodak) merenovasi lima kios kecil yang disewa Rp 225.000 sebuah. Selain menjual film, di kios-kios ini ditempatkan pula mesin cuci cetak foto. SGMM mendapat teguran. Melalui surat teguran, penyelenggara minta SGMM menghentikan kegiatannya. Surat yang ditandatangani Suryadi, sekretaris I Jamnas 1991, menerangkan bahwa film merk lain yang merupakan kompetitor Fuji film tidak boleh dijual di Jamnas 1991. H. Joni Adam Pangemanan, pemilik SGMM, yang mengaku pengusaha kecil, bertahan. Anehnya, ia yakin bahwa ketentuan monopoli tidak ada pada kontrak penyelenggara Jamnas 1991 dan Modern Photo. Padahal, ia tentunya tidak pernah melihat kontrak itu. Namun, penyelenggara pada kenyataannya memang tidak bisa bertindak lebih jauh. Kepada TEMPO Suryadi mengungkapkan, SGMM berunding sendiri dengan Modern Photo. "Tapi ternyata Sinar Gala tetap saja meneruskan kegiatannya," katanya. Setelah empat hari beroperasi, pembubaran kelima kios terjadi juga. Di sini, muncul kejanggalan yang terasa simpangsiur. Penutupan kios-kios SGMM bukan dilakukan oleh penyelenggara, tapi oleh Soetarto, Kepala Biro Acara Bina Protokol Kepresidenan. Lo? Pejabat ini -- yang sempat mengeluarkan pernyataan tertulis merasa namanya "dicatut" oleh Joni Adam. Benarkah? Paling tidak, begitulah perkiraan penyelenggara. "Karena yang menyewa lima kios itu Pak Tarto, kami minta pertanggungjawaban Pak Tarto juga," kata Letjen. TNI (Purn.) Mashudi, ketua Kwarnas Pramuka, kepada Sri Wahyuni dari TEMPO. Lebih lanjut bekas gubernur Jawa Barat itu mengungkapkan, "Yang berhasil mengusir akhirnya Soetarto juga. Sebelumnya memang pakai ribut dulu." Joni Adam menyangkal telah menggunakan nama pejabat itu. "Saya tidak kenal Soetarto dari Bina Graha itu," katanya. Nama penyewa kios memang Soetarto. Tapi Soetarto ini, "Karyawan saya yang sudah tiga tahun bekerja di tempat saya," kata Joni lagi. Soetarto ditugaskan Joni mendaftar ke Jamnas. Bagaimana Soetarto yang karyawan menjadi Soetarto pejabat sangat tidak jelas. Dari semua keterangan yang dikumpulkan TEMPO tidak terungkap pihak mana yang sebenarnya menggunakan nama pejabat itu. Juga, belum jelas bagaimana nama "Pak Tarto" sampai ke penyelenggara. Di sini, siapa tahu, terletak canggihnya trik di balik persaingan bisnis masa kini. Joni Adam yakin, Modern Photo adalah arsitek penutupan kios-kiosnya. Ia menegaskan, ia tidak menggugat penyelenggara Jamnas 1991. "Kwarnas tak punya dosa. Saya tidak mau Pramuka terbawa-bawa," katanya. Dalam gugatannya, ia juga tidak menyebut-nyebut Soetarto yang melakukan pembubaran. Namun, dalam keterangannya ia menuduh Modern Photo menggunakan nama Ibu Negara. "Kami dipaksa keluar oleh Modern Photo, diusir seperti anjing," katanya lagi. Namun, dalam gugatannya, Joni mengesankan bahwa ia mempunyai kesepakatan dengan Modern Photo. Di sini ia menyatakan pihak Modern Photo berjanji memperlihatkan surat hak monopoli yang dikeluarkan penyelenggara Jamnas 1991. Karena itu, ia mau mengalah dengan syarat bila surat tidak ada, ia boleh menggugat ke pengadilan. Kepala Biro Hukum Modern Photo, Yustinus, menyangkal bahwa pihaknya pernah berhubungan dengan SGMM. Ia juga menyangkal merekalah yang mengusir SGMM. "Mana kita berhak. Yang berhak mengusir adalah penyelenggaran Jamnas 1991," katanya. Karena itu, dalam eksepsinya, Modern Photo yang diwakili pengacara Amir Syamsuddin menyebutkan gugatan SGMM kabur (obscuur libel) dan salah alamat. "Seharusnya, gugatan itu ditujukan ke penyelenggara Jamnas 1991." Pengacara itu menambahkan bahwa antara penggugat dan tergugat juga tidak ada hubungan hukum -- kontrak, perjanjian, atau kesepakatan tertulis -- yang dapat dijadikan bukti pelanggaran yang menimbulkan kerugian. Nah, perkara yang penuh triktrik bisnis ini tampaknya akan berlangsung alot. Pengadilan akan menghadapi seluk-beluk persaingan dagang yang tidak segera mudah dipahami. Paling tidak, perkara itu sudah diawali dengan kejanggalan. Kantor pusat Modern Photo, gedung bernilai Rp 50 milyar di Jalan Matraman Raya, Jakarta, disita pengadilan sebagai jaminan gugatan yang hanya Rp 3,05 milyar. Penyitaan atas permintaan penggugat bahkan sudah dilakukan sebelum sidang dibuka. Mengadili masalah ekonomi masih menjadi tantangan pengadilan. Liku-liku perdagangan dan usaha, seperti dikatakan ahli hukum ekonomi T. Mulya Lubis, sekarang ini masih jauh dari jangkauan hukum. G. Sugrahetty Dyan K
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini