Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Vonis buat surga daud

Pengusaha Jerman yang membuat pondokan alami di Aceh barat dihukum satu bulan penjara. padahal, usahanya menunjang pariwisata.

16 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA rumah bertengger di atas pohon ketapang di pesisir pantai Aceh Barat. Dengan lantai tiga meter dari atas tanah, rumah berdinding papan dan beratap daun nipah itu menyajikan suasana natural yang teduh. Dari jendela-jendela rumah itu terhampar teluk kecil Dusun Kuala Dou Lageun, persis di bibir pantai Aceh Barat. Deburan ombak Lautan Hindia nan romantis mendesir tanpa putus. Inilah, pondok wisata Dieter's Farm. Pemiliknya, Dietmar Herbert Egber Hess, 59 tahun, orang Jerman. Setelah masuk Islam dikenal dengan nama Daud. Sungguh tidak heran jika turis asing menyukai "surga kecil" Daud. Tahun lalu ada 400 turis menjadi tamu "rumah di atas angin" itu. Jadi, Daud tergolong partisipan Visit Asean Year yang berhasil. Namun, jangan kaget, Sabtu pekan lalu, Daud dijatuhi hukuman satu bulan penjara, dengan masa percobaan tiga bulan. Majelis Hakim yang diketuai Marah Iman Harahap di Pengadilan Negeri Calang, Aceh Barat, menyatakan Daud terbukti bersalah. Ia membuka pondokan dan mengutip bayaran tanpa izin Pemerintah Daerah Aceh, seperti diatur dalam Perda No. 8/1987. Pertimbangan Hakim merujuk pada pelayanan Daud. Dengan sembilan kamar berfasilitas lengkap dan penyediaan makan, jumlah tamu meningkat terus. Keberhasilan di bidang pariwisata ini malah menyakinkan Hakim, Daud membuka usaha pondokan tanpa izin. Tak peduli tamu yang datang, siapa tahu memang tamu Daud. Siapa bisa membuktikan mereka bukan kenalan Daud? Daud menyatakan banding. Keputusan Hakim terbilang lunak. Semula Jaksa Masri Husein seperti menggempur Daud dengan mendakwakan tiga tuduhan, termasuk usaha gelapnya. Sebagai orang asing, Daud didakwa Jaksa tidak melapor pada polisi. Ia dianggap melanggar PP No. 45/1954. Daud, menurut Jaksa, juga tidak melaporkan kepindahannya dari Lhok Timon ke Kuala Dou Laugen -- melanggar Peraturan Pemerintah yang mengatur ihwal orang asing. Namun, kedua dakwaan itu gugur. Pertimbangan majelis Hakim, Daud memang tidak punya kewajiban melapor pada polisi. Menurut pengacara Daud, Ibrahim Marsian, kewajiban kliennya melapor ke kantor Imigrasi Aceh Barat. Dan ini dilakukannya. Daud menetap sejak 1990 dengan visa Kunjungan Sosial Budaya (KSB). Perpanjangan visanya selalu diurusnya secara tepat waktu. Terlepas kasus hukum ini, Daud memang jatuh cinta ketika melihat pantai Aceh Barat. Padahal, sudah kemana-mana ia melanglang buana setelah "bye-bye Jerman" 15 tahun lalu. Ia pernah berkelana di Afrika, Amerika, dan Australia. Di Indonesia ia berpindah-pindah dari Bali, Lombok, Flores dan akhirnya, sejak 1989 ia memilih menetap di Aceh. "Pantai di sini indah, tapi kurang diinformasikan," katanya kepada TEMPO. Alkisah pada mulanya ia mengontrak rumah di Lhok Timon, lima kilometer dari pondok wisatanya sekarang. Ia bertahan di sini hingga 1989. Waktu itu ia sudah menerima tamutamu, tapi penduduk setempat kurang berkenan. Selain itu, anak-anak muda suka mengintip para tamu yang pakai bikini. Daud kemudian pindah dan mengontrak satu hektare tanah -- untuk masa sepuluh tahun -- di pantai Kuala Dou Laugen. Letaknya strategis, satu kilometer dari perkampungan. Di sini ia membangun rumah bergaya back to nature itu dengan biaya Rp 21 juta. Ia juga memelihara monyet dan burung. Namun, di tempat baru itu ia dipergunjingkan juga. Soalnya, dua pembantu wanita, yang memasak dan mencuci pakaian para tamu, tidur di pondoknya. Mula-mula Daud mengatur pembantunya pulang setiap sore. Belakangan ia merasa repot melayani para tamu makan malam. Atas saran penduduk, ia pun masuk Islam, dan pada 16 Mei 1990 ia menikahi pembantunya, Rusmawaty, 25 tahun, seorang janda beranak satu. Tantangan lain muncul. Polisi mengirim tim khusus ke sana. Mula-mula ia ditanyai mengapa tak pernah melapor. Pertanyaan lalu merambat ke soal izin Pemda itu. Karena tidak mendapat jawaban yang memuaskan, polisi memasang papan di pintu masuk Dieter's Farm dengan tulisan "Dalam Pengawasan Polisi". Maka, Sejak 18 April lalu, "surga" Daud ditutup. Sejumlah turis asing yang datang kecewa berat. Mereka terpaksa menginap di Calang dengan fasilitas rumah penginapan ala kadarnya. Ada juga yang bertahan. Wartawan TEMPO, Irwan E. Siregar, menyaksikan ada dua turis akhir pekan lalu membangun tenda dan camping di sekitar Dieter's Farm. Untung Daud tak jera. Ia menyatakan akan meneruskan usahanya. Masih ada kesempatan baginya. Kepala Dinas Pariwisata Aceh, Amir Husin menyatakan bahwa sebenarnya ia sudah menyurati Gubernur Aceh, 10 Maret lalu sebelum polisi menyegel "surga Daud". Amir minta agar izin usaha Daud diproses. Pertimbangan Amir: upaya Daud itu menunjang pariwisata Aceh. Kepala Kantor Wilayah Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi, Z. Fuad Hasbi, tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Ia mengibaratkan kisah Daud bagai nasib sepakbola di negeri ini. "Pemain asing kita tolak, tapi pemain sendiri tak becus," katanya. Bersihar Lubis, Irwan E. Siregar, dan Mukhlizardy Mukhtar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus